Sebentar lagi, tepatnya 13 Maret 2008, Jawa Barat akan menggelar hajatan akbar berupa Pemilihan Kepala Daerah tingkat provinsi atau yang lazim dikenal dengan Pilkada. Biasanya, momen seperti itu akan selalu dirayakan secara meriah bersamaan dengan selebrasi para kontestan yang tengah pasang jurus untuk merebut simpati masyarakat demi sebuah ‘kemenangan’.
Di balik semua tertib upacara prosedural yang perlu ditempuh, di balik segala hingar bingar kemeriahan kampanye yang sekarang mulai dijalankan, Pilkada kali ini berlangsung di saat Jawa Barat didera berbagai kasus kekerasan atas nama agama yang menyisakan serangkain problem kemanusiaan dan hukum.
Lembar Kekerasan Agama di Jawa Barat
Boleh dikata, Jawa Barat merupakan daerah paling subur untuk kasus-kasus kekerasan terhadap agama. Berbagai tindak diskriminasi dan intoleransi kerap dilakukan baik oleh negara (indirect actor) maupun kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu terhadap kelompok yang dianggap berbeda dan menyimpang dari agama mainstream.
Kasus-kasus kekerasan tersebut lahir dalam beragam bentuk dan cara. Namun secara umum biasanya berupa: penutupan tempat ibadah, pencabutan izin tempat ibadah, penyegelan, pemblokiran, penyerangan, pengrusakan, pembakaran, penghancuran fasilitas dan tempat ibadah, intimidasi, black campaign, bahkan serangan fisik terhadap individu kerap terjadi.
Dari hasil sementara pemantauan yang dilakukan oleh lembaga Desantara Foundation bersama dengan beberapa lembaga yang tergabung dalam Jaringan Kerja (JAKER) Monitoring dan Advokasi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Jawa Barat, menemukan sekian banyak tindak diskriminasi dan intoleransi. Di Bekasi, khusus kasus yang menimpa gereja-gereja, pada tahun 2007 saja ada 40 gereja yang hak kebebasannya dilanggar. Sementara di daerah Bogor ada sekitar 11 kasus yang menimpa kelompok/aliran/komunitas lokal. Begitupun juga dengan kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah yang hampir terjadi di semua daerah yang ada di Jawa Barat. Dan seabrek lagi kasus yang lain.
Fenomena ini tentu mencoreng wajah ramah Jawa Barat. Dari sini pula, demokrasi yang menjunjung tinggi nilai kebebasan tengah terkoyak. Padahal Hak kebebasan beragama atau berkeyakinan dijamin dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18, yang juga telah diratifikasi oleh pemerintahan Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Mengapa kasus kekerasan agama begitu subur? Menurut hemat penulis, ada dua faktor yang menyebabkan begitu mudahnya praktik kekerasan dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu dengan memakai legitimasi Tuhan dan kebenaran. Pertama, negara belum secara sungguh-sungguh melakukan reformasi hukum dengan menerjemahkan prinsip dan ketentuan yang terkandung dalam undang-undang tersebut. Ketidaksungguhan dalam konteks reformasi hukum itu dibuktikan dengan bagaimana banyaknya peraturan daerah (Perda) bernuansa keagamaan, di berbagai daerah yang bukan hanya tak sesuai dengan kovenan tersebut, tapi juga bertentangan dengan UUD 45 hasil amandemen ke-4.
Selain Perda, banyak pula kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah daerah, seperti: Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah yang biasanya berisi tentang penutupan tempat ibadah, Surat Edaran (SE) untuk melarang kelompok tertentu dalam menjalankan ibadahnya, dan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang biasanya ditandatangani oleh unsur Muspida/Muspika bersama Ormas-ormas Islam.
Hal tersebut diperparah dengan ketidaktegasan sikap aparat keamanan yang seharusnya bertanggung jawab melindungi kebebasan aliran/kelompok agama manapun, tanpa membeda-bedakannya. Kasus Ahmadiyah Manislor pada tanggal 18 Desember 2007 adalah bukti nyata. Ketika itu sejumlah organisasi massa yang tergabung dalam Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII) datang ke Manislor dan berniat menghancurkan Ahmadiyah. Dengan dalih demi keamaan, aparat kepolisian kemudian menekan pihak Ahmadiyah Manislor agar merelakan masjid dan mushallah milik mereka disegel.
Kedua, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada banyak kasus kekerasan agama, pemicunya adalah fatwa MUI yang secara hitam-putih menilai aliran/kelompok keagamaan tertentu “sesat” dan “menyesatkan”.
Memang, dalam materi fatwa MUI, tidak ada klausul untuk menyerang dan melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok atau aliran yang dianggap “sesat” dan “diharamkan”. Namun, sepanjang sejarah umat Islam, fatwa bermodel seperti itulah yang paling efektif menggerakkan nalar dan emosi manusia untuk melakukan tindakan kekerasan dan main hakim sendiri.
Sebagaimana yang pernah dituturkan Guntur, dalam konteks umat Islam yang masih dibelenggu doktrin fikih klasik, kelompok atau individu yang sudah divonis “murtad”, “kafir”, atau “sesat” berarti telah dihalalkan untuk dibunuh. Fatwa tersebut seperti vonis dalam pengadilan in absentia, tanpa klarifikasi dan pembelaan, dengan dakwaan sepihak.
Sikap Korban Terhadap Pilkada
Dalam kondisi yang tengah mencari perlindungan dan kepastian hukum atas nasib mereka yang berlumur kepedihan, sikap para korban dalam merespon Pilkada nanti ada dua kemungkinan: apatis atau berharap.
Apatis karena mereka sudah terlalu sering diperlakukan secara tidak adil baik oleh pemerintah ataupun organisasi massa yang gemar main hakim sendiri. Seperti halnya kasus yang menimpa Gekindo Getsemane Jatimulya, Bekasi pada tahun 2005 yang lalu. Para jemaat tidak bisa masuk ke gereja karena jalannya diblokir oleh FPI Bekasi dan warga. Akibatnya, berminggu-minggu mereka harus melakukan kebaktian di jalan bersama dengan HKBP Getsemane dan DPdI yang juga mengalami nasib sama.
Padahal, menurut pengakuan Pendeta Pestaria Hutajulu, Gekindo sudah mengurus surat izin pembangunan tempat ibadah berkali-kali, mulai tahun 1996 sampai 2005, dalam rentang masa 3 kali pergantian Bupati. Namun usahanya sia-sia. Kenyataan inilah yang membuat mereka apatis terhadap Pilkada karena sudah tidak percaya kepada siapa pun yang memimpin daerahnya.
Sedangkan berharap karena mereka yang masih meyakini bahwa Pilkada nantinya akan melahirkan seorang pemimpin yang adil dan adanya perubahan hukum yang benar-benar bisa menjamin hak kebebasan beragama mereka.
Biarlah Pilkada berjalan dengan segala kemeriahannya, namun jangan lupakan fakta bahwa saat ini di Jawa Barat banyak terjadi kasus kekerasan atas nama agama dalam jumlah yang mengungguli wilayah mana pun di Indonesia. Desantara / M. Kodim