Politik Pembersihan

Mengajak orang lain berbuat seperti yang kita lakukan ternyata tidaklah cukup memuaskan. Tindakan yang dalam bahasa Islam disebut dakwah itu harus wujud sekonkret-konkretnya dalam bentuk provokasi dan perubahan jika orang lain itu terlihat tak berkenan diajak. Dalam pengertian umum, dakwah memang berarti mengajak untuk menapak “jalan Tuhan” dengan bijak dan mau’dhah al-hasanah (tutur dan suritauladan yang baik). Anjuran-anjuran lain seperti amar ma’ruf dan nahyu anilmunkar, penyempurnaan akhlak mulia, dan Islam kaffah berperan penting dalam perumusan lebih lanjut pengertian dakwah.

Masalahnya muncul ketika ternyata “jalan Tuhan” itu ditafsirkan dan dirumuskan secara sepihak oleh kelompok tertentu yang kemudian menjadi kekuatan dominan (mainstrem). Begitu pula apa yang didefinisikan sebagai ma’ruf, mungkar, akhlak mulia dan kaffah. Banyak jalan untuk menuju Tuhan nyaris tidak terlihat dalam kenyataan hidup sehari-hari dan tidak pula menjadi kesadaran kita bersama. Dalam sejarah panjang Islam, monopoli pemaknaan terhadap semua itu terjadi sejak penafsir paling sah (Nabi Muhammad) wafat.

Sudah pasti bahwa pemaknaan dan pendefinisian itu berjalan seiring (seringkali bermesraan) dengan hal-hal lain yang biasa terdapat dalam proses dan dinamika sosial kehidupan manusia yang sepenuhnya sekuler. Kepentingan, status quo, hasrat berkuasa, syahwat politik, dan sejenisnya yang memang diakui menjadi bagian dari diri seorang manusia (secara individu maupun kelompok) bagaikan aroma yang menyebar di dan mempengaruhi setiap proses produksi kebudayaan termasuk pemaknaan dan pendefinisian tersebut.

Problemnya justeru terletak pada sakralisasi produk itu sendiri yang kemudian diyakini sebagai kebenaran. Lebih-lebih ketika kebenaran yang dirumuskan secara politis itu disandarkan pada atau dipercaya berasal dari Tuhan, kebenaran Ilahiyah. Karena itulah kita saksikan betapa sering terjadi usaha mati-matian memaksakan rumusan-rumusan politis yang diklaim sebagai kebenaran Ilahiyah ke tengah-tengah kehidupan yang berbeda atau bertentangan dengannya. Islam yang terumuskan “sempurna” di tempat dan masa yang lain ketika dihadirkan seperti apa adanya rumusan itu di berbagai komunitas di Nusantara menjadi sesuatu yang lain, berbeda dan acapkali dibedakan.

Jika dalam perbedaan dan keberlainan seperti itu yang tumbuh adalah sebuah saling pengertian dan penghormatan atau kontestasi yang seimbang, sudah pasti tak perlu dipersoalkan, dan sebaliknya patut dipertahankan. Tetapi, seperti yang selalu kita saksikan setiap saat, perjumpaan itu terus-menerus berlangsung subordinatif, persaingan kalah-menang, dan membatalkan. Dan klaim-klaim kebenaran Ilahiyah, keselamatan dunia-akherat, dan universalisme selalu disandang oleh para subordinat dan kaum maintrem, sehingga mereka yang berlawanan dikonstruksi sebaliknya. tidak Ilahiyah, tidak menjamin keselamatan, dan tidak universal

Akibatnya, berbagai upaya pembersihan apa pun yang dirumuskan sebagai “tidak Ilahiyah, tidak menjamin keselamatan, dan tidak universal”, bukan saja seolah mendapat legitimasi, tetapi bahkan dipandang sebagai penyelamatan. Sebuah kisah menarik terjadi di Sumatera Utara, ketika seorang penganut Parmalim, sebuah agama Batak, disuruh mencantumkan Islam atau Kristen dalam KTPnya oleh seorang kepada desa berucap: apakah kau menjamin dengan itu aku pasti masuk surga? Sang kepada desa pun terdiam dan tak bisa menjawab. Surga memang milik Tuhan, dan masuk surga atau tidak, seperti ditegaskan dalam teologi Islam, murni bifadhli Allah. Bisri Effendy / Desantara

BAGIKAN: