Syaiful Arif*
Melejitnya elektabilitas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dalam survei calon presiden 2014 sudah bisa ditebak orang. Menariknya, hal ini berbanding terbalik dengan anjloknya elektabilitas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) hingga menyentuh kisaran angka 2 persen. Pertanyaannya, lebih islami siapakah: Jokowi yang tanpa atribut agama tetapi berkeadilan atau PKS yang kini dipelesetkan menjadi “partai korupsi sapi”?
Seperti diketahui, elektabilitas Jokowi for president melejit mengalahkan siapa pun, termasuk “tokoh induknya” seperti Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto. Di dalam survei Lembaga Survei Jakarta (LSJ) pada 9-15 Februari, Jokowi menempati posisi teratas (18,1 persen) mengalahkan Prabowo di ururan kedua (10,2 persen) dan Megawati di urutan keenam (7,2 persen). Survei ini mengukuhkan survei Pusat Data Bersatu (PDB) (6/2) yang juga menempatkan Jokowi di urutan teratas (21,2 persen). Prestasi kepemimpinan populisnya membuat rakyat ingin mendudukkannya di kursi kepresidenan.
Posisi terbalik dialami PKS. Pada survei LSJ, PKS anjlok di urutan ketujuh dengan hanya mengantongi suara 2,6 persen dari keseluruhan responden. Sementara itu, pada survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) (6-20/12/2012), PKS turun drastis di urutan kedelapan (2 persen). Anjloknya suara PKS bersamaan dengan “terjun bebas” Partai Demokrat (8 persen). Tentu “aksi terjun bebas” ini terkait dengan kasus koruptif dari elite-elite di kedua partai ini.
Syariat Simbolis
Tulisan ini tidak hendak meramalkan kemungkinan Jokowi menjadi presiden pada Pemilu 2014. Tidak juga mengaduk-aduk kasus “suap sapi” dan prahara politik yang tengah dialami PKS. Melampaui itu, tulisan ini hendak mempertanyakan ulang klaim keislaman di dalam politik PKS yang bertentangan dengan “kinerja berkeadilan” dari kepemimpinan Jokowi. Pertanyaannya: kenapa partai Islam seperti PKS yang mendasarkan diri pada klaim ideologi Islam terlibat korupsi? Hal ini berbeda dengan Jokowi yang minus klaim Islam, tetapi mampu menegakkan politik berkeadilan.
Seperti diketahui, PKS adalah partai Islam. Berbeda dengan PPP dan PBB yang mendasarkan diri pada politik “Islam konvensional”; partai ini merupakan partai ideologis. Hal ini masuk akal sebab ia merupakan transformasi dari Ikhwanul Muslimin Tarbiyah, yang pasca-Reformasi 1998 membentuk Partai Keadilan (PK). Inilah yang membuatnya menjadi “partai kader” karena beranggotakan Islam militan, dan juga “partai dakwah” karena berbasis gerakan tarbiyah yang “berhaluan kanan”. Ikhwan Tarbiyah merupakan “cabang Indonesia” dari Ikhwanul Muslimin (IM) yang bersifat global.
Wawasan keislaman gerakan ini bersifat radikal sebab ia berangkat dari pemilahan antara negara Islam (dar al-Islam) dan negara kafir (dar al-kufr). Karena Indonesia tidak menegakkan konstitusi-syariah maka negara ini merupakan dar al-kufr. Oleh karenanya, Indonesia merupakan negeri perang (dar al-harb), tempat IM memperjuangkan penegakan syariat Islam. Hanya saja berbeda dengan radikalis seperti Hizbut Tahrir (HT) atau DI/TII yang menolak demokrasi dan menggerakkan revolusi; IM menggunakan strategi moderat, yakni menerima demokrasi, berpartisipasi di dalamnya demi penegakan syariat Islam.
Yang dimaksud syariat Islam di sini tentu dalam kerangka politik (siyasah) dan hukum pidana (jinayah). Artinya, syariat harus dilembagakan ke dalam negara, baik menjadi konstitusi (dustur) maupun undang-undang (qanun). Kedua penegakan syariat ini merupakan model ideal dari “negara syariat” (hakimiyyat). Abdurrahman Wahid menyebut model ini sebagai “syariat simbolis” sebab yang ditegakkan melulu simbol-simbol Islam tanpa upaya kontekstualisasi dengan realitas (Wahid, 2001:132). Formalisasi jilbab, hukum potong tangan, rajam, dan penahbisan “kata Islam” di dalam konstitusi merepresentasikan “syariat simbolis” ini.
Hal ini yang berbeda dengan “syariat substantif” yang ternyata ditegakkan oleh Jokowi. “Syariat substantif” ini merujuk pada tujuan utama syariat (maqashid al-syaria’h) yang berisi perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Ada lima hak dasar (kulliyat al-khams) yang dijamin syariat; hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak kepemilikan dan hak berkeluarga. Menariknya, Islam kemudian menitahkan imam (head of state) sebagai penanggung jawab bagi perlindungan dan pemenuhan asasiah ini. Bahkan, Imam al-Ghazali menetapkannya sebagai jihad, yang tidak dimaknai sebagai perang melawan kafir, tetapi mencegah warga yang dilindungi dari kerusakan (daf’u dlaruri ma’sumin).
Segenap program populis Jokowi mewakili “syariat substantif” ini. Misalnya Kartu Jakarta Sehat (KJS), Kartu Jakarta Pintar (KJP), pembangunan “kampung deret” bagi “keluarga kumuh”, rotasi pejabat yang tidak profesional, humanisasi Satpol PP, pembangunan MRT, hingga publikasi gajinya demi transparansi. Semua program ini merepresentasikan perlindungan dan pemenuhan hak dasar rakyat terkait jaminan kesehatan, pendidikan, hunian layak, dan kesejahteraan umum. Hal ini selaras dengan kaidah kepemimpinan Islam, di mana keabsahan pemimpin dilihat dari kemampuannya menyejahterakan rakyat (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah).
Menariknya, berbagai program kerakyatan ini minus simbol Islam. Hal ini memang terkait dengan substansi syariat yang bisa ditegakkan tanpa simbol-simbol syariat. Satu hal yang berbeda dengan penegakan “syariat simbolis” yang belum tentu memuat substansi syariat itu sendiri. Terperosoknya PKS ke dalam korupsi menunjukkan keterantukan “syariat simbolis” ke dalam tindakan yang justru diharamkan syariat. Hal ini yang berbeda dengan penegakan “syariat substantif” yang mendapat apresiasi besar dari rakyat.
Berkeadilan
Dari paparan di atas, beberapa pelajaran bisa dipetik. Pertama, syariat Islam tidak harus ditegakkan melalui partai Islam. Terbukti Jokowi bisa menegakkan maqashid al-syari’ah tanpa label Islam. Kedua, peringatan bagi partai Islam atas tidak lakunya “jualan syariat”. Tentu syariat “yang dijual” ini bersifat simbolis, bukan substantif. Jika PKS mampu menegakkan “syariat substantif” ini, tidak mungkin elitenya bertindak koruptif.
Ketiga, perlunya partai Islam dan semua partai menawarkan pemimpin seperti Jokowi. Naiknya elektabilitas PDIP dan Gerindra tentu terkait dengan jasanya yang mengusung pemimpin berkeadilan seperti Jokowi dan “Ahok”. Dalam kaitan ini, partai harus memosisikan diri sebagai “agen pencari” pemimpin berkeadilan. Tentu hal ini mensyaratkan peminggiran ego dari para ketua umum partai untuk nyapres. Ekperimentasi Jokowi dalam melakukan “lelang pejabat daerah” setingkat camat dan lurah merupakan misal bagus dalam hal ini. Dengan “lelang” ini, para calon pemimpin kredibel bisa mendaftarkan diri dengan kapasitas yang dimilikinya.
Pada titik ini terlihat jelas bahwa partai Islam ideologis dengan usungan “syariat simbolis” tidak dibutuhkan di negeri ini. Yang dibutuhkan adalah pemimpin berkeadilan dan berkemanusiaan sebagaimana titah Pancasila. Jika tidak, politik Indonesia akan tetap saja di dalam “demokrasi seolah-olah” seperti selama ini.
* Peneliti the Wahid Institute
Dimuat di Harian Sinar Harapan, 9 Maret 2013