Srinthil 12 : Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi

Tangar. Benarkah pertunjukan gandrung yang sering disebut oleh kaum terpelajar Using sebagai “dokumen sejarah” orang Using yang selalu ditekan dan melawan adalah simbolisasi tekanan dan perlawanan orang Using terhadap berbagai ancaman fisik dan pencitraan negatif dari Jawa, Bali, dan kolonial Belanda? Dalam praktiknya, para penyelenggara pertunjukan gandrung dan penari gandrung tetap mementaskannya tanpa berpikir tentang orsinalitas dan kritik-kritik dari berbagai pihak.

Sebagian besar pertunjukan gandrung memperlihatkan ketidakterikatannya pada aturan baku, tradisi, konteks masa lalu, dan moralitas tertentu yang diajukan oleh birokrasi, seniman-budayawan Dewan Kesenian Blambangan, dan kaum santri. Ia lebih merupakan hiburan massa rakyat yang dinamis dan berubah.

Sebagai hiburan yang terbuka dan dinamis, pertunjukan gandrung menjadi sangat plural dan tidak mengikuti aturan baku yang tunggal. Pluralitas itu juga terlihat dalam hal gegap-gempita berkaitan dengan ketersediaan minuman keras. Dalam konteks ”keusingan”, pertunjukan gandrung di daerah-daerah berpenduduk campuran Using, Jawa, dan Madura menunjukan lebih banyak tari maupun nyanyi Jawa, Madura, atau pop daerah-daerah lain seperti Sunda (jaipongan) dan dangdut. Sementara pertunjukan di daerah-daerah berbasis Using relatif bercorak Using, meskipun tidak sepenuhnya mengikuti aturan baku yang ditetapkan birokrasi dan Dewan Kesenian Blambangan.

Sang penari ingin menyuarakan bahwa muatan historis dan herois dalam gandrung adalah tafsir belaka, dan tak lebih dari sebuah konstruksi dan imajinasi yang terbuka untuk diperdebatkan.

Itulah Pasar…!
Gandrung pasar dalam arti hiburan terbuka untuk publik yang heterogen dan komersial menjadi berlawanan dengan gandrung yang dikonstruksi oleh birokrasi dan Dewan Kesenian Blambangan, yaitu gandrung yang merepresentasikan Using yang tertindas dan melawan. Dalam kenyataannya, kedua kekuatan itu bertarung memperebutkan gandrung sebagai representasi identitas Using. Birokrasi dan Dewan Kesenian Blambangan hendak mengembalikan gandrung seperti di masa lalu (konservasi tradisi) melalui berbagai kebijakan politik (regulasi) dan intelektual (sosialisasi pengetahuan) yang mengusung sejumlah aturan baku pertunjukan gandrung. Sementara gandrung pasar dilihat sebagai kenyataan yang ”menyimpang” dan perlu disesuaikan dengan kepentingannya.

Penari gandrung sadar dimana peran dan posisinya berada. Ada kalanya dia berada dalam lingkaran eksotisme tradisi untuk menjadi sang liyan, bercanda, dengan lagu pop, dan dangdut terkini, atau sejenak memasuki nyanyian religius Salatun wa Taslimun. Penari gandrung ada dimana-mana. Tak perlu untuk didefinisikan.

Di sisi lain, di sebuah panggung pertunjukan, tempat diakui kediriannya, penari gandrung mempersiapkan berbagai siasat untuk menghadapi para pemaju yang agresif mengejar penari seolah hendak menerkam, dan dalam batas-batas tertentu tampak serangmenyerang.

Namun penari selalu bersiap diri. Hampir dapat dipastikan, ketika langkah-langkah kaki selincah kijang menghentak bumi, sang penari ingin menyuarakan bahwa muatan historis dan herois dalam gandrung adalah tafsir belaka, dan tak lebih dari sebuah konstruksi dan imajinasi yang terbuka untuk diperdebatkan.