Rasa-rasanya, film dokumenter berdurasi 114 menit itu lama sekali. Sebagian besar penonton saat menyaksikan film berjudul Gunung Padang: Sejarah atau Prasejarah itu seperti tak sabar kira-kira kapan selesainya. Maka tidak mengherankan jika banyak penonton yang tak jenak menyimaknya, bahkan, ada pula yang tertidur saat film masih berlangsung.
Tak hanya sampai di situ, kebosanan itu pun kemudian menjalar ke season berikutnya. Usai film diputar, saat digelar diskusi, tinggal 40-an orang saja yang bertahan di kursi gedung Centre Culturel Français de Bandung (CCF Bandung) Jumat, 23 Januari 2009 lalu. Padahal, waktu pemutaran, lebih dari seratus lima puluh orang yang datang di sana.
Tapi, meski berkurang lebih dari dua per tiga penonton, diskusi yang digelar berlangsung gayeng. Tengok saja, dari alokasi waktu yang disediakan, tak cukup untuk menghasilkan satu titik temu antar para peserta dialog yang memiliki disiplin pengetahuan beragam itu.
Mereka, dengan horizon pengetahuannya, seperti menunjukkan kemampuan dan kapasitas keilmuan masing-masing. Maklum saja, yang datang dalam diskusi adalah para dedengkot akademisi, praktisi film, dan juga peneliti.
Suasana sore Bandung yang baru saja hujan itu tak mampu mendinginkan suasana forum. Perdebatan kian memanas saat para peserta beradu data dan argumen mengenai kapan situs megalitik terbesar se-Asia Tenggara itu dibangun. Semuanya tetap bertahan pada pendapatnya masing[1]masing, hingga tak didapat titik temunya. Malah, ada salah satu pembicara yang memilih undur diri di saat diskusi masih berlangsung. Padahal, masih ada peserta yang masih ingin mendebat sanggahan arsitek alumnus institut teknologi Bandung itu saat ia melontarkan beberapa kalimat sanggahannya.
Tentu menarik melihat diskusi ini. Karena, sebagian orang menganggap, semakin tua usia situs, menunjukkan betapa tuanya usia peradaban bangsa ini. Padahal, gerak sejarah adalah proses akumulasi dari berbagai peristiwa yang terus-menerus terbentuk, yang tidak hanya berhenti pada satu titik. Coba dengarkan ungkapan dalam Mitologi Situs Megalitik Gunung Padang Oleh: Ingwuri H. bentuk tanya dari salah satu penanya dalam diskusi, “Kenapa harus memberi batasan sejarah dan presejarah? Apalagi sampai dipertegas dalam judul film?”
Situs Gunung Padang sendiri, ditemukan tahun 1878 oleh pak Suma, Endik dan Abidin. Gunung Padang, berada di desa Karya Mukti kecamatan Campaka kabupaten Cianjur.
Soal lamanya durasi, bukannya tak disadari oleh Ervin, narator sekaligus produser film ini. Ia sendiri seusai pemutaran film mengatakan, bahwa dirinya sengaja ingin mengubah konstruksi tentang film dokumenter di Indonesia yang selalu disandarkan pada panjang-pendeknya durasi.
Gunung Padang Dalam Film
Film dokumenter itu dibuka dengan pertanyaan, kenapa situs megalitik itu berdiri di Gunung Padang? Narator menambahi dengan pertanyaan, peradaban seperti apa yang pernah ada di sini?
Setelah itu, film bercerita mulai dari jalan yang bisa diakses untuk menuju situs Gunung Padang, seberapa luas lokasi, termasuk pembagian ruang berdasar batu[1]batu yang tertata di kawasan itu.
Dalam film, sebagaimana peta yang dibuat Disbudpar Jawa Barat, digambarkan ada lima ruang yang terbagi berdasar susunan batu-batu yang beratnya berkisar dari 100 hingga 600 kilogram. Sementara, para peneliti mengatakan bahwa batu-batu yang disusun di Gunung Padang berasal dari DEPORT 11 tempat yang jauh karena di sekitar kawasan tidak ditemukan ciri yang sama atas contoh batu. Sampai-sampai, Prof. Dr. Sampurno, Guru Besar Geologi ITB mengatakan, “Orang-orang dulu itu bukan primitif, tetapi orang modern pada zamannya, mungkin kita kalah,” katanya.
Lima bagian ini, oleh Bambang Setiawan, salah seorang arsitek yang diwawancarai, dikatakan bahwa batas-batas ruang didefinikan dengan tekanan-tekanan batu dengan membaca ruangan dan bentuk elemen, dengan spasial semakin ke puncak semakin istimewa.
Lepas dari wacana akademis itu, sisi-sisi lain tampaknya menarik untuk ditelisik. Gerak mitologi yang sama sekali terlepas dari debat akademis tampak terus terproduksi seiring berjalannya waktu. Mitos itu misalnya, dikabarkan bahwa kawasan ini dulu menjadi tempat singgah (petilasan) Prabu Siliwangi.
Sementara, di tempat sebelum masuk ke situs, juga terdapat sumur yang diberi nama Kahuripan, yang menurut penduduk, kalau cuci muka atau mandi di sumur itu akan mudah mendapat jodoh. Bahkan, sumur Kahuripan ada yang menyebutnya “Sumur Cinta”.
Di tangga batunya sendiri, yang menjadi jalan menuju ke pusat situs, juga terdapat mitos, bagi yang mencoba menghitung jumlah undakan, tak pernah sama bagi masing-masing orang. Dan hingga saat ini, tempat itu juga menjadi tempat bagi sebagaian orang untuk berdoa dan meminta.
Ingwuri H