Depok-Tidak sedikit sejarah masyarakat Kepulauan Seribu yang tak banyak diketahui karena tidak dituliskan. Sementara itu, tak banyak individu, komunitas, dan institusi menuliskan sejarah lokal mereka dalam bentuk tulisan maupun buku. “Usaha menuliskannya penting sekali agar kita tak mati obor. Saya mengapresiasi panitia yang menyelenggarakan kegiatan ini,” kata Misri Tabroni, pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikmah Kutoharjo yang juga kelahiran Pulau Panggang Kepulauan Seribu. Mati obor merujuk situasi kehilangan informasi tentang garis keturunan.
Bersama sejumlah komunitas di Kepulauan Seribu, Desantara menggelar Madrasah Kepenulisan “Menerbitkan Buku Sejarah Lokal Kepulauan Seribu”, Kamis-Jumat (27-28/1/2022) di Villa O’Blady Hambalang Jawa Barat. Komunitas-komunitas tersebut adalah Forum Alumni Madrasah Tsanawiyah (Fornis), Forum Mahasiswa Kepulauan Seribu (FMKS), 1000 Island 1000 Stories, Jejak Seribu, dan Yayasan Al-Barkah.
Sebanyak 14 orang dari Kepulauan Seribu mengikuti 7 sesi, dari Mengapa Menuliskan Sejarah Lokal hingga Menyunting Buku. Seluruh narasumber pelatihan berasal dari Kepulauan Seribu yang berkiprah di banyak organisasi. Selain Misri Tabroni, narasumber lain adalah Ketua Baznas Kepulauan Ridwan Malik, Penyuluh Agama Kementerian Agama Sustiyawati, Sekteris Jenderal Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah Ahmad Munthoi, pendiri 1000 Island 1000 Stories Muzayyanah, pendiri Jejak Seribu Andi Hakim.
Sebagian peserta mengaku senang dan mendapatkan banyak manfaat dari pelatihan. Salah satunya Cecilia Aulia Rahma. Mahasiswa Universitas Riau kelahiran Pulau Tidung itu mengaku materi yang diperoleh bahkan bisa digunakan untuk menyusun skripsi. “Di sini saya mendapat ilmu seperti mengonsep buku. Itu jadi modal biar tulisan saya lebih terstruktur,” katanya.
Senada dengan Cecilia, Jihan mengaku senang mengikuti kegiatan ini. “Menyenangkan dan alhamdulillah saya menjadi salah satu peserta yang terpilih dalam kegiatan tersebut. Enggak menyangka juga sih resolusi 2021 terlaksana 2022,” tulisnya dalam lembar refleksi. Ia juga sangat ingin terlibat dalam penulisan buku sebagai tindak lanjut kegiatan ini.
Sebagian peserta menetap di Pulau Tidung Kepulauan Seribu. Untuk tiba di lokasi, mereka menyeberang menuju Muara Saban Banten. Jalur ini lebih jauh dibanding Pelabuhan Kaliadem Jakarta Utara. Namun, kapal yang berangkat menuju jalur ini hanya tersedia setiap Sabtu dan Minggu. Pada Kamis pagi (27/1), mereka tiba di Muara Saban sekitar pukul 09.00. Dari sana menuju lokasi dan tiba di lokasi pukul 13.00 WIB.
Dua hari berikutnya, Sabtu (29/1) mereka turun menuju pelabuhan Kaliadem Jakarta pukul 4 pagi. Pukul 08.00 WIB mereka akan menyeberang ke Pulau Tidung dan baru tiba di sana pukul 10.30 WIB.[]