Politik Ruang

admin | 30 – May – 2007

Clifford Geertz menuturkan bahwa salah satu kegemaran penguasa (priyayi) Jawa adalah menggelar kesenian rakyat setahun sekali. Penguasa Mojokuto (pare, Kediri) memberi kesempatan kepada setiap kesenian di wilayah itu untuk pentas di alun-alun sepuas-puasnya dan biasanya hampir tak ada kesenian rakyat yang tertinggal tidak pentas pada acara yang pasti hanya ditonton massa rakyat itu.

Sementara apabila penguasa Jawa hendak menonton atau menanggap seni pertunjukan baik di pendopo maupun di rumah, mereka akan mengundang kesenian (biasanya wayang kulit) dari luar daerah yang di samping terkenal juga berasal dari kalangan “darah biru”. Kebalikan dari pertunjukan di alun-alun, pertunjukan di pendopo atau di rumah-rumah priyayi Jawa ini hanya ditonton oleh para pejabat pemerintahan, sanak famili, dan kolega-kolega mereka termasuk para lurah dan cukong yang seringkali ada kaitan bisnis dengan mereka. Sekelompok warga masyarakat acapkali ada yang menonton pertunjukan dari kejauhan, di luar pagar wilayah pertunjukan.

Tampaknya, bukan hanya soal “darah biru” yang berada di balik kebijakan penguasa Jawa mengatur pertunjukan kesenian tersebut. Motif politik berupa pengaturan posisi, peran, dan hak massa rakyat yang dibedakan dari penguasa dan pemilik modal terlihat sangat kuat. Meskipun hanya dibelah oleh sebuah jalan, alun-alun sangat berbeda dengan pendopo. Alun-alun, sehampar tanah lapang di tengah kota, dalam tradisi Jawa merupakan arena terbuka untuk berbagai kegiatan massa rakyat di samping upacara-upacara resmi kenegaraan. Sedangkan pendopo adalah tempat khusus dimana para pemimpin pemerintahan, sosial politik, dan tokoh-tokoh berkumpul memproduksi kebijakan.

Di alun-alun, massa rakyat dapat mengekpresikan diri dan meluapkan aspirasi bahkan protes (tradisi pepe). Dengan begitu para penguasa Jawa hendak menunjukkan bahwa negara telah memperhatikan, melindungi, dan mengapresiasi kesenian dan aspirasi rakyat. Tetapi, di sana pula suara mereka dilokalisasi, dikurung, dan dikandangkan agar tidak masuk ke ruang pendopo sebagai pusat produksi kebijakan. Dengan demikian, kontrol pun dapat dikendalikan dengan mudah dan efektif.

Di masa orde baru, politik ruang semacam itu tampak dilestarikan dalam bentuk yang berbeda. TMII, gedung-gedung kesenian, dan balai budaya yang tersebar di berbagai daerah menggantikan peran alun-alun sebagai ruang suara rakyat, di samping jalanan dan ruang-ruang terbuka lain. Bahkan Istana Merdeka yang setiap Agustusan mementaskan sejumlah kesenian dari berbagai daerah juga diposisikan sama. Bukankah pusat produksi kebijakan saat itu bukan di Istana melainkan di Bina Graha dan Cendana yang keduanya tidak mungkin disediakan bagi rakyat untuk mengartikulasikan diri.

Kesenian rakyat memang diberi ruang untuk pentas, tetapi ruang itu telah ditentukan yang gemanya tak boleh keluar. Ruang itu bukan hanya berbeda dari pendopo sebagai pusat produksi kebijakan, melainkan juga dijauhkan dalam arti subtansial. Rakyat memang selalu tidak boleh memasuki ruang produksi kebijakan. Desantara / Bisri Effendy

BAGIKAN: