Ki Supangi, begitu orang-orang menjulukinya. Seniman wayang kulit ini sehari-hari tinggal bersama keluarganya yang hidup bersahaja di sebuah desa kecil, yang masuk wilayah Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang.
Saat Desantara bertandang ke rumahnya, dalang senior ini menyambut dengan senyum hangat. Kami pun diajak masuk ke beranda rumahnya yang sejuk. Pembicaraan pun mengalir pelan, dari soal pengalamannya menjalani profesi dalang hingga komentarnya yang blak-blakan mengenai perayaan grebeg Singosari yang digelar minggu lalu.
Hari itu Ki Supangi memang tidak bisa menyembunyikan kecewanya. Pasalnya Pemda Kabupaten Malang lebih memilih mengundang dalang Ki Anom Suroto yang menampilkan wayang Jawatengahan ketimbang wayang lokal untuk meramaikan gelar Grebeg Singosari di Pendopo Kabupaten. Padahal banyak seniman dan para dalang lokal yang, menurut Ki Supangi, bisa tampil sama baiknya, bahkan tampil lebih, ketimbang Anom Suroto yang selalu menjadi langganan peringatan HUT Kabupaten Malang.
“Nek nanggap, wong Malang ora oleh untung (kalau bikin pertunjukan orang Malang tidak dapat untung).” Begitu kata Ki Supangi mulai menjelaskan masalahnya.
Ki Supangi menuturkan, sudah bukan rahasia lagi kalau acara pentas budaya semacam ini menjadi bagian dari proyek “bagian kesra”. Setiap tahun pemda mengundang Ki Anom Suroto untuk mentas dengan biaya di atas 50 jutaan. Padahal dana itu bisa dipakai nanggap wayang kulit secara berama-ramai selama beberapa hari, imbuhnya. “Tapi berhubung kalau begitu panitia tidak dapat untung, pantas saja mereka tidak mau,” beber Ki Supangi.
Kejadian semacam ini memang sudah berkali-kali. Para pejabat, birokrat dan pihak-pihak tertentu memilih kesenian lain untuk manggung sambil mengeruk untung ketimbang mementaskan kesenian Malangan sendiri.
“Lek nggowo omong diwuwuhi, lek nggowo duit dilongi” (Kalau bicara ditambah-tambahi, kalau bawa uang dikurangi). Akibatnya korupsi di mana-mana, kata Supangi menyentil sejumlah pejabat yang gemar menyunat anggaran dana buat pengembangan kesenian.
Besarnya perilaku korupsi para pejabat inilah rupanya yang mendorong pria tua ini untuk tak menggantungkan hidupnya pada pemerintah. Meski sebenarnya kepedulian pemerintah masih diperlukan, namun ia yakin wayang kulit akan terus eksis di hati masyarakat tanpa ketergantungan kepada pemerintah. Keyakinan ini rupanya didasari pengalamannya yang bisa mentas sebanyak 40 terop setiap tahun. Meski juga diakui peminat wayangnya hanya sebatas masyarakat desa-desa pinggiran seperti Pujon, Ngantang, Batu dan lainnya.
“Orang boleh kuatir kalau pemerintah ngundang Anom kesenian Malangan bakal mati. Tapi nek seniman kuatir, yo keliru. Wong seniman kok kuatir,” ujar Ki Supangi mengingatkan sejumlah koleganya agar tidak ngresulo bila tak memperoleh job dari pemerintah. Apalagi kenyataannya pemerintah kurang greget dan sering meremehkan seniman lokal dengan tarif murah setiap kali pentas.
Sosok Ki Supangi memang tak pernah was-was akan hidupnya sebagai seorang seniman. Apalagi berkesenian dengan menjalani profesi sebagai dalang sudah menjadi bagian dari hidupnya, bahkan dilakoninya sebagai perjalanan untuk ngelmu.
Konon menurut penuturan beberapa temannya, Ki Supangi memang belajar ndalang secara unik. Pada usia 11 tahun, ia bercita-cita menjadi dalang mengikuti jalan yang ditempuh orang-orang tua sebelumnya, “pinter tanpa guru, ngerti tanpo ono sing mulang” melalui jalan spiritual. Supangi remaja pun bertapa di dalam pluwangan (tanah yang digali sedalam tujuh meter) sambil berpuasa selama beberapa hari, kadang tiga hari, tujuh atau sembilan hari, dan kadang 12 hari penuh. Melalui berbagai tirakatan itulah konon Ki Supangi memperoleh berbagai keistimewaan gaib.
“Gusti Alloh sing langsung mulang” (Allah yang langsung mengajari). Begitu kata Ki Supangi saat ditanya soal asal usul kehebatannya dalam memainkan wayang. Dengan kelebihannya ia bukan saja terampil ndalang, tapi juga memiliki kemampuan membuat patung, ukiran, relief, bangunan rumah, bangunan embong tani, serta segala macam jajanan dan makanan tradisional.
Di akhir pembicaraan Ki Supangi pun melontarkan usulan yang unik tapi amat masuk akal. HUT kabupaten Malang sebaiknya diperingati dengan mengunjungi danyang (bedahane eyang) yang membedah Malang jaman dulu, seperti Ki Ageng Gribig, nyekar ke Mbah Kabul Mendit dan Bupati pertama Raden Ronggo Pulung Jiwo. “Biar keadaan lebih tenang dan aman,” katanya. Barangkali usulan yang menarik, ketimbang sekadar bikin proyek yang dinikmati beberapa orang saja, bukan? Desantara / Heppy B. Febriasih