Pada tahun 2009 silam, Yayasan Desantara menerbitkan buku berjudul “Kiai, Musik, dan Kitab Kuning” berisi kumpulan tulisan para kiai di sejumlah pesantren di Indonesia tentang Islam dan Kesenian. Pada kesempatan kali ini, redaksi menampilkan salah satu dari esei di dalam buku tersebut untuk anda. Buku tersebut bisa anda dapatkan melalui pemesanan di situs inià http://tokobuku.desantara.or.id/?s=kiai
“Menciptakan Seni Alternatif bagi Masyarakat”
Pada prinsipnya hukum seni musik adalah boleh. Ia sama halnya seperti merokok yang juga pada hukum asalnya boleh. Keduanya berubah menjadi halal, makruh, atau haram tergantung dari dampak yang diakibatnya. Hal ini dipertegas pendapat Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa pada mulanya segala macam bentuk bunyi-bunyian itu diperbolehkan, baik bunyi yang keluar dari manusia, hewan, atau benda-benda lainnya.
Dasar dari pendapat ini adalah kisah hidup Nabi Muhammad sendiri saat beliau hijrah ke Madinah. Waktu itu begitu Nabi menginjakkan kaki di Madinah ia disambut oleh beberapa anak muda dengan musik rebana. Mereka bernyanyi, berkosidah dengan syair yang terkenal yaitu “Thala’al badru alaina”. Tak ada larangan yang keluar pada saat itu.
Dalam hadis lain diceritakan bahwa pernah suatu hari, tepatnya hari raya, beberapa shahabat Nabi mengadakan acara memukul rebana dan bernyanyi bersama. Ini juga tidak dilarang. Sebaliknya, dalam sebuah hadis lain Nabi terang-terangan mengharamkan seruling karena ia identik dengan tempat maksiat yang ada waktu itu.
Kesimpulan dari itu semua menunjukkan bahwa tidak semua kesenian itu diharamkan, demikian pula tidak seluruhnya dihalalkan. Karena masing-masing ada rincian atau tafshil-nya, kapan dan dimana menjadi haram atau halal. Terutama perubahan hukum itu ditentukan pada efek dari seni itu sendiri, baik terhadap diri seniman atau bagi orang lain. Apakah seni itu berpotensi akan membelokkan seseorang dari jalan Tuhan atau sebaliknya malah mendekatkan diri kepada-Nya?
Kapan musik itu diharamkan dan dihalalkan
Pertanyaan pada akhir paragraf di atas menjadi salah satu kunci pembeda antara musik yang diperbolehkan dan musik yang diharamkan. Jika sebuah alunan musik dapat membantu seseorang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan atau menambah kecintaan kepada Rasul, maka itu jelas dihalalkan. Shalawat dan qasidah merupakan di antara musik-musik yang dimaksudkan itu.
Benar bahwa musik adalah sebuah hiburan karena itu tidaklah selalu produktif. Wajar jika para ulama kemudian menyebutnya sebagai lahwun (permainan). Meski demikian tetap saja dalam artian musik sebagai sebuah hiburan ia memiliki manfaat bagi seseorang. Bagi orang yang stres atau dalam kondisi-kondisi tertentu di mana hiburan itu diperlukan, maka musik akan menemukan manfaatnya.
Dalam situasi lain musik bahkan bisa menjadi pengobar semangat yang luar biasa. Bagi tentara yang sedang melakukan baris berbaris semangatnya akan terbangun jika diperdengarkan musik dan nyanyian. Bahkan unta sekalipun terkadang oleh kusirnya diperdengarkan lagu-lagu agar hewan tersebut bersemangat untuk meneruskan perjalanan. Inilah kondisi-kondisi di mana musik diperbolehkan yaitu ketika kemaslahatan dapat diraih dari sebuah seni musik.
Lalu kapan musik itu diharamkan? Jawabannya adalah ketika musik mengarah pada hal yang negatif, yang merusak, atau tak ada manfaat di dalamnya. Di antaranya adalah ketika musik membuat orang lupa akan kewajiban-kewajibannya. Atau ia merangsang seseorang pada hal-hal yang cabul dan mesum, seperti dangdut misalnya.
Yang tak kalah menentukan adalah di mana pentas-pentas musik itu dimainkan. Jika ia menjadi bagian dari sebuah arena kemaksiatan dan mendukungnya maka jelas hukumnya haram. Sebagaimana dalam hadis yang saya kutip di atas, suling diharamkan karena ia dimainkan di tempat yang identik dengan kemaksiatan. Karena itu jika nada suling diperdengarkan yang terbayang adalah suasana mabuk-mabukkan dan perilaku maksiat lainnya. Sebagai tindakan preventif untuk menutup jalan ke arah itu kemudian suling diharamkan oleh Rasulullah.
Selain itu, musik ditentukan pula oleh isi lagu yang dinyanyikan, adakah sesuatu yang dilarang agama di dalamnya. Jika terdapat hal-hal seperti itu maka musik menjadi haram. Inilah tugas kita yang berpendidikan agama untuk menjelaskan kepada masyarakat. Sebab kadang-kadang ditemukan banyak kelucuan di masyarakat kita. Mereka berpikir karena Al Qur’an itu bahasa Arab, maka disimpulkan semua yang berbahasa Arab itu baik. Tak heran, sebagian lagu Ummi kulsum yang syairnya berisi dendang-dendang asmara dianggap lagu qasidah semua. Dianggap lagu itu akan membuatnya mengingat Tuhan, padahal tidak.
Jadi bagi saya dalam hal ini memang masalahnya kompleks. Prinsipnya jika ingin menggunakan hukum untuk publik maka yang menjadi pertimbangan adalah kemaslahatan publik itu sendiri. Dalam keadaan seperti ini bisa jadi ada sebuah kelompok yang dirugikan. Tapi bukankah tidak ada keadilan hukum yang bisa merengkuh semua?
Saya sendiri sewaktu masih menjadi santri suka dengan kesenian dan memainkannya, di antaranya hadrah dengan diiringi shalawat. Sekarang, di Pesantren Paiton ini sebenarnya ada keinginan untuk mengembangkan hal yang demikian. Tetapi setelah dipikir terasa bahwa hal itu belum saatnya.
Sebab dulu sekitar tahun 1960-an pernah kiai Zaini (ayahanda) menampilkan kesenian drama. Ide ini ternyata oleh masyarakat sekitar dipandang berbeda. Mereka berpikir bahwa Pesantren esanggunin ngijung ludrukan (pesantren disangkanya juga tempat kidungan Ludruk) karena itu ludruk atau drama khas Jawa Timur harus dikembangkan. Akhirnya banyak di masyarakat yang mendirikan kelompok drama. Tetapi muncul efek buruk yang tidak diduga sebelumnya, karena sibuk dengan drama di antara pemain justru meninggalkan kewajiban-kewajibannya.
Ini menurut saya problem yang harus dipikirkan. Memang, saat ini banyak pesantren yang juga menumbuhkan dan mengembangkan kesenian rakyat, tetapi bagi saya antara satu pesantren dengan pesantren lainnya memiliki karakter yang berbeda. Selain itu, pertimbangan sosiologis masyarakat sekitar juga merupakan faktor yang paling penting untuk menjadi pertimbangan. Apakah satu bentuk kegiatan layak diadakan ataukah tidak, kondisi masyarakat turut menentukan dalam hal ini.
Makanya, dalam segala hal sebagai umat islam kita seyogyanya lebih arif. Jangan sampai kita menghukumi sesuatu dengan hanya hitam putih saja. Seperti halnya dalam melihat berbagai macam kesenian rakyat. Menurut saya secara mendasar kita tidak bisa langsung melarangnya karena ini menjadi kebutuhan masyarakat. Jika kesenian itu dianggap melanggar norma agama, kita harus mampu memunculkan kesenian alternatif yang islami seperti musik Nasyid atau musik islami serupa lainnya. Karena tidak jarang, dengan musik-musik seperti itu akan memberi jawaban bagi orang yang memang suka dan haus akan kesenian.
Jika kita dalam menghadapi sesuatu hanya melarang saja, akibatnya tidak akan didengarkan masyarakat. Prinsipnya tidak hanya berfatwa tapi harus dengan tindakan. Berbagai konflik yang terjadi di masyarakat sekarang ini saya kira sebabnya karena kita hanya bisa menghukumi dan tidak bisa memberikan solusi apa-apa bagi mereka, lebih dari itu bahkan meninggalkan mereka. Jelas, dengan sikap demikian akan membuat masyarakat semakin kacau tidak karuan.
Seperti sejarah Wali Songo dalam menghadapi masyarakat yang demam kesenian. Mereka menyiasati agar dengan kesenian itu masyarakat bisa ditarik untuk mengenal Islam. Misalnya dengan mengadakan pentas wayang kulit, sementara tiket masuknya bagi siapapun diminta membaca syahadat. Demikian pula seiring dengan itu diciptakan gending-gending yang berisi ajaran-ajaran Isalam.
Dengan kata lain, Wali Songo yang merintis, tugas kita saat ini untuk melanjutkan estafet perjuangan yang ramah dengan seni masyarakat. Kreatifitas adalah kuncinya, bukan mengeluarkan hukum yang hitam putih tentang kesenian. Ini memang tugas berat, tapi kita harus memulainya dan tentu akan membutuhkan waktu lama. Karena itu dibutuhkan langkah yang sistematis dan berkelanjutan.
* Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo