Muhammad Kodim | 17 – Oct – 2008
Perdebatan mengenai kaum banci bisa dipastikan selalu jatuh pada kubang negatif. Sebab kesadaran kita hanya mengenal dua istilah: laki-laki dan perempuan. Yang terjadi kemudian, sosok banci selalu dihadirkan, diperbincangkan, dan dilihat dalam bingkai nalar kelaki-lakian dan keperempuanan. Kebanciannya sendiri sirna, yang akhirnya menjadikan mereka sebagai makhluk serba remang-remang: diantara himpitan penis dan vagina.
Tak urung, eksistensinya pun selalu dipersoalkan; dalam ranah psikologi, dia ditempatkan sebagai kaum yang memiliki kelainan identitas seksual karena cacat secara genetis; di ruang agama, dia menjadi makhluk yang terus-menerus dikutuki dengan berbagai justifikasi dalil dan nalar keagamaan tertentu; dalam dimensi sosial, dia dipersepsi sebagai makhluk aneh – atau bahkan patologi sosial– yang tidak sekadar harus disingkiri tapi juga dimusuhi; hingga di dunia entertainment, kaum yang satu ini coba dihapuskan dari wajah televisi Indonesia karena dianggap sebagai racun.
Menyambut datangnya bulan Ramadhan kemarin, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengingatkan semua stasiun televisi agar tidak menayangkan acara yang menampilkan sosok kebanci-bancian dengan lawakan yang cenderung berbau porno. Senin, 1 September 2008, KPI bersama MUI mengeluarkan aturan yang berisi peringatan tersebut. Agar larangan lebih mengikat, KPI pun menegaskan akan menjatuhkan sanksi administrasi hingga pencabutan izin siaran terhadap televisi yang melanggarnya.
Dalam tulisan ini saya tidak hendak membincang larangan tersebut, tapi lebih tertarik untuk mencermati berbagai argumen yang digunakan oleh kelompok-kelompok yang berusaha menghapuskan kaum banci dari layar televisi serta wacana dan nalar yang melingkupinya berikut dengan anasir-anasir gelapnya. Dalam konteks pelarangan tersebut, yang paling dominan, adalah menggunakan kacamata psikologi. Gaya banci yang kemayu saat berbicara disertai lenggak-lenggok tubuh gemulainya yang kerap mampu menarik urat humor para penonton itu dikhawatirkan akan meracuni psikologi dan pemikiran anak-anak yang notabene rentan dengan pengaruh luar. Di sini, KPI meminjam penjelasan psikologi dengan memunculkan anak-anak (penonton) sebagai obyek legitimasi.
Kacamata psikologi itu kemudian diramu dengan pandangan agama (Islam) untuk memperkokoh argumen pelarangan tersebut. Dalam hal ini tentu saja Majelis Ulama Indonesia (MUI) lah yang mengambil peran. Berbagai dalil yang intinya bernada melaknat kaum banci dikeluarkan disertai dengan ancaman adzab yang bakal diterima kelompok tersebut kelak di akhirat.
Di luar keduanya (psikologi dan Islam), ada beberapa wacana lagi yang dipaksakan untuk melandasi argumentasi tersebut. Mulai dari wacana ‘keterpura-puraan’ untuk melindungi kaum banci dari eksploitasi para kapitalis pertelevisian hingga perilaku seksual Ryan yang dihubung-hubungkan dengan sosok psikopat-nya sebagai tukang jagal nyawa.
Terhadap pendapat para psikolog yang mencoba melihat efek negatif dari tayangan-tayangan televisi, utamanya bagi anak-anak, juga terhadap pandangan Islam melalui legitimasi dalil-dalil yang ada, saya tidak menolak. Memang, the virtual reality di dalam kotak kecil (telivisi) daya pengaruhnya begitu hebat kepada siapa pun yang menontonnya.
Namun justru dengan itu, saya merasakan ada sesuatu yang ganjil. Suatu perlakuan, pertarungan, penundukan, dan pengudaran wacana yang tidak fair terhadap kelompok minoritas banci. Dengan logika sederhana saja kita bisa merabanya: jika pokok perdebatan ada pada perilaku kemayu banci yang dikata tidak punya mura’ah itu dianggap bisa merusak psikologi dan pemikiran anak-anak, maka kita bisa memakai perbandingan yang sepadan: lalu kenapa dalam sinetron yang sering menampilkan adegan-adegan yang kontraproduktif dengan nilai pendidikan bagi anak-anak, misalnya adegan seorang anak membentak dan mencemooh ibunya, bahkan ada pula yang sampai menamparnya, tidak dilarang? Padahal adegan-adegan semacam demikian bukanlah sesuatu yang langka, namun kerap terjadi hampir di semua jenis sinetron yang menjual ketegangan menjadi daya tarik penonton. Kenapa pula tayangan seperti kriminal yang dianggap bisa memberi efek buruk terhadap cara berfikir masyarakat tidak dilarang?
Sebuah tayangan yang sama-sama muncul di televisi dan sama-sama dalam kajian psikologi bisa memberi efek negatif bagi anak-anak atau bahkan sekalipun terhadap orang dewasa, tapi kenapa yang dilarang hanyalah televisi yang menyiarkan adegan kebanci-bancian? Pilihan terhadap kelompok banci sebagai obyek yang dibatasi dalam industri pertelevisian tentu bukanlah sesuatu yang lahir dengan begitu saja. Ada sebuah epistema dan wacana tertentu yang melatarinya hingga tercipta sebuah keputusan larangan tersebut yang dianggap sebagai pilihan rasional dan benar.
Pada titik inilah kita musti jeli dalam melihat peranan ilmu psikologi yang dalam kebutuhan ini dipakai sebagai alat penjelas –yang seolah-olah paling rasional—terhadap efek negatif yang ditimbulkan kalangan banci di layar televisi. Karena sebagai alat, maka sejatinya psikologi hanya bekerja dalam kerangka kepentingan untuk mendukung dan menyokong proyek wacana tertentu (dominan). Dalam konteks ini pula, ilmu psikologi berperan penting dalam turut serta mengokohkan kesadaran mayoritas dan menghalau segala wacana atau pemikiran yang hendak menyeberangi garis batas kebenaran dan kekuasaan yang berlaku dalam wacana dominan tersebut.
Begitu pula dengan wacana agama yang digelar dalam konteks persoalan ini, tidak lebih sebagai alat penyokong untuk meneguhkan epistema tersebut. Padahal dalam Islam sendiri, narasi kecil tentang banci mendapat ruang perbincangan dan perdebatan dalam tujuan untuk melihat secara fair kelompok yang satu ini, bukan dalam kerangka hitam-putih dengan semangat menghakimi dan membinasakannya.
Istilah Banci Dalam Islam
Dalam literatur Islam, dikenal dua istilah yang agaknya berdekatan dengan kata banci: khuntsa dan mukhnnats. Tetapi dalam prakteknya, kebanyakan orang menggunakan kata khuntsa dan sedikit yang memakai kata mukhnnats. Lalu siapakah yang dimaksud dengan banci dalam pandangan Islam? Adakah dia termasuk khuntsa ataukah mukhnnats.
Al-khuntsa dalam Bahasa Arab berasal dari kata khanatsa yang berarti ”lunak” atau ”melunak”. Misalnya dalam kalimat khanatsa wa takhannatsa yang artinya ucapan atau cara jalan seorang laki-laki yang lembut dan melenggak-lenggok menyerupai wanita.
Dalam definisi berikutnya, khuntsa adalah orang yang secara fisik mempunya dua alat kelamin sejak lahir, yaitu kelamin laki-laki dan kelamin wanita. Tapi kejadiannya sangat jarang dijumpai, walau tetap dituliskan oleh para ulama dalam kitab fiqih mereka terdahulu. Artinya kasusnya bukan sama sekali tidak ada, hanya jarang sekali terjadi.
Para ulama menuliskan ada dua jenis khuntsa: pertama khuntsa biasa dan kedua khuntsa musykil. Khuntsa biasa adalah seorang yang lahir dalam keadaan memiliki dua alat kelamin sekaligus. Namun salah satu alat kelaminnya lebih dominan dan lebih berfungsi. Sedangkan alat kelamin yang satunya kurang dominan, walaupun mungkin saja sedikit berfungsi.
Adapun khuntsa musykil adalah orang yang terlahir dengan dua alat kelamin yang berbeda dan keduanya berfungsi dengan baik atau malah sama-sama samar. Tapi ditambahkan cacatan pula, dari sekian banyak khuntsa, yang sampai ke level musykil ini nyaris hampir tidak pernah ada.
Sementara itu, mutakhnnats adalah seorang yang secara fisik laki-laki, namun kemudian karena terpengaruh oleh lingkungan sehingga dia berpikir bahwa dirinya perempuan.
Melacak Asal Muasal Tayangan Banci
Untuk menjadi bahan renungan bersama, agar kita tidak lekas mengamini segala upaya yang bisa memojokkan dan meminggirkan kaum banci, mari kita telusuri dari mana asal muasal ide untuk membuat tayangan banci dari pendekatan historis dan budaya. Sebuah jalan panjang budaya, kesenian rakyat dan sebuah perjuangan hidup dan mati para seniman, yang rela mengabdikan diri bertingkah lucu ala banci dan akhirnya menjadi seniman-seniman pertunjukan yang diakui masyarakat.
Untuk penelusuran itu, mari kita tengok Indonesia di era tahun 1940-1950. Pada saat itu, sebagaimana tulis Sony Set, kesenian rakyat yang menjadi icon hiburan entertainment paling terkenal adalah ludruk. Hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus Javanansch Nederduitssch Woordenboek karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, Bpe Sastra (1930).
Pada jaman perang dan revolusi, wanita tidak sembarangan boleh tampil di dunia hiburan. Selain masalah keamanan, kalangan masyarakat bahkan ulama, menganggap wanita ditabukan menjadi penghibur atau seniman. Pada jaman perang, boleh dipastikan, grup-grup kesenian keliling adalah satu grup yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Selain menghibur rakyat, grup-grup kesenian rakyat juga dijadikan alat penghibur bagi para pejuang, tentara yang melepas lelah setelah
berjibaku di medan tempur.
Untuk membuat meriah suasana dan menampilkan unsur komedi yang kental, maka para seniman ludruk ada yang membuat dandanan seperti seorang waria, bergaya ala banci dengan make up belepotan ala badut di wajahnya. Modifikasi ini, ternyata sangat ditunggu masyarakat. Gaya badut dan lelaki bergaya banci plus dialog-dialog komedi menjadi ramuan awal terciptanya kesenian komedi khas rakyat.
Ludruk dengan gaya bancinya, bahkan menjadi alat perjuangan untuk mengkritik penjajah Jepang dan Belanda. Di tahun 1933, Cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan baik Belanda maupun Jepang.
Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat. Oleh pemain-pemainnya, ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan persiapan kemerdekaan, dengan puncaknya, peristiwa akibat kidungan Jula Juli yang menjadi legenda di seluruh grup ludruk di Indonesia yaitu: Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro, cak Durasim dan kawan kawan ditangkap dan dipenjara oleh Jepang. Dengan atribut ala banci, mereka membuat berbagai lawakan
berani yang secara tegas menunjukkan eksistensi kesenian rakyat melawan penjajah.
Di periode 60-an, kelompok kesenian ini mendapat perlindungan dan pengakuan dari pemerintah kala itu. Beberapa grup kesenian ludruk dikirimkan ke Irian Jaya untuk menghibur para prajurit yang sedang berjuang dalam operasi TRIKORA II. Tentu saja, pola permainan lawakannya menggunakan ramuan yang sama, lelaki bergaya banci digabungkan dengan badut dan acting komedi.
Lalu masuklah era Srimulat yang mempopulerkan komedi egaliter ke layar televisi. Beberapa pemainnya menggunakan atribut wanita demi menambah unsur komedinya. Idenya sebenarnya sederhana, para pendiri Srimulat dan pembuat cerita kreatif di masa itu, tidak tega membuat komedi yang harus diperankan secara gila-gilaan oleh wanita. Mereka terinspirasi dari gaya ludruk yang menggunakan pemain pria yang bergaya ala wanita untuk menampilkan sisi-sisi aneh sifat-sifat perempuan dengan agak ekstrim.
Melaki-lakikan atau Memperempuankan Banci?
Ulasan di atas sekaligus menjadi koreksi atas debat panjang mengenai pelarangan banci di layar televisi sebagai suatu pertarungan wacana yang tidak fair. Sebab, pewacanaannya hanya dilakukan dengan menggunakan kacamata psikologi, agama, dan seksualitas yang semuanya berkumpul pada epistema yang sama. Narasi-narasi kecil tentang banci yang tenggelam dan terdepak dari arena kuasa pengetahuan tidak pernah dimunculkan, suara-suara kaum banci pun jarang direpresentasi.
Seyogyanya, perdebatan itu dilakukan lebih terbuka dengan cara melibatkan banyak sudut pandang, termasuk kebudayaan dan kesenian. Dan yang lebih penting lagi adalah suara langsung dari kaum banci. Persis pada titik inilah, problem misrepresentasi, eksklusi, ekskomunikasi, dan marjinalisasi itu terjadi.
Coba cermati, betapa ketidakadilan pewacanaan itu terjadi di sepanjang debat, baik yang dilakukan di televisi, forum-forum, dan sebagainya. Kaum banci hanya dijadikan sebagai obyek perdebatan: mereka selalu diberbincangkan, dipandang, diperdebatkan tapi tidak pernah dilibatkan sepenuhnya untuk merepresentasikan diri mereka dengan segenap kesadarannya. Atau jika mereka dihadirkan, langsung dihadapkan pada opsi-opsi yang menyudutkan, seperti pertanyaan: “Bagaimana seandainya Anda yang menjadi orang tua dan melihat anak Anda menonton tayangan banci?” tanya salah satu psikolog kepada Tessy dalam sebuah acara di televisi.
Maksud kata, Si psikolog sebenarnya ingin memaksa Tessy masuk pada kesadaran dominan masyarakat, yaitu berbicara dengan menggunakan nalar laki-laki dan perempuan sebagai orang tua. Padahal, kaum banci tentu punya kesadaran, pola, dan rasa berbeda yang juga tidak pernah dialami baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan. Di sinilah proses penundukan dan hegemoni wacana itu tengah berlangsung.
Dari proses demikian, yang hendak saya tegaskan dalam tulisan ini adalah, bahwa pelarangan banci di televisi hanyalah efek atau pantulan dari cermin besar wacana besar yang tengah berkuasa dalam mendikte kesadaran mayoritas.
Ingat, bahwa wacana yang berkembang selama ini hanya mengenal serta mengakui laki-laki dan perempuan. Di luar keduanya, dianggap menyimpang dan salah. Kaum banci yang eksistensinya telah ada di setiap zaman tidak pernah digolongkan sebagai gender ketiga, setelah laki-laki dan perempuan. Dalam kitab-kitab agama, literatur klasik, hingga literatur science memang membahas kaum banci, namun tidak pernah sungguh-sungguh mengakui dan kemudian menempatkan mereka setara dengan laki-laki maupun perempuan.
Maka, apa yang difikirkan dan dirasakan oleh Si psikolog tidak lain adalah copy dari kesadaran mainstream yang tengah berjaya. Tapi bukan itu masalahnya, Si psikolog sah-sah saja bertindak sebagai representasi kesadaran besar tersebut, tetapi bukan berarti harus memaksa Tessy (sebagai representasi kaum banci) untuk juga ikut serta mendiami ruang kesadarannya.
Bagaimana angkuhnya kesadaran besar menghakimi narasi banci itu bisa dilihat dari parameter-parameter yang digunakan dalam memandang serta melihat banci. Contoh sederhananya begini, ketika para psikolog dan agamawan serta masyarakat melihat jalan lenggak-lenggoknya banci serta gaya kemayunya, baik di layar televisi maupun dalam perilaku keseharian, mereka kemudian menyimpulkan bahwa itu adalah seorang laki-laki yang bergaya (menyerupai) perempuan, dan dalam logika agama dilaknat oleh Tuhan.
Pertanyaan sederhana saya adalah, dari mana mereka mengambil kesimpulan bahwa gaya banci seperti itu adalah seorang laki-laki yang menyerupai perempuan? Bukankah lenggak-lenggok seorang banci memiliki ciri yang tidak sama persis dengan seorang perempuan? Juga bukankah personifikasi terhadap kelaki-lakian seorang banci tidak sama persis dengan seorang laki-laki? Maka, jawabannya tidak lain adalah karena kesadaran para psikolog, agamawan, dan masyarakat tidak menyediakan ruang definisi dan ukuran penilaian tersendiri bagi para banci atas gaya dan perilaku mereka. Akhirnya, definisi serta penilaian atas banci itu diukur dengan menggunakan standard-standar kelaki-lakian dan keperempuanan.
Jika pola relasinya masih demikian, maka perdebatan mengenai banci hanya akan mereproduksi kesadaran-kesadaran lama yang sarat dengan prasangka negatif, tuduhan miring, stigma, stereotipe, klaim, bahkan kutukan.
Kenapa kaum banci tidak diberi ruang untuk berbicara atas nama diri mereka sendiri? Mengapa pula kita harus mati-matian memaksa mereka tunduk pada kesadaran laki-laki maupun perempuan? Bukankah fenomena banci sudah ada dari waktu ke waktu dan tidak mungkin bisa dihapuskan dari peradaban manusia? Lalu, jika terus-menerus kita mengutukinya, apakah karena Tuhan yang salah menciptakannya, ataukah kesadaran kita yang terlalu picik?[]