Menjamurnya berbagai organisasi berbasis etnis di Kaltim belakangan ini dirasakan amat merisaukan. Berbagai kalangan menilai hal ini bukan hanya rawan manipulasi politik, tetapi juga konflik antar komunitas dan lembaga. Kesadaran kewargaan dibutuhkan untuk meminimalisir konflik itu.
Elisason, pria berumur lebih setengah abad itu adalah salah seorang yang risau itu. Ia resah bercampur sedih. Sebagai putra asli Dayak, dirinya bangga kesadaran masyarakatnya mulai bangkit menuntut kembali hak-hak budaya dan ekonominya yang tergusur oleh derap modernisasi. Tapi di sisi lain, orientasi organisasi ini semakin kabur lantaran, katanya, sudah keluar dari rel-rel yang disepakati bersama.
“Banyaknya organisasi itu menunjukkan kami sudah bangkit. Tapi juga bisa jadi petanda kemunduran bila keberadaannya hanya diperalat demi target politik atau ekonomi kelompok elit saja,” ujar tokoh lokal Dayak yang masih memegang jabatan Ketua Persatuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) Ranting Tenggarong Seberang ini. Konflik Dayak-Madura di Kalbar dan Kalteng, serta konflik antara Dayak dan Bugis di Nunukan baru-baru ini memperkuat kekhawatiran itu.
Sebagai fungsionaris organisasi, meski hanya di tingkat ranting, Elisason rasanya bukan asal omong. Setiap tahun organisasi tempat dirinya bernaung itu menggelar kongres. Dan di setiap kongres pula ia menjumpai pengalaman yang dirasakan sebagai kemunduran itu. Persaingan, konflik dan saling sikut yang biasanya terus menguat apalagi bila event pilkada menjelang. Apalagi pada peristiwa yang terakhir ini Elisason tak jarang bersinggungan keras dengan organisasi etnis yang lain.
Ya, memang, tak sedikit organisasi berbasis etnis Dayak di seantero Kalimantan Timur sekarang ini. Bahkan konon hingga ratusan jumlahnya. Selain organisasi-organisasi yang sudah mapan macam PDKT (Persatuan Dayak Kalimantan Timur) yang memiliki kepengurusan dari tingkat propinsi hingga ranting kecamatan, paguyuban-paguyuban berbasis subetnis juga amat berbilang jumlahnya.
Para pengurusnya tak terbatas para sesepuh, tokoh, dan ketua adat di komunitas masing-masing. Organisasi yang memiliki payung hingga tingkat kabupaten atau propinsi bahkan dipimpin oleh pejabat birokrasi atau tokoh partai politik.
Perbedaan kepentingan kerapkali menyulut pertikaian elit yang tajam. Akibatnya bukan hanya mengancam solidaritas komunitas secara keseluruhan, tapi juga tergelincir dalam konflik internal antar komunitas Dayak sendiri.
Kekhawatiran Elisason dan sejumlah tokoh masyarakat di Kaltim belakangan ini sebenarnya bisa ditarik lebih luas.
Gejala menguatnya politik identitas sebagai ekspresi semangat kekuatan lokal yang mulai marak sejak reformasi dan puncaknya sejak diberlakukannya otonomi daerah, telah mengentalkan sentimen komunal yang terkotak-kotak. Karena itu persaingan dan konflik bukan hanya mungkin terjadi dalam internal komunitas, tapi juga melebar ke arah antar kelompok yang berbeda-beda.
Keragaman etnis
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, Kalimantan Timur sebenarnya memperlihatkan wajah yang berwarna-warni. Selain kebudayaan penduduknya yang amat heterogen, wilayah seluas 245.237,80 km2 atau sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura ini juga bersifat multietnik: Dayak dan berbagai variannya, Bugis, Banjar, Mandar, Madura, dan Jawa.
Sebagaimana kota-kota lain yang bersumber daya melimpah, Kaltim layaknya kota kosmopolitan. Migrasi penduduk dari satu daerah ke daerah lain berlangsung cepat dan terbuka. Apalagi dengan pesatnya perkembangan sarana komunikasi dan transportasi, perjumpaan-perjumpaan antar komunitas yang berlatar belakang berbeda sulit dihindari.
Di Kaltim, kelompok-kelompok etnis ini juga membentuk organisasi atau paguyuban-paguyuban. Orang-orang Sulawesi Selatan, misalnya, membentuk Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Begitu pula orang Banjar, mereka berkumpul dalam komunitas Kerukunan Keluarga Bubuhan Banjar (KKBB) Kaltim. Sementara orang Jawa yang merantau dan akhirnya memutuskan menetap dan tinggal di Kalimantan Timur, mereka mendirikan Ikapakarti (Ikatan Paguyuban Keluarga Tanah Jawi) dan mengklaim memayungi 35 jenis paguyuban. Sebagaimana halnya Dayak, organisasi-organisasi ini juga memiliki anggota yang duduk di birokrasi dan partai politik.
Tak ada yang ganjil dengan tumbuhnya berbagai organisasi dan paguyuban berbasis etnis semacam ini. Setiap orang memiliki keterikatan kultural dan mengidentifikasikan dengan identitas kulturalnya. Hanya saja warna-warni keragaman etnis ini terancam hilang bila politik identitas – yang sejak awal dikonstruksi secara politis dan direpesentasikan melalui paguyuban-paguyuban ini–menegasikan eksistensi komunitas yang berbeda.
Dengan kata lain, paguyuban yang awalnya sebagai wadah silaturahmi dan persaudaraan bersama pada gilirannya dimanfaatkan demi kepentingan politik atau ekonomi kelompok elit tertentu. Kenyataannya konflik-konflik komunal acapkali bersumber dari situasi semacam ini.
“Kalau organisasi etnis ini hanya menjadi kendaraan untuk meraih posisi politik tertentu, maka bukannya menjadi pereda konflik, sebaliknya akan menyulut konflik,“ tandas Abdul Rahman Daeng Sikki, wakil sekretaris Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan.
Penuturan Daeng Sikki ini memperlihatkan betapa mudahnya konflik komunal tersulut. Sumbernya bisa pertikaian politik, perebutan sumber daya ekonomi atau persaingan elit dalam birokrasi.
Kesadaran Kewargaan
Lantas bagaimana cara menghentikan gesekan antar etnis dan konflik berlatar belakang politik identitas semacam ini?
Muhammad Arifin yang juga Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mulawarwan, Samarinda, menegaskan pendekatan keamanan, pengerahan massa dan premanisme bukanlah jalan penyelesaian. Menurut dia, organisasi-organisasai berbasis etnis ini seyogyanya menanamkan kesadaran perbedaan kepada anggota komunitasnya. Tujuannya agar berbagai kelompok budaya dan etnis in bisa saling memahami dan menghargai satu sama lain.
“Selain berbagai organisasi berbasis etnis ini harus introspeksi, negara juga harus memulihkan kelompok-kelompok marginal seperti etnis Dayak agar memperoleh lagi kesempatan dan hak-hak mereka kembali,” ujarnya.
”Pemberian HPH (Hak Pengelolaan Hutan) dan KP (Kuasa Pertambangan) yang sangat merugikan masyarakat
Dayak dilakukan oleh pemerintah, juga kebijakan-kebijakan pemerintah seperti re-setlement penduduk sangat berperan dalam proses-proses marginalisasi tersebut.”
Selain itu, Arifin juga menambahkan agar pemerintah, birokrasi dan wakil rakyat memberi perlindungan dan perlakuan yang sama dan adil bagi semua masyarakat sebagai warga, bukan sebagai penduduk etnis tertentu saja.
Dengan kebijakan semacam ini diharapkan konflik-konflik komunal yang kerapkali dipicu oleh marginalisasi budaya, diskriminasi ekonomi maupun politik, tak akan terulang lagi. Desantara