Saya datang ke Pati dengan beberapa pertanyaan. Kapan revolusi hijau mulai dipakai oleh para petani di sana? Bagaimana infiltrasinya? Adakah peran pesantren? Bagaimana pelibatannya? Bagaimana respon orang pesantren atas revolusi hijau?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang hendak saya lihat, kalau seandainya pesantren dilibatkan, tentu akan memunculkan pertanyaan turunan, misalnya kenapa posisi pesantren penting dan dianggap penting oleh pemerintah?
Di Pati, terutama di daerah utara, pesantren memang bertebar di banyak titik. Ia menjadi bagian dari gerak kehidupan di daerah yang disebut juga dengan nama Bumi Mina Tani itu. Menjadi makin terlihat saat Ramadhan seperti sekarang. Suara anak-anak yang tiap malam berkeliling sambil membunyikan tetabuhan agar orang-orang untuk sahur, suara Tarhim dari masjid-masjid, banyaknya jamaah saat taraweh juga tadarus dari masjid-masjid begitu semarak.
Mengaitkan pesantren dengan revolusi hijau, sebenarnya bermula dari tebakan tentatif saja. Bayangan kita, seperti halnya KB yang sukses karena merekrut orang-orang pesantren, memungkinkan pola yang sama dipakai untuk menyukseskan panca usaha tadi. Kuatnya kultur pesantren, memungkinkan pesantren menjadi mitra pemerintah untuk menyukseskan intensifikasi pertanian, nama lain dari revolusi hijau.
Setelah workshop di Omah Kendeng, Sukolilo, saya dengan Ruli berangkat ke utara, ke daerah Dukuh Seti. Di Dukuhseti terdapat beberapa pesantren, meski tak sebanyak Kajen, Margoyoso yang menjadi centre bagi pesantren di Pati. Pertama-tama yang saya tuju adalah Angkruk Kenanti. Saya datang hampir pukul 00.00 pada Jum’at malam (27 Agustus 2010). Angkruk ini menjadi tempat berkumpulnya Kelompok Tani Tani Rukun yang diketuai Pak Ali Irfan. Ada sekitar 93 anggota di sini. Sebagian besar anggota Tani Rukun, menggunakan pola semi organik, dimana untuk mengusir hama, para petani menggunakan empon-empon.
Hampir setiap malam, para petani berkumpul dan mendiskusikan soal-soal pertanian di sini. Saya kurang beruntung soal ini. Karena Ramadhan, mereka yang biasanya datang, lebih banyak absen karena aktivitas Ramadhan. Muhammad Farid Ma’ruf, pengelola angkruk sekaligus wakil Serikat Petani Pati untuk Pati utara, bercerita, hampir-hampir tak punya waktu luang karena banyaknya tamu. Maka, selama saya tujuh hari di Angkruk Kenanti, seperti Pak Ali Ifran, ketua tani Tani Rukun sibuk mengurus mushallanya. Biasanya, demikian Farid, Pak Ali selalu berada di angkruk setiap habis Isya’.
Angkruk sendiri, berupa bangunan seperti panggung yang berdiri di tengah sawah. Tanpa dinding, hanya kerai-kerai yang dipasang mengelilingi angkruk, supaya angin tak langsung mengenai isi di dalamnya. Angkruknya berlantai kayu, dengan tiang-tiang berbahan glugu, beratapkan daun sagu, dengan kerangka bambu. Angkruk, selain tempat kumpul para petani, juga anak-anak muda, malah, di luar Ramadhan, beberapa santri juga acap ke situ.
Banyaknya orang, menginspirasi Farid untuk hingga membuat cafe kecil-kecilan. Di atas meja yang ditutupi karpet kotak-kotak hitam putih, tersedia mie instan, beberapa minuman seperti teh botol, juga rokok. Di pojok sebelah kanan, terdapat dirigen-dirigen yang berisi bahan-bahan pengusir hama dari empon-empon. Di tempat yang tak memiliki pintu ini, juga terdapat satu televisi sharp ukuran 21 inci, satu DVD player.
Di sebelah kiri ruangan, satu set komputer yang diberi modem, sehingga orang-orang bisa mengakses internet di sini. Di angkruk juga terdapat satu kamar dua pintu, untuk menaruh barang-barang yang sekiranya tak mungkin ditaruh sembarangan sekaligus untuk gudang.
Malam itu, saya ngobrol dengan si pengelola angkruk, selain tertukar sapa, saya juga mengutarakan niat saya untuk penelitian di sini. Paginya, dengan bantuan Farid dan Yanti, juga masukan dari Roni, saya mencoba membuat list orang-orang yang ingin saya wawancarai. Ini kira-kira yang harus saya temui: untuk kiai, Gus Umar. Dikabarkan, Gus Umar memiliki konsen terhadap pertanian. Tetapi, karena Ramadhan, membuat saya memilih untuk tak membuat janji dengannya. Beberapa waktu sebelumnya, ia meminta izin kepada Farid untuk absen karena ramadhan, hal yang juga disampaikan oleh asistennya, Mas Didik. Mas didik sendiri mengelola yayasan yatim piatu.
Saya juga disuruh menemui Pak Azharuddin, yang tinggal di depan Pasar Ngagel. Juga pak Ali Irfan, ketua kelompok tani rukun. Pak ifran sendiri, berasal dari dukuh Cepoko, desa Ngagel. Selain itu, daftar yang harus saya temui adalah Mbah Zen sapaan karib KH Zainal ‘Arifin, pengasuh pondok Raudhatul Mubtadiin. Saya juga memasukkan list para Petani, Pejabat Pemerintah seperti penyuluh pertanian, juga mau datang ke Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), serta Badan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM) Maslahul Huda.
Sabtu malam, di angkruk, para petani berdatangan satu satu. Ada Pak Poyo, Mbah Darno, Roni, Anam, serta empat orang lainnya yang antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Mas Ari, yang kebetulan mau meneliti soal organ Petani Pati. Farid sendiri, yang memiliki banyak pengalaman, termasuk yang mengawali penggunaan pertanian organik di Dukuhseti, hanya sesekali menambahkan apa yang disampaikan para petani. Ia juga memiliki pengalaman segudang soal pertanian, seperti mengambil laba-laba dari rumah dan dipindah ke sawah untuk mengurangi hama. Soal pertanian, dari metode trial and errornya, membuatnya memahami setiap detail tahapan-tahapan pertanian.
Minggu, 29 Agustus 2010, pukul 11.00-an, saya dan Ruli menemuai Pak Kisman. Ia adalah Petugas Penyuluh lapangan (PPL). Usianya 57 tahun. Aslinya Banjar Negara. Ia mulai bertugas di Dinas Pertanian sejak 1980. Ia, juga sedikit tahu soal Bimas, Inmas dengan KUD sebagai penyalur kredit, Insus dengan PPL sebagai tulang punggung, suprainsus yang menyalurkan alat-alat pertanian.
Saat saya bertanya soal, adakah pesantren di Dukuhseti yang mendapat bantuan, ia mengatakan, setidaknya ada dua pesantren yang mendapat bantuan melalui program LM3. Lembaga ini milik dinas pertanian. Kepanjangannya, Lembaga Mandiri Mengakar di Masyarakat. Misi dari lembaga ini, sebagaimana ditulis di situs dinas pertanian, adalah melakukan peningkatan kemampuan, kapasitas dan wawasan Sumber Daya Manusia pengelola LM3 melalui kegiatan pelatihan, magang, sekolah lapang, studi banding dan pendampingan.
Dua bantuan itu satu di desa Ngagel, di Pesantren Roudhatul Mubtadiin, yang satu di desa Kembang. Pak Kisman juga menyebut beberapa nama yang mengurusi soal bantuan, seperti Aim (panggilan akrab Ainun Na’im) dan Kholil. Tetapi, pertemuan saya dengan pak Kisman sendiri tak seperti yang saya harapkan, karena permohonan memakai perekam, membuatnya menjadi sangat berhati-hati menjawab setiap yang saya ajukan.
Malamnya, saya datang ke tempat Aim. Ia adalah pengurus pesantren yang menerima bantuan dari pertanian di Desa Kembang. Saya datang ke rumahnya saat Taraweh belum usai. Ia tinggal di depan masjid di samping madrasah. Seusai Ia mempersilahkan kami duduk, saya mulai menceritakan maksud kedatangan saya.
Responnya agak mengejutkan, meski sebelumnya saya sudah dikasih gambaran oleh Farid soal Aim. Farid sendiri, masih memiliki garis saudara dengan Aim. Aim, tak langsung menjawab apa yang saya tanyakan, ia justru balik bertanya kenapa kami memilih Pati, yang menurutnya, pemerintahnya tak seirus untuk memperbaiki kondisi pertanian.
Alumnus pertanian UGM angkatan 99 ini malah mencontohkan daerah-daerah seperti di Jogja atau Jombang yang pemerintahnya responsif, termasuk petugas PPLnya. Ia juga bertanya, untuk melihat indikator yang kami buat, karena baginya, di dukuhseti, tak ada kiai yang bertani. Ia mengategorikan kiai yang kental nuansa aristokratnya.
Saat saya mencoba bertanya soal bantuan yang didapat di pesantrennya, ia bercerita bahwa bantuan itu simpel saja. Mumpung ada yang memberi informasi, ada yang kenal, maka ia membuat proposal sehingga ia mendapat bantuan. Bantuan itu, dipakai dengan gambaran begini: sepuluh sapi diberikan kepada masyarakat, sementara sisanya yang empat ekor, dipelihara pondok sendiri. Selain itu, pondok sendiri membuat kandang, pondok juga menanam rumput ‘Juwana’ seluas seperempat hektar. Rumput ini, katanya bagus untuk pakan ternak.
Suatu ketika, selain dalam sesi yang lebih banyak ngobrol itu, ia menyayangkan dinas pertanian yang diskriminatif. Kenapa banyak bantuan yang lebih banyak diberikan kepada pesantren di Kajen. Kenapa tidak disebarratakan di pesantren lain.
Kalau seandainya pemerintah benar-benar mau membantu, demikian kata Aim, seharusnya pemerintah membagi bantuan merata, kepada kiai-kiai desa yang langsung terjun di pertanian, bukan di pesantren yang tak memiliki kaitan dengan pertanian.
Soal Kajen lebih banyak mendapat bantuan, saya dapat jawaban, meski tak secara langsung karena saya sengaja tak mewawancarainya. Dalam obrolan di toko bukunya di Kajen, Marji, salah seorang warga Bulumanis, karena orang-orang Kajen memiliki jaringan yang kuat dengan pusat, bahkan dengan luar negeri.
Marji juga menceritakan bahwa tak ada satu pesantren pun di Kajen yang berkonsentrasi di pertanian. Malah, Marji bilang, suatu ketika, BPPM, lembaga taktis milik pesantren Maslahul Huda, pabrik kacang garuda pernah memberikan bantuan kepada petani melalui BPPM. Ketika panen, setiap satu kilo kacang, diambil beberapa rupiah dari setiap kilonya. Padahal, demikian Marji, BPPM hanya diberi kewenangan untuk memfasilitasi.
Kembali ke aim, ketika disinggung soal intensifikasi pertanian di tahun 1980-an, ia justru setuju. Kenapa? Karena saat itu Indonesia butuh hasil pertanian yang cepat, efektiv dan maksimal. Dan ia menunjukkan bahwa tahun 1984, Indonesia swasembada beras, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelum dan sesudahnya. Meski begitu, ia memberi catatan bahwa ketika situasinya berubah, harusnya pemerintah juga mengubah kebijakan. Sehingga tak menjadi seperti sekarang, ketika situasinya sudah jauh berubah, pemerintah masih menggunakan cara sama.
Hal yang lain yang ia soroti adalah soal kebijakan negara. Di China, pemerintahnya dalam memberlakukan sistem produksi pertanian sangat Komunis, terkontrol dari pusat, sehingga hasilnya maksimal. Dan ketika panen, negara lah yang membeli. Tetapi, setelah itu, negara berubah menjadi kapitalis sehingga dalam menjual, hasilnya menjadi maksimal.
Soal PPL sendiri, ia memiliki sikap untuk diserahkan kepada swasta. Kenapa? Dengan diserahkan ke swasta, akan membuat PPL akan memudahkan dievaluasi. Kalau kinerjanya kurang, pihak yang ditunjuk bisa diganti.
Hari berikutnya, 30 Agustus 2010, saya dengan Zarkoni ke Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah (STAIMAFA). Di sana telah menunggu Agus Sya’roni. Ia adalah staf pengajar di situ. Ia dulu pernah sekolah di Matholiul Falah, salah satu madrasah paling favorit di Kajen. Katanya, untuk bisa masuk ke madrasah ini, harus sudah hafal Alfiyah. Kajen sendiri, hanyalah sebuah desa yang ada puluhan pesantren di dalamnya. Hampir setiap pesantren di Pati, kiainya pernah mondok di Kajen, pesantren di Kajen, tak memusat di satu pondok. Sistem yang justru lebih kuat justru terbangun di madrasah seperti Matholi’. Agus sendiri cerita, seperti Maslahul Huda, pesantren yang katanya paling pertama di Kajen, dengan kiai Sahal Mahfudz, yang menjadi Rais ‘Am di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, paling-paling cuma tiga ratus santri.
Ia juga bercerita soal, siapa-siapa yang bisa ditemui untuk diwawancarai, termasuk pak wahib yang pernah menjadi ketua BPPM. Sayang, saat saya siang ke situ, pak wahib sedang sakit gigi sehingga tak mungkin diwawancarai.
Beberapa pertanyaan yang saya ajukan di atas memang masih jauh dari selesai. Misalnya, merekonstruksi kembali soal masuknya revolusi hijau, yang sudah lebih dari seperempat abad itu. Soal keterkaitan pesantren mungkin mulai kelihatan, misalnya, ada lembaga seperti BPPM yang secara khusus merespons gagasan intensifikasi pertanian. Tapi, menarik garis bahwa ‘kesuksesan’ revolusi hijau karena pesantren, tampaknya masih belum kelihatan, kecuali bahwa program ini an sich proyek saja.