Hurin Hermiyati*
Dalam sejarah Nabi yang aku pelajari sejak kecil, Gua Tsur salah satu tempat bersejarah. Gua itu tempat Nabi SAW dan Abu Bakar bersembunyi ketika kafir Quraisy mengejar dan hendak membunuh keduanya. Allah menyelamatkan mereka berdua. Di atas langit Arab Saudi, aku makin tak sabar melihat gua penyelamat itu. Beberapa menit lagi pesawat yang kami tumpangi akan mencium landasan bandara setelah kurang lebih 9 jam mengambang di udara. Hari itu ( 19/1/2019), salah satu hari membahagiakan dalam hidupku. Bahagia, sebab akan melihat langsung Gua Tsur, tapi juga sedih, terutama karena harus berpisah dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil. “Ya Allah, kutitipkan anak-anakku kepada Mu”, doaku dalam hati.
Usai serangkaian ibadah umrah, pemandu rombongan mengumpulkan jamaah dan menawarkan perjalanan napak tilas menuju Gua Tsur. Rombongan yang didominasi anak-anak muda menyambut gembira tawaran ini. Di antara tiga jamaah yang emak-emak, hanya aku yang menyatakan siap ikut ke Gua Tsur. “Ibu, beneran siap ikut?” tanya pemandu. “Insya Allah, siap!” jawabku mantap. “Tapi, Saran saya…lebih baik Ibu istirahat saja supaya besok pulang tidak capek. Jauh loh, Bu, kita mau mendaki gunung!” tutur si pemandu. Rupanya dia meragukan tekadku. “Hmmm…biarpun sudah emak-emak, aku tak akan kalah dengan anak muda,” kataku dalam hati.
Bakda Isya kami berkumpul di lobi hotel lalu bersiap menuju bis yang mengantarkan kami naik ke lokasi Gua Tsur. Butuh waktu setengah jam tiba di lokasi. “Nanti kita akan menuju ke sana,” kata si pemandu saat kami tiba dan berkumpul tak jauh dari lokasi bis berhenti. Tangannya menunjuk ke arah cahaya berkelap-kelip di ujung sana. “Mampukah aku sampai ke sana?” tanyaku dalam hati. Aku tak pernah membayangkan kalau Gua Tsur setinggi itu. Aku sering melihat di film-film yang aku tonton gua tersebut rendah saja. Sungguh berbeda.
Kami mulai menapaki jalanan berbatu dan gersang. Semakin lama perjalanan semakin naik dan terjal, terus dan terus mendaki. Belum setengah perjalanan, badanku terasa lelah, kaki pegal, napas tersengal-sengal, capek sekali rasanya. Keringat mulai membanjiri tubuh, baju yang kupakai pun basah kuyup. Sayangnya, kami tak membawa bekal makanan. Hanya sedikit bekal air yang kubawa dan sudah habis di awal perjalanan. Ku pikir akan banyak penjual makanan di sekitar gunung tapi ternyata tidak ada. Lapar dan haus amat terasa, sedangkan perjalanan masih teramat jauh. Terbersit niat menghentikan pendakian. Rombonganku sudah jauh di atas sana. Mereka memang anak-anak muda yang luar biasa, seperti tidak merasa lelah. Untungnya ada suami yang menemaniku, jadi aku merasa tenang walau tertinggal rombongan.
Selama perjalanan kami hanya mengandalkan penerangan dari handphone. Walau banyak jamaah yang mengunjungi Gua Tsur, namun sepanjang perjalanan tak ada satu pun lampu penerang jalan. Kami sempat kebingungan ketika handphone mati karena habis baterai. Akhirnya kami meneruskan perjalanan tanpa penerangan. Tapi, Alhamdulilah! Walau tanpa bantuan penerangan ternyata kami sangat jelas melihat jalan. Suasana terang seperti disinari rembulan. Padahal saat itu bulan tak nampak. Masya Allah, kuasa Allah, malam yang begitu larut namun di Jabal Tsur terasa terang benderang.
Setelah kurang lebih tiga jam mendaki, sampailah kami di puncak gunung. Angin berhembus kencang. Malam yang semakin larut terasa begitu dingin. Di hadapanku nampak beberapa gua. Salah satunya Gua Tsur, tempat persembunyian Nabi SAW dan Abu Bakar ketika dikejar kafir Quraisy. Gua yang kecil, tidak terlalu dalam, andai bukan karena pertolongan Allah Swt, tak mungkin Nabi dan Abu Bakar selamat dari kejaran kaum kafir Quraisy. Tak terasa air mata berderai membasahi pipi, mengingat perjuangan Nabi yang begitu gigih dalam berdakwah. Ya Rasulullah, begitu besar pengorbananmu! begitu hebat perjuanganmu! Mendaki Jabal Tsur yang terjal demi menyelamatkan akidah Islam. Keyakinan akan pertolongan Allah yang akan membuat seseorang istikamah mempertahankan agama-Nya.
Setelah puas mengenang jejak rasul di Gua Tsur, saatnya kami kembali ke penginapan. Kutarik napas dalam-dalam sambil memanjatkan doa semoga diberikan kekuatan dan kemudahan dalam perjalanan pulang. Kembali kami melalui jalanan tadi, hanya bedanya sekarang perjalanan turun dan terus menurun. Ku pikir jalan menurun akan lebih mudah dilalui, namun ternyata butuh tenaga dan perhatian ekstra. Badanku yang sudah lelah, membuat lututku gemetar ketika mulai berjalan turun, bahkan aku sempat lengah dan terperosok ketika menginjak jalanan berpasir. Aku tak bisa membayangkan jika sampai jatuh di antara tebing-tebing berbatu. “Oh ya Allah, lindungi perjalanan kami!” doaku tiada henti. Tiada terasa kami sampai juga di kaki gunung, aku menarik lapas lega. Malam semakin larut. Ku tatap lagi Gunung Tsur masih terlihap kelap-kelip cahaya. Pertanda masih ada manusia di puncak sana.
* Guru Sekolah Dasar Negeri Sukamakmur; peserta Workshop Kepenulisan “Guru Menulis Indonesia” Desantara-Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII)
–
Sumber foto Jabal Nur: mochichsansofyan.wordpress.com