Menjelang bulan Ramadhan, makam ini dikunjungi oleh berbagai kalangan. Memang tidak seramai dengan yang ziarah ke makam Syekh Yusuf, tetapi orang-orang tetap ada yang datang berkunjung. Di luar bulan Ramadhan sering pula orang datang berziarah sebagai bagian dari ritual melepas tinja’ (nazar).
Namun, siapa Datuk ri Pegentungan ini ? Tidak banyak informasi mengenai sosok ulama tersebut. Tulisan yang mengulas tentang dia juga minim, bahkan saya belum menemukan. Tetapi sosok ini dianggap sebagai salah satu guru dari Syekh Yusuf. Konon Syekh Yusuf belajar mengaji dan juga ilmu hakikat pada Sang Datuk. Meski secara usia, Datuk Pegentungan lebih tua dari Syekh Yusuf, tetapi di masyarakat mereka dikenal sebagai tiga serangkai. Satunya lagi adalah Lu’mu Ri Antang.
Karena kurangnya tulisan soal Datuk Pagentungan, maka informasi tentangnya lebih banyak dituturkan secara lisan. Konon menurut penjaga makamnya, nama aslinya adalah Srinaradireja bin Abd Makmur. Ia adalah anak dari Datuk ri Bandang yang juga dikenal dengan nama Abdul Makmur Khatib Tunggal. Srinaradireja datang ke Makassar untuk mencari ayahnya, kemudian akhirnya menetap di negeri ini.
Datuk ri Pagentungan, seturut informasi lisan, hidup di masa pemerintahan I Mangerangi Deang Manrabia atau Sultan Alauddin. Raja Gowa ke-14, sekaligus raja yang pertama memeluk Islam. Keterangan tentang ini juga dimuat di bugispos.com, tetapi juga hanya mengandalkan sumber lisan.
Di dekat makam Datuk Pagentungan terdapat beberapa makam lain. Mereka ini adalah para cantrik dari Datuk Pagentungan. Dua di antaranya, sekali lagi, konon bernama Karaeng Subuhan dan Karaeng Bau.
Menurut Mubarak, salah satu syair dari Datuk Pagentungan sering dilantunkan oleh Syekh Karaeng Nompo, pimpinan tarekat Khalwatiah Yusuf. Bunyi syair itu adalah:
“Berkumpul dengan ulama laksana kita berada di dekat penjual parfum. Engkau akan kebagian wanginya juga. Berkumpul dengan penjahat ibarat berada di tukang besi, niscaya akan kebagian bau besinya.”
Ketika sahabat saya Mubarak menyampaikan itu, saya baru teringat bahwa ayah saya sendiri sangat sering membacakan syair itu. Ayah saya sendiri memang membaca naskah lontara yang mengisahkan tentang Syekh Yusuf. Berat dugaan saya, ayah saya mendapat itu dari naskah lontara Syekh Yusuf. Syairnya sedikit berbeda. Bunyinya kira-kira begini:
“Bergaul dengan ulana laksana kita berada di taman bunga, kalau tidak kena bunganya bau harumnya tercium jua. Bergaul dengan penjahat laksana kita berada di tukang besi, kalau tidak kena apinya, bau asapnya tercium jua”.