Sebelum menjadi aktivis LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender), Hartoyo –atau yang lebih akrab disapa Toyo– adalah seorang pekerja sosial di Aceh. Ia sempat menjadi relawan Aliansi Sumatra Utara Bersatu untuk perjuangan hak-hak perempuan dan kelompok marjinal. Kini, ia tinggal di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Pria kelahiran Kota Binjai, Sumatera Utara pada 3 Maret 1976 ini pernah disiksa dan dilecehkan atas tuduhan melakukan perbuatan cabul di daerah Aceh.
Baginya, pilihan menjadi seorang gay adalah lebih pada alasan politis: berjuang demi revolusi seksualitas di Indonesia. Berikut kesaksian dan argumentasi Toyo:
Saya sekarang menjadi gay sebagai pilihan politis. Orang bisa mengatakan bahwa menjadi gay adalah given, kodrat, dan genetis. Dan saya juga sebenarnya merasa menjadi gay adalah pengalaman yang alamiah dalam hidup saya. Tapi sekarang ini saya meyakini menjadi gay adalah sebuah pilihan politis. Kenapa saya katatan pilihan politis, karena saya bisa merdeka menentukan mana yang terbaik bagi diri saya. Misalkan saya memilih menjadi heteroseksual, itu juga tidak masalah dan mungkin saya akan berusaha untuk berubah, tapi saya tidak mau lakukan itu. Saya memilih menjadi homoseksual karena menurut saya ini yang terbaik bagi diri saya. Dan negara tidak boleh masuk mengintervensi dalam persoalan privat, seksualitas. Dan saya ingin menunjukkan orientasi seksual tidak hanya heteroseksual. Saya melakukan ini tidak hanya sekedar menunjukkan saja, tapi sebuah gerakan revolusi seksualitas.
Saya sadari dan rasakan satu tahun ke belakang, gerakan LGBT, isu LGBT, isu seksualitas, isu homoseksualitas sudah mulai dibicarakan dalam konferensi internasional. Bahkan pertemuan gereja-gereja di Sumatra Utara baru-baru ini, mereka membicarakan topik homosesksualitas setengah hari, dan mengundang narasumber yang kompeten. Sampai isu HIV/ AIDS dikaitkan dengan homosesksual. Sudah banyak training-training soal isu seksualitas yang dilakukan LSM-LSM, di kampus-kampus juga. Di Universitas Indonesia satu minggu kampanye soal keberagaman seksualitas. Di Internasional juga sudah banyak sekali. Satu tahun belakangan ini saya rasakan sekali, isu seksualitas sudah mulai dibuka, bagaimana ibu Musdah Mulia menulis tentang homoseksualitas dalam konteks Islam, bagaimana Pendeta Ester bicara tentang homoseksual dari konteks Kristen dan secara tegas ia mengatakan saya pendeta yang berani menikahkan perkawinan homoseksual, merestui pemberkatan perkawinan sesama jenis.
Menurut saya ini adalah titik sejarah dari revolusi seksualitas di Indonesia, mungkin saya belum katakan revolusi radikal tapi ini adalah titik harapan bagi saya untuk berjuang dan mengajak teman-teman untuk menyuarakannya. Dan, saat ini sudah banyak organisasi LGBT yang bicara tentang HAM bukan tentang masalah kondom saja. Mungkin 5 tahun yang lalu mereka hanya berputar di masalah kampanye kondom. Sekarang sudah banyak LSM yang bergerak di isu lesbian dan gay yang bicara tentang HAM. Hal ini menurut saya sebuah kemajuan yang luar biasa untuk Indonesia.
Namun saya harus katakan, bahwa jaringan kelompok LGBT belum sekuat jaringan perempuan atau kelompok HAM. Ada jaringan, tapi menurut saya masih sektoral. Kalau pun ada mungkin jaringan kondom. Ini kritikan saya bagi teman-teman LSM khususnya yang gay, yang mengangkat isu LGBT jangan berkutat pada masalah seputar kondom saja. Persoalan LGBT adalah persoalan yang luas, dan problem HIV/ AIDS adalah satu permasalahan saja yang dihadapi oleh teman-teman LGBT. Tapi permasalahan yang mendasar adalah hak mereka sebagai manusia, hak-hak ekosok dan sipol. Jadi, saran saya kalau membangun jaringan, jangan kondom saja.
Adapun kasus penyiksaan aparat kepolisian yang menimpa diri saya itu justru menjadi inspirasi bagi saya dan teman-teman untuk berani mengatakan kebenaran dan keadilan bagi kelompok LGBT. Misalnya setelah kejadian itu, di Aceh dibentuk komunitas Violet Grey yang menyuarakan kepentingan kaum gay di sana. Saya di Jakarta bersama teman-teman membentuk Ourvoice, sebuah lembaga yang juga menyuarakan hak-hak kaum gay. Saya terus menyuarakan itu dengan teman-teman pejuang HAM di Jakarta maupun internasional. Akhirnya saya menempatkan diri saya bukan sebagai korban, tapi survivor, orang-orang yang berjuang untuk keadilan, khususnya untuk LGBT.
Pasca kejadian itu, memang teman-teman komunitas gay ini sering dikompas. Banyak orang menganggap bahwa gay itu tidak akan berani bersuara. Di sisi lain, mungkin itu dampak negatifnya, tapi ada juga dampak positifnya. Misalnya, saat ini mulai banyak orang yang terinspirasi untuk berani menyuarakan kebenaran atas ketidakadilan terhadap kelompok kami. Ini adalah pilihan berat tetapi harus saya lakukan sebagai bentuk kontribusi saya sebagai anak bangsa untuk penegakan HAM di Indonesia.[]