(Catatan dari Revisi KHI Tim Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama). Pada akhir bulan Oktober 2003 lalu, saya pernah menghadiri sebuah pertemuan dalam rangka sosialisasi RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan di Departemen Agama RI. Hampir seluruh pesertanya didominasi oleh kaum laki-laki. Mereka rata-rata para hakim agama dan pejabat departemen agama terkait. Hanya 3-5 orang saja yang hadir dari kaum perempuan. Padahal pertemuan tersebut hendak membicarakan sebuah tema yang sangat penting. Yakni membahas masalah hukum perkawinan yang akan berlaku mengikat bagi seluruh umat Islam di Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan bagi saya dan teman-teman waktu itu adalah mengapa untuk membicarakan RUU yang begitu penting terkait dengan kehidupan perkawinan laki-laki dan perempuan, kok tidak melibatkan kaum perempuan sebagai pelaku? Tapi yang lebih membuat kami terperangah adalah materi RUU itu sendiri yang sangat konservatif, bias gender, tidak pluralis, dan tidak mencerminkan heterogenitas pandangan, cara hidup, dan budaya masyarakat lokal.
Setelah bertanya-tanya, akhirnya saya mendapatkan jawaban dari Kepala Peradilan Agama DKI Jakarta bahwa materi RUU itu mengacu sepenuhnya pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang selama ini biasa dipakai bahan rujukan bagi para hakim di lingkungan pengadilan agama seluruh Indonesia. Seperti apa Kompilasi Hukum Islam itu? Dan sejauhmana KHI ini telah memapankan praktek subordinasi dan pengingkaran terhadap hak-hak kultural perempuan?
Kompilasi Hukum Islam atau lazim disebut KHI ini sebenarnya adalah kumpulan hukum Islam yang disusun pemerintah yang materinya berasal dari sumber-sumber fikih klasik untuk mengatur masalah keluarga. Meliputi hukum perkawinan, perwarisan dan perwakafan. Kompilasi ini disusun berdasarkan keputusan bersama Ketua MA dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 dan menghabiskan waktu 6 tahun selama 1985 hingga 1991. Lalu pada 10 Juni 1991 berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 dikukuhkan sebagai pedoman resmi bidang hukum dalam lingkungan peradilan agama di seluruh Indonesia.
Ketika saya mewawancarai Dr. Siti Musdah Mulia, MA yang sebagian pernah dimuat dalam Buletin ini (Diaspora, edisi 4, September 2003), ia menyatakan bahwa KHI khususnya bidang perkawinan sangat bias gender dan menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Berbagai klausul KHI sangat tidak demokratis, diskriminatif, tidak pluralis, dan juga sangat merugikan posisi perempuan sehingga membuka peluang lebar terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Karenanya lalu Musdah Mulia bersama kawan-kawan yang tergabung dalam Tim Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama, yakni: Abdul Muqsith Ghazali, Marzuki Wahid, Abdurrahman Abdullah, Anik Faridah, A. Mubarak, Marzani Anwar, Saleh Partaonan, Mesraini, Asep T. Akbar, Badriyah, Ahmad Suaedi, Dan Lies Marcoes, telah jauh hari memprakarsai suatu revisi atas KHI ini agar lebih mencerminkan asas pluralisme, demokrasi, keterbukaan dan kesetaraan. Musdah pun menegaskan bahwa sejak awal mulanya KHI ini sangat merugikan perempuan. Bahkan, katanya, sejak definisi perkawinan sendiri ditetapkan ia telah membuka peluang subordinasi perempuan. Dalam KHI dinyatakan bahwa perkawinan dilakukan untuk memenuhi perintah Allah dan merupakan ibadah. Sehingga secara sederhana lalu diasosiasikan sebagai kewajiban agama. Belum lagi perintah Allah ini lalu ditafsirkan secara bias patriarkis sehingga terjalin mata rantai yang saling kait mengait yang akan merugikan kaum perempuan.
Rupanya memang benar, bila kita baca kompilasi itu, ada yang hilang dari pengertian perkawinan sendiri. Yakni prinsip kesepakatan suka rela antara laki-laki dan perempuan untuk membangun bahtera rumah tangga. Padahal rasanya mustahil perkawinan akan terjadi, apalagi membangun keluarga yang harmonis tanpa ada kesepakatan sukarela antara kedua belah pihak. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari saja misalnya, kita mesti membuat kesepakatan-kesepakatan. Jangankan hendak berumah tangga, dalam organisasi, asosiasi-asosiasi, dan hidup bermasyarakat, kita perlu kesepakatan sosial. Tanpa kesepakatan rasional seperti ini sebuah keluarga niscaya akan rawan chaos, konflik, atau bahkan muncul kasus-kasus pemaksaan atau pelanggaran hak-hak perempuan yang tak jarang diakhiri dengan kekerasan. Dan bila kita merujuk pada aturan-aturan dalam KHI ini, perempuan benar-benar dalam posisi subordinat, pasif, dan tidak memiliki peran yang signifikan. Dan bila terjadi konflik dalam perkawinan, perempuanlah pihak yang rentan menjadi korban.
Masih rendahnya kedudukan perempuan ini juga karena ada anggapan umum turun temurun bahwa laki-laki, bukannya perempuan, yang menjadi kepala keluarga. Lalu dari sini muncul kesan atau klaim bahwa laki-laki selalu lebih superior dari perempuan.
Ternyata kalau kita baca gambaran semacam ini banyak menghiasi pasal-pasal dalam KHI. Misalnya tercermin dalam ungkapan-ungkapan “suami adalah pembimbing”, “suami wajib melindungi”, “suami memberi segala sesuatu”, “suami mendidik”, “suami menanggung”, dan sebagainya. Kontras dengan representasi laki-laki yang serba super ini, praktis perempuan hanya diperlakukan seperti barang yang pasif, lemah dalam segala hal, dan seolah tidak memiliki kemampuan apapun untuk memimpin keluarga. Malahan secara eksplisit pasal-pasal dalam KHI ini cenderung mengabsahkan subordinasi dan domestifikasi terhadap kaum perempuan. Misalnya saja dikatakan bahwa kewajiban isteri adalah “berbakti lahir dan batin kepada suami”, sekaligus “menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari”.
Beberapa waktu lalu, ketika saya berbincang-bincang dengan Abdul Muqsith Ghazali, ahli fikih alumnus pesantren Salafiyah Situbondo dan salah satu anggota Tim reformasi KHI, ia berpendapat bahwa pandangan subordinat semacam ini lebih dikarenakan wajah kompilasi hukum Islam kita yang berorientasi fikih normatif, klasik, patriarkis, eksklusif, dan khas Arab. Corak fikih demikian, katanya, meninggalkan realitas empiris (budaya, lingkungan sosial) lokus di mana hukum Islam itu ditempatkan. Selain itu bias kelelakian jelas terpampang dalam KHI karena mayoritas perumusnya adalah laki-laki. Sehingga impuls-impuls kelelakian sangat mewarnai pembahasan fikih. Bahkan KHI ini, katanya, mencangkok habis-habisan tradisi Arab yang mewarnai rumusan fikih klasik untuk meneropong persoalan lokal dan kontemporer. Misalnya, pandangan bahwa laki-laki adalah pihak yang mencari nafkah bagi keluarga, dan juga bahwa lelaki bekerja pada dua wilayah sekaligus, publik dan domestik. Pandangan semacam ini sangat Arab sentris di mana suami meraih posisi penting, sementara perempuan menjadi sekadar pelayan laki-laki. Maka wajarlah bila produk-produk hukum Islam klasik sangat bias gender. Misalnya, soal saksi nikah haruslah seorang laki-laki, ada wali nikah bagi calon isteri dan harus laki-laki pula, kepala keluarga mesti laki-laki, hak poligami bagi laki-laki, hak menjatuhkan cerai oleh pihak laki-laki, dan seterusnya.
Laki-laki juga menjadi satu-satunya pihak yang berhak menimpakan tuduhan pembangkangan (nusyuz) kepada isteri. Misalnya karena tidak mau melayani suami. Tanpa dicari alasan-alasan kenapa membangkang atau menolak. Hal yang sama juga terjadi dimana laki-laki punya hak menceraikan isteri. Sementara hal yang sama tidak bisa dilakukan si isteri. Meski bisa melalui khulu’, yakni permintaan cerai oleh istri kepada suami, menurut Muqsith, kaidah ini juga sangat bias gender. Alasannya, karena bobot cerai di sini bersifat berat sebelah. Rujuknya mantan suami dan isteri setelah proses talak oleh laki-laki dilakukan tanpa melalui akad nikah ulang. Sementara rujuk setelah permintaan khulu’ dari perempuan diharuskan mengucapkan akad nikah ulang. Ini letak bias gendernya, kata Muqsith berargumentasi. Hal-hal inilah nanti yang akan kita revisi, tegasnya.
Jika demikian sebenarnya kita bisa nyatakan, bukankah sangat sembrono menerapkan pemahaman klasik dan Arabis tentang perempuan dan perkawinan ke dalam budaya kita? Situasi dan budaya bangsa Arab ini jelas sangat berbeda dengan budaya di negeri kita. Lazim dalam masyarakat kita misalnya, suami dan isteri bekerja bersama-sama untuk menanggung beban keluarga. Tidak jarang juga pihak perempuan yang membimbing atau mengajari suami dalam berbagai hal. Bahkan tidak sulit kita temukan perempuan menjadi tulang punggung hidup keluarga. Berkiprah dalam ranah publik dan menjadi wanita karir, misalnya.
Konstruk-konstruk seperti di ataslah kini yang dijadikan pegangan dalam hukum perkawinan. Di mana perempuan sama sekali tidak memiliki posisi tawar di hadapan laki-laki untuk melindungi dirinya. Perempuan begitu rentan terhadap kekerasan karena justeru UU nya sendiri tidak memberikan proteksi, apalagi menjamin hak-hak kultural mereka.
Ya, kita sekarang ini tinggal berharap banyak dari reformasi KHI yang tengah digarap Tim Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama ini. Di mana hak-hak kultural perempuan akan memperoleh pengakuan yang signifikan; prinsip kesetaraan dijamin oleh hukum; dan segala peraturan yang mengunci perempuan dalam ruang domestik dipreteli dan dibongkar. Demikian juga perlunya landasan baru yang searah dengan maqasid al-syariah sendiri, seperti: kesetaraan (al-musâwah), kemaslahatan (al-mashlahat), keadilan (al-‘adâlah), pluralisme (al-ta’addudiyyah), dan demokrasi (al-dîmûqrathiyyah).
Menurut Muqsith, ada beberapa hal yang ditekankan dalam KHI baru ini nantinya. Di samping tentu saja prinsip-prinsip dasar perkawinan seperti tertuang dalam “kehendak syariah” di atas. Adalah penghapusan saksi laki-laki, wali nikah, dan laki-laki sebagai kepala keluarga, serta penekanan pada prinsip poligami dalam perkawinan. Ini karena pasal-pasal itu penuh dengan bias kelelakian itu yang lahir dari stereotip minor terhadap perempuan. Selain itu, ada penambahan bab baru dalam revisi KHI ini nantinya, yakni bab tentang kawin beda agama. Kawin beda agama diperbolehkan setelah masing-masing pasangan mempertimbangkannya dengan matang. Juga ditegaskan secara eksplisit kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam wujud persamaan hak dan kewajiban suami-isteri. Dan tak kalah penting adalah penegasan adanya perjanjian perkawinan tertulis dan pencatatan untuk melindungi hak-hak perempuan dan menghindari kekerasan rumah tangga.
Mengenai pencatatan ini, menurut Muqsith, KHI nanti akan menyaratkan pencatatan dalam perkawinan. Bahkan pencatatan menjadi rukun nikah!. Petugas pencatat nikah sekaligus menjadi saksi itu sendiri, katanya. Jadi kita bisa berharap bila KHI hasil revisi ini nanti diterima, berarti tidak ada lagi perkawinan yang tidak dicatatkan. Dengan demikian tidak ada lagi perkawinan yang tidak sah karena beda agama, atau anak haram atau tidak sah karena dihasilkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Dengan pencatatan ini perempuan juga relatif terproteksi hak-haknya.
Bagaimanapun juga apa yang digagas Tim Pokja Pengarusutamaan Gender Depag dalam mereformasi KHI ini masih merupakan upaya yang panjang. Mengingat secara internal dalam Departemen Agama sendiri terdapat fragmentasi kepentingan, paradigma keagamaan dan agenda politiknya. Apalagi pengambil kebijakan dalam institusi ini, misalnya para hakim agama, masih didominasi kaum laki-laki yang notabene kurang memiliki sensitifitas terhadap isu-isu gender dan pluralisme yang terkait dengan hukum perkawinan.
Tantangan lainnya, dan ini yang paling disayangkan, belum lagi KHI hasil revisi ini selesai disusun, kini RUU Hukum Terapan Peradilan Agama bidang Perkawinan yang sangat konservatif itu, bahkan kata Musdah lebih konservatif dari KHI sendiri, justeru akan segera melesat ke legislative untuk dibahas. Lalu bagaimana nasib perempuan dan perbaikan hak-hak kulturalnya dalam hukum perkawinan Islam? Di tengah harapan supaya RUU itu batal dibahas, memang faktanya “sorga” masih dimonopoli oleh kaum lelaki. Desantara-Mh. Nurul Huda