Ketika Pesantren Bersanding dengan Kesenian: Rekonsiliasi atau Islamisasi?

Mungkin tidak terlalu mengherankan jika lembaga-lembaga publik yang bergelut di bidang kesenian dan atau kebudayaan menyelenggarakan festival kesenian. Tapi jika yang mengadakan acara serupa dengan itu adalah pesantren, maka fenomena ini terasa perlu untuk dicermati secara tersendiri. Tentu, bukan hanya karena pesantren dinilai asing untuk berdekatan dengan berbagai bentuk kesenian yang “non-islami” atau non-arab, melainkan juga karena sulitnya menemukan pesantren yang membuka diri terhadap kesenian yang ada, baik yang modern-popular maupun yang rural-tradisional.

Kegiatan inilah yang diadakan oleh pesantren Tegalrejo Magelang, Jawa Tengah 30 Agustus – 5 September 2006 yang lalu. Kegiatan yang beriringan dengan momentum khataman (akhir tahun pelajaran) bagi santri ini diisi dengan menampilkan sedikitnya 120 kesenian tradisi yang datang (beberapa juga sengaja didatangkan) dari berbagai tempat di seluruh Jawa Tengah dan juga Jawa Timur. Jathilan, reyog, ketoprak, wayang kulit, barongsai, warangan, dan masih banyak lagi jenis kesenian tradisi yang lain tumplek dan menjadi tontonan menarik bagi santri dan masyarakat sekitar.

Kegiatan yang dimotori oleh Gus Yus – nama lengkapnya KH Yusuf Khudlori – ini bukanlah yang pertama kali dilaksanakan di Tegalrejo. Setidaknya sudah berlangsung selama 32 tahun, setiap khataman dan beberapa momentum kegiatan pesantren yang lain diiringi dengan menghadirkan kesenian tradisi. Meskipun sempat mengalami kemunduran pada era-era Orde Baru, tetapi kini menguat kembali. Akhirnya, kegiatan seperti ini menjadi fenomena tersendiri dan lebih sebagai kebiasaan tahunan dan berlangsung secara terus-menerus.

Tentu, menghadirkan kesenian di wilayah pesantren bukanlah pekerjaan yang mudah karena penghadiran ini tidak saja akan berhadapan dengan ketidaksetujuan dari pesantren lain, tetapi juga di beberapa tempat lain, kesenian tradisi masih merasa risih jika harus berhadapan dengan pesantren. Tidak sedikit cerita dan pengakuan yang muncul tentang bagaimana pesantren melakukan konfrontasi dan stigmatisasi terhadap beberapa bentuk kesenian tradisi yang penampilannya dinilai “menyimpang” dan mengumbar maksiat. Sehingga hubungan pesantren dengan kesenian tradisi lebih merupakan hubungan yang tidak guyub, meskipun juga tidak selalu penuh dengan konflik.

Dari segi kemeriahan acara tersebut, siapa pun akan mengira bahwa pesantren Tegalrejo memiliki sumber dana yang melimpah. Prasangka ini bisa muncul seketika tatkala seluruh tamu dan seluruh grup kesenian ini tampil dan kemudian mendapatkan hidangan yang lebih dari cukup. Tetapi tidak demikian penjelasan Gus Yus, adik KH Abdurrahman Khudlori (pengampu Pesantren Tegalrejo saat ini) mengatakan bahwa seluruh sarana kegiatan ini disengkuyung (ditopang) oleh komponen masyarakat, bukan hanya yang ada di Tegalrejo, tetapi juga sampai merambah Kebumen, Temanggung, dan Salatiga. “Untuk beras, kita datangkan dari Kebumen, tahu dari Temanggung, dagingnya dari Salatiga. Ini salah satunya adalah berkah dari para alumni pondok, meskipun ada juga bantuan dari perusahaan dan person-person tertentu. Kalau semuanya dari pondok, ya tentu saja kami tidak mampu, apalagi kalau harus membayar grup yang datang. Jadi kalau ditanya siapa penyangga keuangan untuk acara ini, jawabnya ya rabbul ‘izzah, Gusti Allah yang maha kaya,” ujarnya sambil tertawa.

Keguyuban hubungan antara pesantren Tegalrejo dengan kesenian tradisi ini sepertinya tidak terlepas dari sejarah awal hubungan antara komponen masyarakat puluhan tahun yang lalu, ketika pesantren ini masih diampu oleh KH Khudlari. Waktu itu, di desa Tegalrejo terdapat dua kelompok besar masyarakat, salah satunya dari kelompok yang tekun dalam beragama sementara yang lain adalah kelompok masyarakat yang tekun dalam berkesenian. Pada saat yang sama, desa memiliki sedikit kas yang kemudian diperebutkan tasharufnya (alokasinya). Sebagian menginginkan agar kas itu dipergunakan untuk membangun masjid, sementara yang lain bersikukuh agar dana kas itu dipergunakan untuk membeli gamelan.

Perseteruan dua kelompok masyarakat ini berlangsung berhari-hari hingga akhirnya mereka menghadap Kiai Khudlari untuk meminta pendapat sebagai jalan keluar persoalan. Dengan nada ringan dan tanpa tedeng aling-aling, Kiai Khudlari mengatakan bahwa dana kas desa itu lebih baik untuk dibelikan gamelan. Tentu saja keputusan kiai Khudlari ini menuai protes dari kalangan pemeluk Islam. Tapi dengan tenang, Kiai Khudlari menjelaskan “yang penting, sekarang ini kita guyub, rukun dulu. Kalau sudah guyub dan rukun, masjid akan berdiri dengan sendirinya,” ujar beliau.

Mungkin, dan jika kenyataan seperti sekarang ini menjadi penglihatan maka bisa jadi cerita tersebut menemukan kebenarannya. Cerita yang terus diuri hingga saat ini sepertinya menjadi bagian penting dalam proses pengguyuban antara pesantren dan kesenian tradisi. Meskipun, nuansa guyub ini sendiri tetap menyisakan kegelisahan bagi beberapa orang, tidak terkecuali Gus Yus sendiri yang mengatakan “kegelisahan saya muncul ketika tidak sedikit orang-orang dan kelompok kesenian tradisi ini yang kemudian menjadi santri di sini dan tidak mau lagi menjadi ronggeng atau jathil,” ucapnya.

Dalam konteks ini, kegelisahan Gus Yus cukup beralasan. Sebagai seorang santri, Gus Yus sulit untuk mengelak dari kiprahnya sebagai sosok penting dalam membentengi akidah komunitasnya. Sementara di sisi lain, pergaulannya dengan komunitas kesenian tradisi ternyata berimplikasi pada perubahan identitas kelompok kesenian itu sendiri, yang semula teguh dengan keseniannya lalu berpaling menjadi santri yang enggan berkesenian.

Dengan demikian, apa yang paling penting untuk mencermati fenomena ini adalah bagaimana menempatkan kategori dakwah itu sendiri. Apakah ia akan dimaknai sebagai islamisasi atau sekedar seruan kepada kebaikan terhadap kelompok lain, itu pun berpulang kepada hasrat si pendakwah sendiri. Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah melihat peran pesantren yang tidak saja siginifikan di dalam perannya sebagai penjaga tradisi keilmu-agamaan, tetapi juga perannya dalam merangkul berbagai bentuk ekspresi kebudayaan masyarakat, dengan apa pun sebagai latar belakang masyarakatnya itu sendiri. Dengan kesadaran inilah, guyub (rekonsiliasi) yang merupakan proses penting dalam mewujudkan masyarakat yang rukun tetap bisa dilakukan tanpa harus memaksakan orang lain masuk dan lebur ke dalam identitas dan kebiasaan kita. Desantara

BAGIKAN: