Susan Daniati – 18 Maret 2022
Ketika kuliah di semester akhir pada 2005, saya sudah mengajar di Sekolah Taman Kanak-kanak di belakang rumah. Kakek saya ketua yayasan sekolah ini. Profesi itu saya jalani sembari menyusun skripsi. Setiap bulan, saya mendapat gaji Rp 150 ribu sedang kebutuhan per bulan ketika itu sekitar Rp 1 juta. Sejak remaja saya bercita-cita menjadi guru. Profesi ini mulia dan berperan besar bagi hidup siswa. Guru bukan pemberi kebenaran, tapi pemandu dan penunjuk kebenaran. Siswalah yang harus menemukannya. Guru seperti pipa yang mengalirkan air, perantara. Guru seperti petani yang membuang duri dan mencabut rumput yang tumbuh di celah-celah tanaman yang dirawatnya.
Melihat wajah murid-murid taman kanak-kanak yang semangat dan riang, saya jadi makin bergairah. Kelakuan anak-anak dengan kepolosan mereka selalu membuat saya bahagia dan bertahan mengajar sampai kini. Orang tua mereka kebanyakan dari masyarakat kelas bawah. Sebagian pedagang dan kuli serabutan. Saban bulan mereka harus menyisihkan Rp 30 ribu sebagai uang sekolah. Saya dengar ada pula dari mereka yang menunggak bayaran karena tak ada uang.
Pada 2009, saya mengajar di dua sekolah. Selain TK, saya menjadi guru mapel PAI SMP di bawah pesantren. Di sekolah ini saya mendapat tugas tambahan sebagai wali kelas dan pembina. Saya dan peserta didik makin terasa akrab. Ketika di asrama mereka bercerita tentang impian, cita cita, dan berkeluh kesah jika punya masalah. Kita bisa bermain permainan yang menyenangkan. Kadang mereka menangis jika merindukan keluarganya di rumah dan saya berusaha untuk menenangkan mereka. Di TK, saya mengajar pukul 07.30-10.30 WIB. Setelah itu lanjut mengajar di SMP hingga pukul 15.00 WIB. Rutinitas ini saya jalani Senin-Sabtu. Di rumah, kadang-kadang saya harus bekerja menyelesaikan tugas-tugas sekolah.
Honor dari mengajar di dua sekolah tak mencukupi pengeluaran keluarga dengan tiga anak. Suamiku bekerja sebagai wiraswasta dengan penghasilan tak menentu. Saya putar otak dan memutuskan untuk usaha sambilan. Dari bergabung menjadi anggota multilevel marketing, menjual seblak, baju, hingga menjadi agen asuransi. Hasilnya bisa menambal bolongnya kebutuhan bulanan. Setelah 7 tahun mengajar, saya mendapat dana tunjangan pemerintah. Jumlahnya di bawah Rp 500 ribu per bulan. Tunjangan itu saya tidak terima tiap tahun, jika kuota sedikit yang jadi prioritas adalah guru yang lebih lama mengajar. Kata teman saya, orang yang bernasib seperti saya adalah guru bergaji Sajuta, singkatan dari Sabar Jujur dan Tawakal.
Terus terang, saya sempat tak puas dengan keadaan ini. Mengapa nasib guru seperti saya tak mendapat pendapatan layak? Tapi saya pikir-pikir lagi mantra ini: Sajuta. Sebagai guru honorer dengan berbagai ceritanya, akhirnya saya tak mau patah semangat. Saya senang mengikuti lomba ini-itu. Pada 2013 misalnya, saya mengikuti lomba guru berprestasi, bersaing dengan guru PNS. Alhamdulillah, saya meraih Juara 3 Tingkat Kota Tasikmalaya. Pada 2016, saya kembali mengikuti Lomba Guru Model Pembelajaran bersaing dengan guru-guru PNS. Saya menggondol Juara 2.
Berharap bisa terus meningkat, saya mengambil kuliah magister pendidikan di Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis Jurusan Pendidikan Agama Islam. Saya kuliah dengan biaya sendiri loh, tanpa beasiswa. Pada 2018 saya lulus program magister dengan predikat memuaskan. Saya percaya pepatah ini “you can if you think you can”. Tiga tahun setelah itu, saya melamar guru Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) posisinya sama seperti PNS. Karena berstatus guru honorer swasta, saya mendapat kesempatan tes di gelombang 2 yang diperuntukkan untuk guru honorer negeri dan swasta. Perjuangan ini tak sia-sia, saya dinyatakan lulus. Dengan status baru, gaji yang akan saya terima lebih baik dari sebelumnya. Rasanya ini juga hikmah guru bergaji Sajuta.
* Guru SMP Terpadu Al-Urwatul Wustha; peserta Workshop Kepenulisan “Guru Menulis Indonesia” Desantara-Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII)
Feature dimage disediakan oleh SINDONews