Kita tak mungkin melupakan sejarah. Daerah-daerah yang kini meliputi Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur, Samarinda, Balikpapan, dan Bontang adalah warisan dari dua kekuasaan kerajaan besar. Kutai Martadipura yang diperintah oleh Mulawarman dan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).
Tercatat ajaran Islam baru dikenal di wilayah ini berkat jasa dua ulama besar: Syekh Abdul Qadir Khatib Tunggal yang bergelar Datok Ri Bandang dan Datok Ri Tiro yang dikenal dengan gelar Tuanku Tunggang Parangan. Keduanya datang ke Jaitan Layar, ibu kota Kutai Kartanegara saat itu, sekarang Kutai Lama, setelah mengislamkan raja dan rakyat Kerajaan Gowa-Tallo. Tak beberapa lama, sekitar akhir 1605, raja dan rakyat Kutai menjadi pemeluk agama Islam.
Diakui strategi dakwah dua ulama besar ini memang jitu. Yakni mendekati raja atau penguasa setempat terlebih dulu untuk meyakini kebenaran atau kebaikan agama baru. Benar. Ketika Raja Mahkota (1565-1605) memasuki agama Islam, serentak para pembesar kerajaan dan rakyat mengikuti jejak raja. Islam menjadi agama negara dan nafas sistem pemerintahan, dan sejak itu mulailah era baru pengembangan Islam. Islam diwartakan lewat pendekatan kekuasaan.
Setelah Aji Dilanggar yang menggantikan ayahandanya wafat, ia segera digantikan puteranya, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa. Di bawah pemerintahan raja inilah, perluasaan dakwah Islam semakin cepat. Kerajaan Kutai Martadipura adalah negara tetangga yang diliriknya.
Lantaran Kerajaan yang berkedudukan di Muara Kaman ini menolak mentah-mentah ajakan masuk Islam, maka pecahlah perang dahsyat yang akhirnya dimenangi oleh penguasa Kutai Kartanegara. Setelah itu Kerajaan Kutai dirubah namanya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dan Rajanya bergelar Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa Ing Martadipura. Pada masa ini, Islam mulai menyebar di sepanjang Sungai Mahakam dan beberapa wilayah yang dewasa ini berada dalam wilayah Kotamadya Samarinda.
Persinggungan Agama dan Politik
Segera nampak jelas rupanya mengapa pertumbuhan Islam di Kalimantan Timur dan umumnya di luar Jawa lainnya relatif bisa bergerak cepat. Yang segera bisa dibedakan dengan perkembangan Islam di Jawa yang ditempuh oleh para wali melalui apa yang disebut sebagai dakwah kultural, baik melalui perdagangan maupun perkawinan. Yang terakhir ini sering kita dengar berlangsung secara damai dan penuh persahabatan, sementara syiar yang diwartakan lewat pendekatan kekuasaan justru melahirkan kekerasan dan perang.
Bukan hanya di wilayah Kalimantan Timur dakwah Islam berlangsung penuh ketegangan. Cerita tentang Islamisasi melalui penguasaan struktur politik juga berlangsung di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17. Raja Tallo memeluk Islam dengan gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam, dan disusul kemudian Raja Gowa yang setelah masuk Islam bergelar Sultan Alauddin.
Di bawah dua penguasa politik ini, Islam bukan hanya didengung-dengungkan dengan gegap gempita melalui corong pusat-pusat kekuasaan politik formal, penuh tekanan dan paksaan di daerah kekuasaan Gowa-Tallo. Tapi juga di wilayah beberapa kerajaan tetangganya. Sebagian memang berhasil diislamkan dengan mulus, tapi tak sedikit raja-raja yang enggan meninggalkan keyakinan lamanya. Sejarah lalu mencatat perang yang berkobar hebat antara aliansi tiga kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng yang bersatu padu melawan Gowa-Tallo. Meskipun banyak sejarawan yang cenderung meyakini motif politik ketimbang agama di balik pertumpahaan darah yang mengerikan itu.
Agama, dan politik yang bersifat duniawiah itu rupanya memang sulit dipisahkan, manakala keduanya erat bersinggungan. Ajaran agama yang mulanya mewartakan kedamaian, tiba-tiba tumbuh menjadi sosok yang menakutkan ketika bersentuhan dengan kekuasaan. Di tangan para elit politik, kadang yang profan dan duniawi begitu mudahnya dibungkus baju kesakralan dan kesucian. Anehnya di seberang sana, mereka “yang lain”, yang “berbeda” dari keyakinan penguasa lantas dipandang musuh, lawan yang musti disingkirkan…
Mahkamah Islam
Dalam perkembangannya, entah sejak kekuasaan siapa, kehadiran Mahkamah Islam menjadi salah satu simbol penting “manunggal”-nya kekuasaan sultan sebagai kepala pemerintahan, sekaligus pimpinan keagamaan. Melalui lembaga ini Islamisasi bukan hanya digalakkan, tetapi setiap aliran dan paham keagamaan yang berada dalam seluruh lingkup wilayah kerajaan diawasi dan dikontrol. Setiap tempat dan kota ditunjuk penghulu-penghulu sebagai kepanjangan tangan Mahkamah Islam Kerajaan. Seperti di Sanga-Sanga yang terkenal dengan Penghulu KH. Mohammad Nasheer.
Suatu peristiwa menarik terjadi pada 1928. Seorang ulama lulusan Universitas Al-Azhar Mesir, Argub Ishak diadili dan diusir dari Kutai karena mengajarkan paham yang bertentangan dengan paham resmi kerajaan.
Diceritakan Argub Ishak selama beberapa hari memberikan ceramah terbatas kepada sejumlah anak muda. Ia mendakwahkan paham baru yang dibawanya dan dalil-dalil yang memperkuat ajarannya. Disadari ajaran yang didakwahkan berbeda, Ishak lalu dilaporkan kepada H. Aji Pangeran Sosro Negoro, Ketua Mahkamah Islam waktu itu (1926-1935). Setelah melalui serangkaian interogasi yang melelahkan, Ishak diketahui mengajarkan paham Ahmadiyah. Detik itu pula, Argub Ishak dinyatakan bersalah dan diminta meninggalkan tanah Kutai.
Hal serupa sebenarnya telah terjadi sekitar tahun 1926. Seorang ulama Muhammadiyah asal Sanga-Sanga yang berjalan memasuki Tenggarong untuk menyiarkan “paham baru” terpaksa harus gigit jari. Pasalnya, pemerintah kesultanan melalui Mahkamah Islam tak mengizinkan penyebaran paham baru itu demi menjaga ketenangan masyarakat.
“Yang lain” Berhak Hidup
Rasanya, dua peristiwa di atas cukup memperlihatkan bagaimana sebuah keyakinan bisa diklaim sebagai satu-satunya kebenaran, dengan akibat meniadakan keyakinan yang lain. Melalui kekuasaan, klaim kebenaran bukan hanya direngkuh, tapi juga ditentukan dalam batas-batas mana kebenaran yang dimiliki orang lain berhak hidup dan tumbuh berkembang.
Entah bagaimana ceritanya, dulu tiba-tiba penduduk Kutai bisa terbelah ke dalam dua kategori sosiologis: “Kutai” dan “Dayak”. Yang pertama dilekatkan pada orang yang memeluk Islam, sementara yang terakhir ditempelkan bagi mereka yang setia pada tradisi lamanya atau memilih selain Islam. Di tambah lagi orang Dayak yang kemudian beralih ke Islam dikategori “Haloq”. Entah mengapa pula, Supinah, sang dukun Balian di sebuah dusun di Kutai Kartanegara selalu dibingungkan mengapa “Islam lama” membolehkan praktek Balian, sementara “Islam baru” mengharamkannya; mengapa gereja yang satu selalu mengusik profesinya sebagai “praktek orang hutan”, sedangkan gereja yang lain bersikap tak ambil peduli.
Dan entah bagaimana, tradisi saling-mengambil (sinkretisme) yang menjadi sunnatullah dalam sebuah dialog kebudayaan, hendak dimurnikan dalam identitas yang tunggal.