Usianya masih tergolong muda, sekitar tiga puluh tahunan. Rosnawati, ibu dari dua anak ini begitu cinta menggeluti seni tradisinya. Ia pun sering tampil dalam pentas-pentas kesenian yang marak di Enrekang belakangan ini.
Di tengah banyak sanggar seni di Enrekang, wanita berparas ayu ini memilih bergabung di sanggar seni tradisi Lakarua, milik rekannya yang juga sesama guru sekolah. Katanya, Lakarua dianggap lebih independen dan bisa sejalan dengan prinsipnya dalam mengembangkan kesenian. Apa prinsipnya?
Saat ditemui Desantara beberapa minggu lalu, Rosnawati sempat memperlihatkan kekecewaannya terhadap sejumlah pentas kesenian tradisi belakangan ini. Memang tak salah, ujarnya, bila kesenian ditampilkan dalam pertunjukan-pertunjukan. Tapi dalam menampilkan kesenian itu para pemain seyogyanya banyak berdialog dengan tokoh-tokoh adat dan seniman-seniman kampung.
”Kita harus memberikan kesempatan pada seniman kampung dan masyarakat adat untuk ikut menentukan, bagaimana kesenian harus ditampilkan.” Kalaupun ada yang mau dirubah untuk kepentingan estetika dan kepentingan lainnya, maka para seniman kampung dan komunitas adat seyogyanya dilibatkan, katanya.
Kecintaan Rosnawati pada seni tradisi rupanya memang sudah terpupuk sejak kecil. Di Maiwa, tempatnya lahir dan dibesarkan, ia belajar berbagai tarian dan musik tradisi, termasuk tarian Panggellu asal Anggeraja, salah satu daerah di Enrekang.
Namun minatnya pada seni tradisi ini sempat beberapa tahun terhambat. “Saat itu saya harus meninggalkan Enrekang, sebab saya disekolahkan orang tua di Madrasah Aliyah Muhammadiyah, Makassar,” ujarnya. Saat itulah minat dan bakat Rosnawati tak tersalurkan. Sekolah tidak menyediakan, bahkan tidak membolehkan siswa mengikuti kegiatan kesenian tradisonal yang dianggap berbau takhayul, bid’ah dan khurafat.
Begitulah. Rosnawati remaja terus merindukan kesenian tradisi yang digelutinya dulu. Ia pun bertutur, di kala senggang ia kerap mendengarkan irama lagu Bamba Puang, satu lagu dari daerah Massenrengpulu dari radio. Keinginannya kembali ke kampung halamannya dan menggeluti kesenian tradisinya pun mendesak begitu kuat. ”Sampai-sampai terkadang mata saya berkaca-kaca, mas,” ujarnya sambil tersipu mengingat masa lalunya. Pernah Rosnawati remaja hendak mengusulkan agar sekolahnya ikut mengembangkan kesenian tradisi, namun niat itu diurungkan. Pasalnya, ormas Muhammadiyah saat itu memang sedang gencar-gencarnya membasmi segala yang dianggap takhayul, bid’ah dan khurafat.
Pengalaman itu rupanya sangat berarti mendalam baginya. Rosnawati pun kini merasa ikut bertanggung jawab atas keberadaan seni tradisi kampungnya, Massenrengpulu. Lantas apa tanggapan Rosnawati terhadap upaya mengangkat kembali identitas Massenrengpulu melalui pentas seni dan budaya?
Dengan bangga Rosnawati mendukung upaya ini. Bahkan menurutnya semangat sanggar seni Lakarua, dimana dia terlibat aktif didalamnya, adalah juga demi memperlihatkan identitas Massenrengpulu.
Namun demikian kampanye pemda lewat pertunjukan seni tradisi akhir-akhir ini tidak sepenuhnya ia setujui. Menurutnya, ada banyak hal yang ironis yang dilupakan dalam pertunjukan itu, yakni identitas Massenrengpulu sendiri yang hendak diangkat justeru makin kabur. Kenapa?
”Karena hanya kepentingan pertunjukan semata,” jawab Rosnawati singkat. Desantara