Hidup kami di sini sudah lumayan, hampir setiap rumah sudah punya TV, tapi kami tidak tahu sampai kapan di sini, karena kami ini hanya pendatang, begitu tutur Lemiyati, warga kampung Lung Anai, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Lemiyati bersama kurang lebih 1.015 orang lainnya yang kini tinggal di pinggiran anak sungai Mahakam ini adalah anggota suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan. Sebuah sub-etnis Dayak Kenyah yang dulu tinggal nyaman di sebuah dataran tinggi Apau Kayan (sekarang wilayah Kabupaten Malinau) dan hidup berpindah-pindah dengan berbagai alasan, dari mencari makan, korban konflik politik, hingga program reseatlement. Menurut kesaksian Mama Pirin, yang juga anggota komunitas ini, keluarganya telah mengalami perpindahan 8 kali sejak dari Apau Kayan pada 1967 dan sampai di dataran Lung Anai tahun 1984.
Kecemasan yang dialami Lemiyati dan juga warga Lung Anai lainnya mungkin tak pernah terbayang sebelumnya. Soal tanah, sumber kehidupan yang barangkali tak pernah terpisahkan dari denyut nadi kehidupan komunitas Dayak Kenyah.
Dulu, jauh ketika masih tinggal di Apau Kayan sebelum terjadi peristiwa konfrontasi dan geger tahun 1965 yang disusul dengan pergantian kekuasaan. Warga Dayak Kenyah hidup tenang sambil berladang, bertanam dan berburu secara berpindah-pindah tanpa harus merasa diri seorang pendatang. Mereka juga tak pernah risau dengan hunian, apalagi tempat berladang. Bagi mereka, tanah Borneo dengan kekayaan hutan, tetumbuhan dan aneka jenis binatang lainnya adalah anugerah Tuhan yang seolah tak ada batasnya. Tanah memberi makanan. Bulan dan matahari memberi tanda kapan mereka bertanam dan kapan mulai memanen.
“Siapa saja boleh membuka ladang sesuai dengan kemampuannya,” ujar Mama Pirin. Hanya saja bukan berarti penduduk asli Borneo ini tak punya tata cara membuka lahan dan kepemilikan. Dari hasil interaksi mereka dengan alam dan anggota komunitas yang lain, aturan atau norma-norma kehidupan diciptakan. Seperti soal daerah mana saja yang bisa digarap dan mana yang tidak; mana hutan yang bisa ditebang dan mana pula yang terlarang. Di mana semua ini terkait erat dengan keyakinan dan kosmologi hidup mereka.
Begitu pula soal kepemilikan. Tanah biasanya ditandai dengan beberapa buah patok kayu atau pohon tertentu. Kadang cukup sebuah pondok kecil sebagai penanda.
Konflik Tanah
Interaksi komunitas Kenyah yang makin luas dan hadirnya banyak perusahaan dalam pengelolaan lahan HPH sejak 1974, rupanya juga ikut memunculkan banyak konflik. Yekti Maunati (2004), misalnya, melaporkan banyak konflik terjadi akibat ladang-ladang komunitas Kenyah yang diserobot oleh masyarakat sekitarnya.
Tanah hunian dan lahan-lahan mereka di hutan yang biasanya cukup ditandai dengan patok kayu atau sebuah gubuk kecil, diambil oleh masyarakat sekitar lantaran dianggap tak bertuan. Begitu pula pengusaha HPH yang dengan mudahnya ”menganeksasi” lahan-lahan mereka yang luas atas izin pejabat pemerintah setempat. Bahkan bagi mereka yang memiliki tanah dari hasil barter pun tak terjamin hak kepemilikannya lantaran tiadanya sertifikasi resmi dari pejabat setempat.
”Tempat tinggal kami ini dulu hasil barteran kayu dengan pemilik tanah yang mau membangun rumahnya,” ujar Mama Pirin. Sayangnya, sampai saat ini sebagian besar tanah hasil barter ini belum mengantongi surat tanah. ”Bahkan keterangan dari kepala desa pun tidak,” katanya lagi.
”Saat ini tanah-tanah yang dimiliki dari hasil jual-beli saja yang memiliki surat. Itu pun tidak semuanya,” terang Martinus, salah seorang generasi muda kampung ini. Sebuah kenyataan yang membuat sebagian penduduk Lung Anai jelas merasa khawatir. Jangan-jangan mereka pun akan terusir kembali dari kampung yang telah dibangunnya selama bertahun-tahun ini.
Pergeseran Kosmologi
Pengalaman hidup berpindah selama bertahun-tahun –dan seringkali diwarnai dengan konflik baik dengan masyarakat dan pengusaha HPH— membuat komunitas Lung Anai bukan hanya mencemaskan status tanah hunian mereka. Kini mereka seolah diharuskan untuk memikirkan ulang seluruh kosmologi hidup mereka selama ini.
Orang seperti Martinus dan warga Lung Anai lainnya kini tak hanya mematoki lahan perladangan mereka yang berjarak 6 jam perjalanan dari kampungnya itu. Melainkan juga mencari cara untuk memperoleh surat kepemilikan atas lahan-lahannya.
Bersama beberapa orang, ia kini tengah mengupayakan surat keterangan kepemilikan sejumlah ladang milik warga Lung Anai yang terhampar di daerah Benuang dan Gitan. Tujuannya bukan sekadar hendak mempertahankan tempat mereka berladang dan bercocok tanam. Tetapi juga lantaran ada kabar dua daerah ini menyimpan sumber energi batu bara yang sangat besar dan kabarnya bakal ada perusahaan besar beroperasi di sana.
”Kalau ada suratnya kan posisi kita jadi kuat. Dan kalau nanti dijual, harganya pasti akan lebih mahal,” ujar Martinus beralasan. Martinus adalah salah seorang warga Lung Anai yang kini tengah bersemangat membuka lahan baru di dua kawasan tersebut.
Persaingan ekonomi yang keras dan makin meningkatnya kebutuhan hidup di kota, barangkali itulah yang mendorong Martinus untuk mengambil langkah cepat. Karena semakin luas ia menguasai lahan itu berarti makin banyak pula keuntungan diraih dari hasil penjualan lahan itu ke pihak lain. Tanah, bagi komunitas Kenyah, memang aset ekonomi paling penting bagi hidup mereka. Tetapi keyakinan tentang tanah sebagai satu kesatuan kosmologi hidup mereka yang sakral nampaknya kini memang sedang berubah. Sebagaimana halnya ritual penentuan hari baik, Alaq Tau, dan ritual panen Rame Undrat yang kini tinggal menjadi tontonan wisata belaka.