Gunretno adalah teman sekaligus “saudara”(sedulur) saya. Saya sering tidak pernah tega ketika tilpun tangan saya berdering lalu suara Gunretno muncul di tilpun itu dan dia meminta kedatangan saya bersua ke Pati, rumahnya. Tentu saya menganggapnya ini bukan undangan pribadi. Tapi undangan kepada Desantara agar masih bersedia terlibat dengan seluruh usaha yang dilakukan Gunretno untuk mengorganisasi petani di Pati.
Karena saya sendiri bertemu Gunretno di suatu pertemuan workshop kebudayaan Desantara di Pati Jawa Tengah. Kira-kira empat tahun yang lalu. Persisnya April 2002. Undangan dari Desantara seperti pada workshop-workshop sebelumnya, mengundang “kelompok-kelompok minoritas” untuk mempresentasikan pengalaman agama-agama lokal menghadapi sikap represi dan dominasi dari negara dan agama resmi. Mengundang mereka tentu bukan pilihan mana suka. Mereka diundang karena dalam berbagai literatur dan informasi di berbagai media, kelompok ini ternyata masih bertahan dengan segala tradisi ”keagamaannya”. Yang menarik pula, dari beberapa informasi di lapangan, kelompok ini masih enggan dianggap sebagai bagian dari umat Islam di Pati. Bahkan sebagian diantara mereka menolak mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) lantaran keharusan untuk mencantumkan label agama (agama resmi) di dalam kartu identitias tersebut.
Namun, terus terang saya harus mengakui dengan jujur, bayangan semula saya mengenai komunitas sedulur sikap adalah bayangan yang serba menyeramkan, tapi juga sekaligus menggelikan. Pengetahuan saya sangat sedikit mengenai kelompok ini. Belum lagi begitu menginjak kaki di kota Pati, saya bukannya mendapatkan pengetahuan yang lebih baik mengenai masyarakat Samin. Informasi dan pengetahuan populer di kalangan masyarakat Pati pada umumnya ternyata banyak dipenuhi oleh stereotipe yang negatif.
Di kalangan orang Pati, istilah “Samin” sesungguhnya lebih menyerupai sebagai sosok yang polos, banal, dan tidak jarang dicitrakan sebagai sosok “keras kepala”. Setidaknya kenyataan ini pernah saya rasakan ketika kali pertama berkunjungke desa Bombong Sukolilo Pati. Tepatnya pada tahun 2002, selang beberapa bulan setelah pertemuan workshop Desantara. “Mas, dimana ya Bombong itu?” Tanya saya suatu ketika, sambil meletakkan sepeda motor buntut dan istirahat sebentar usai perjalanan jauh dari kota Pati ke arah selatan. “Bombong mana ya?” Itu lho, kelompok Masyarakat Samin. “Oh saminan?” Tegasnya sambil matanya memandang saya penuh selidik. Nampaknya dia juga tidak sendirian. Pandangan orang-orang yang kebetulan bersebelahan dengan percakapan saya tadi, juga menyiratkan hal yang sama. Banyak mata tengah memandang saya. Tentu saja saya harus menyesauikan diri, bersikap bersahabat, dan menyembunyikan suatu reaksi yang kira-kira malah akan mencurigakan. Akhirnya, tak peduli dengan semua pendangan ini, begitu percakapan usai, saya lalu meneruskan perjalanan. Sialnya, pengalaman yang sama malah kembali berulang. Begitu saya tiba di desa Bombong, semua orang memandang penuh selidik ketika saya membuka pertanyaan mengenai posisi rumah Gunretno. “Saminan kuwi tho (orang Samin itu kan)?” Jawabnya singkat.
Istilah saminan ini bahkan sudah dikenal di seluruh Pati. Di Kajen, yang letaknya kurang lebih tigapuluh kilo meter dari Sukolilo ke arah utara, istilah Saminan bahkan kerap dijadikan bahan lelucon. Anak-anak yang dianggap nyeleneh, suka ngeyel, sering diumpat-umpat dengan kata-kata, “dasar samin!”
Tentu saja saya merefleksikan semua pengalaman ini. Tahun 2002 bagi saya adalah sebuah nubuat bagi masa baru yang seharusnya sudah dihadapi orang-orang di masyarakat desa dengan situasi yang baru pula. Setidaknya bahwa dengan lengsernya Soeharto, mereka sudah bisa merasakan kebebasan yang lebih longgar. Mereka sudah bisa melihat siaran media televisi yang bebas meliput aksi dan demonstrasi di suatu masyarakat tertentu. Situasi-situasi baru ini seharusnya juga membawa implikasi bagi perubahan sikap di kalangan masyarakat bawah. Perubahan itu misalnya dapat disaksikan dalam perubahan mengenai pemandangan antar-budaya. Tapi, ternyata pemgalaman saya bersua ke Bombong waktu itu justru memperlihatkan fakta yang berbeda. Di sana Komunitas Samin ternyata masih menjadi korban stereotipe sebagai “kelompok minor”. Tapi jangan heran, karena stereotipe ini seringkali tidak mewakili kenyataan yang sesungguhnya, maka bayangan kita terhadap kelompok samin sebagai “kelompok minor” ini hilang seketika begitu berhadapan langsung dengan mereka.
Gunretno adalah salah satu generasi muda Sudulur Sikep. Siapapun yang mampu menangkap makna bahasa Jawa akan dengan cepat menyimpulkan sosok Gunretno yang sesungguhnya. Rasanya berhadapan dan berbincang dengannya kita seperti merasakan sosok yang pengalamannya jauh lebih panjang dibanding usianya. Dengan bahasa Jawa-nya yang ngoko – khas Sedulur Sikep, artikulasi Gun sangat sistematis. Bicaranya pelan, datar, namun memiliki tingkat presisi yang sangat cerdas di dalam memilih, mengunyah setiap kata yang dia utarakan. Rupanya Gun tidak sendirian. Rata-rata komunitas sudulur sikep yang saya kenal juga tidak sembarangan bicara. Saya baru sadar, dan semakin memahami makna dari salah satu ajarang (ageman) yang dipraktikkan oleh sedulur sikap: “menyatukan ucapan dan tindakan”.
Namun yang menarik, Gun bukan orang yang terlalu suka meromantisasi ajaran-ajaran kagamaan sedulur sikep. “Tidak ada yang berubah kccuali perubahan itu sendiri”. Barangkali istilah ini lebih tepat menggambarkan bagaimana Gunretno sesungguhnya tengah melakukan “tafsir ulang” atas sistem keagamaan sedulur sikep menghadapi situasi kontemporer. Gunretno dalam banyak hal memiliki kualifikasi untuk melakukan pilihan seperti ini. Disamping Gunretno dikenal cukup kritis sebagai anak muda di sedulur sikep, di tengah kegalauan sedulur sikep yang memperdebatkan identitias diri menghadapi beragam perubahan, Gun malah memilih posisi yang jauh lebih radikal. Dibandingkan dengan sedulur sikep yang lain, Gun nampak lebih terbuka, dan proaktif menghadapi perubahan. Dia sangat aktif membangun kerjasaman dan jaringan dengan komunitas petani lain di Pati. Bahkan sikapnya ini kerap ia tularkan kepada teman-temannya di sedulur sikep.
“Saya menjadi begini ini juga karena pendidikan yang diajarkna Mbah Tarno”. Akunya suatu ketika. Mbah Tarno adalah sosok yang masih disegani. Dialah generasi tua yang tersisa di sedulur sikep. Dalam pengakuan Gun, Mbah Tarno adalah sosok yang selalu mendorong anak muda sedulur sikep menjadi generasi yang siap menghadapi tantangan baru. Tentu saja di masa sekarang pernyataan Gun ini tidak mudah bisa dipahami. Rata-rata anak muda seusia Gunretno sendiri jarang yang memiliki pegulatan intensif dengan Mbah Tarno di masa lalu. Tapi, justru karena kedekatannya yang begitu luar biasa, Gun malah semakin menjadi anak muda yang kritis, bahkan dapat menjaga jarak dengan seluruh gagasan Mbah Tarno — apalagi akhir-akhir ini ketika pemikiran dan sikap Mbah Tarno mulai banyak berubah seiring perubahan usianya yang semakin senja.
Bagi Gunretno sendiri, perbedaaan usia antar generasi, misalnya antar generasi Gunretno sendiri dengan Mbah Tarno telah menimbulkan berbagai persoalan baru. Benturan pengetahuan terjadi di beberapa tempat. Salah satunya yang terus mendapatkan perhatian adalah sikap dan tindakan Gunretno sendiri. Gun adalah salah satu pelopor berdirinya gerakan Serikat Petani Pati (SPP). Dia bersama teman petani lain di Pati berkeinginan untuk membangun organisasi petani yang kuat dan memiliki integritas tinggi untuk memperjuangkan nasib petani, khususnya di lingkungan Pati. Dia bahkan secara sadar juga tak pernah berhenti mengajak generasi-generasi sedulur sikep untuk terus terlibat dengan usaha pengorganisasian petani. Kenyataan ini menimbulkan sikap prokontra di kalangan sedulur sikep. Tindakan Gunretno dianggap melanggar ajaran Sedulur Sikep. Gun malah berbalik bertanya. Yang dimaksud dengan ajaran yang sesunguhnya itu seperti apa? Apa kita harus meniru seluruh perilaku (tatanan) yang dilakukan Mbah Sunsentiko di masa lalu, atau bagaimana?
Apakah yang selalu berada di dalam benak Gunretno. Tentu tidak semua orang bisa menebaknya. Tapi rasanya apa yang tengah dipikirkan oleh Gunretno tidak berbeda jauh dengan yang berada di benak pemikiran Samin Suresentiko di awal abad ke-19. Samin seperti diulas dalam berbagai literatur, adalah sosok petani Jawa yang melakukan suatu langkah revolusioner pada masanya. Dia memiliki pengetahuan yang baik mengenai “agama petani Jawa”. Melalui dan bersama simbol-simbol agama Jawa itulah dia memobilisasi petani Jawa untuk melakukan aksi perlawanan terhadap kolonial. Sesuatu yang nyaris tidak bisa dilakukan oleh gerakan sebesar Syarikat Islam (SI) pada masa itu. Padahal seperti ditunjukkan dalam tulisan Lance Castle, Syarikat Islam waktu itu sudah memiliki cabang di sekitar daerah Blora dan Bojonegoro – berdekatan dengan titik-titik penyebaran ajaran Samin.
“Agama petani Jawa” yang saya maksud disini tidak melulu spesifik seperti diutarakan oleh Clifford Geertz sebagai abangan. Sedulur sikep yang mengaku beragama adam dalam banyak hal juga bagian dari agama petani Jawa. Mungkin Saptodharmo, dan beberapa “aliran kepercayaan” yang tumbuh di lingkungan petani Jawa juga bagian dari agama petani Jawa itu. Variasi keberagamaan ini saya kira tidak dapat dielakkan. Basis sosial sosial ekonomi mereka yang tidak seragam, dan cara mereka menafsirkan perubahan yang mengitari mereka sangat memungkinkan terjadinya polarisasi tersebut.
Adapun sesuatu yang khas dimiliki Samin Surosentiko adalah kemampuannya di dalam membangun identitas baru di kalangan petani Jawa itu. Identitas itu tentunya lahir tidak untuk dijadikan kata benda, atau dibendakan (baca: reifikasi), tetapi dijadikan sebagai modal simbolik yang menggesa terjadinya suatu perubahan yang diinginkan. Misalnya Sartono Kartodirdjo menulis gerakan Samin sebagai “gerakan ratu adil”. Konsep ratu adil sedikitnya menyiratkan bayangan petani menatap masa depan, dan menghubungkannya dengan tradisi masa lalu. Lepas dari keterbatasan konseptual yang dimiliki Sartono di dalam menggambarkan dinamika kelompok Samin ini, satu hal yang menarik adalah bahwa identitias yang didalamnya menyampaikan konsepsi ratu adil itu jelas merupakan usaha otentik Mbah Samin untuk menggerakkan massa petani Jawa.
Saya merasa Gunretno sekarang berada di dalam kondisi seperti ini. Ia sedang berusaha keras untuk menyimak kembali ajaran-ajaran sedulur sikep (“saminisme”) sambil mendialogkannya dengan situasi kekinian. Waktulah yang akan menentukan sejauhmana upaya Gunretno ini kelak memiliki implikasi yang lebih besar, atau tenggelam tak berbekas. Desantara / M. Nurkhoiron