Kita kan mencari ikon. Yang penting praktis, ramai dan gaungnya besar. Makanya Singosari perlu diangkat, apalagi Kerajaan Singosari ada di Kabupaten Malang. Begitu ucap Soehito yang salah satu panitia sekaligus konseptor perayaan puncak Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Malang ke-1246 yang digelar akhir Nopember lalu. Rupanya atas segala pertimbangan itu, perayaan yang rutin diselenggarakan tiap tahun itu diberi nama “Grebeg Singosari”.
Soehito, yang juga masih menjabat Kepala Bidang Pengembangan Wisata dan Kelestarian Budaya Dinas Pariwisata, bukanlah satu-satunya orang di belakang Grebeg Singosari. Di sana masih ada Sugiyanto dari MTC, Malang Tourism Center, yang mengaku bersama-sama para seniman dan pejabat Pemkab menggodok gagasan itu sejak enam bulan sebelum puncak acara, sekitar Juni 2006 lalu. Nama itu dipungut untuk mengingat kebesaran sejarah Singosari masa lalu. “Sejarah tidak boleh ditinggalkan,” ujar Sugiyanto beralasan.
Ingatan tentang Singosari rupanya dianggap penting oleh sebagian orang demi meromantisir kebesaran masa lalu. Meski ironisnya meromantisasi Singosari dalam HUT Kabupaten Malang juga tak terhindar dari perdebatan relevansi.
Sebagaian seniman misalnya bertanya-tanya, bagaimana mungkin Kerajaan Singosari dipentaskan oleh sebuah kerajaan kecil di bawah naungannya. “Lek Singosari mentasno kabupaten, pantes, kepratu mrentah bupati Malang,” tutur Ki Supangi, salah seorang sesepuh dalang di Malang.
Betapun pun protes mengalir, nyatanya proyek ini tetap jalan terus. Bagi sebuah perayaan yang sejak awal menomorsatukan gaung dan kemeriahan, memang peduli apa dengan sejarah. Kesan ini muncul ketika sejarah hanya dianggap relevan dalam konteks fungsinya sebagai ikon yang menjual. Seperti Grebeg Singosari adalah nama sekaligus ikon yang layak jual, meski pentas tradisi yang tampil tak harus menghadirkan warisan tradisi masyarakat lokal, apalagi masa lalu Singosari!
Mau tidak mau kesan inilah yang bisa didapat dari hiruk pikuk berlangsungnya perayaan Grebeg Singosari.
DKKM dan Seniman Malangan
Kesan pengutamaan gaung lewat ikon-ikon besar makin menguat ketika rencana Dewan Kesenian Kabupaten Malang (DKKM) mementaskan tradisi seni Malangan, yang sebelumnya sudah dipercaya untuk “mengkoordinasikan” kegiatan pentas seni tradisi, bahkan lewat SK Bupati, tiba-tiba dimentahkan.
Rencananya pentas seni tradisi ditampilkan di lima titik, yakni bagian Malang Utara di Lawang, Malang Timur di Tumpang, Malang Selatan di Pagak, Ngantang untuk Malang Barat, dan ibukota Kabupaten Malang sebagai pusat di Kepanjen, diubah begitu saja oleh panitia dan pihak Dinas Pariwisata secara sepihak menjadi dua tempat: Turen dan Ngantang. Padahal menurut beberapa seniman, pembagian wilayah ini disesuaikan dengan potensi kesenian yang ada di wilayah masing-masing. Tujuannya agar tidak terkesan mengistimewakan salah satu kesenian di Kabupaten Malang.
Namun entah alasan apa, barangkali soal dana, hasil kesepakatan DKKM ini akhirnya dibatalkan. Bahkan persoalan dana itu pula yang seringkali membuat antar anggota DKKM bersitegang, berebut peluang merengguk untung dari job manggung.
Persoalan dana memang kerap menjadi sumber yang bikin kalang kabut para seniman. Mereka trauma, jangan-jangan anggaran pertunjukan tidak turun, seperti pada perayaan HUT tahun lalu. Kasusnya pada 2005, tarian kolosal Ontran-ontran Tirtakamandalu tidak dibayar gara-gara batal tampil. Padahal Soleh Adi Pramono, sang pencipta tari, telah mengeluarkan dana jutaan rupiah untuk latihan dan sewa kostum berikut penarinya dari Jogja. “Latihan sudah delapan kali, besok akan main, sekarang dibatalkan. Malamnya muncul Anom Suroto lagi,” geramnya.
Hal serupa juga menimpa grup Jaran Kepang milik Sahid, Karang Kates. Duit pribadi habis untuk biaya latihan, sewa kostum dan uang muka para pemain. “Hingga kini tidak ada kompensasi sepeserpun,” ujar Sahid. Tak pelak saat itu banyak seniman marah karena merasa tertipu dan dipermalukan. Lalu demonstrasi pun jadi jalan keluar.
Peristiwa lain terjadi pada Pagelaran Kesenian Tradisional di Stadion Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang yang sedianya dilaksanakan Juli hingga Desember 2006. Kegiatan ini diprakarsai Wakil Bupati Rendra Kresna yang menjanjikan akan ada pementasan kesenian Malangan tiap minggu di Stadion Kanjuruhan. Ada dua kali pentas, yakni Pementasan Tiga Dalang dan Pertunjukan Ludruk Armada, namun keduanya pun tak dibayar tanpa alasan yang jelas. Tidak ada anggaran, katanya.
Cerita yang direkam dari para seniman ini memperlihatkan sisi lain betapa ironisnya Grebeg Singosari. Sedianya mau menampilkan tradisi Malangan tapi justeru terhambat oleh keputusan yang tidak memberi kesempatan luas seniman-seniman Malangan sendiri untuk tampil. Keterbatasan anggaran selalu menjadi alasan. Padahal, Pemkab secara rutin mendatangkan dalang Ki Anom Suroto pada puncak perayaan HUT di Pendopo, meski berbiaya sangat besar. Konon sebanding dengan biaya pentas bersama seniman-seniman Malangan yang dibatalkan itu.
“Anom Suroto punya nama besar. Biar meriah. Kalau acara tidak meriah, itu jadi beban panitia,” demikian alasan Purnadi yang juga wakil ketua panitia Grebeg. Kurang jelas memang, apa ukuran kemeriahan itu.
Protes
Suara-suara protes pun terdengar dari bisik-bisik di lingkaran kaum seniman. Soleh Adi Purnomo yang juga pemilik Padepokan Seni Mangun Dharma mempertanyakan, kalau selama ini banyak seniman ingin tampil di Pendopo Kabupaten karena merasa dihargai dan diperhatikan. “Kenapa para seniman lokal tidak bisa tampil di Pendopo?”
Soleh pun menduga, kehadiran Anom Suroto karena gengsi Pemkab semata. Padahal langkah Pemkab ini dianggapnya merugikan. “Ini namanya pembunuhan. Pembunuhan terhadap kreativitas putra daerah,” ujarnya geram.
Soleh pun tak segan menantang. Ia berani bertaruh kalau banyak dalang-dalang lokal sekaliber Anom dalam kualitas penyajiannya di pentas. “Kalau alasannya hanya gengsi gitu ya, adakan dua malam. Duel dalang Malangan melawan Anom Suroto. Biar masyarakat tahu,” tantang Soleh kepada Pemkab agar menyediakan panggung untuk membuktikan kehebatan dalang-dalang Malangan.
Lantas apa komentar panitia pelaksana?
“Soal hari jadi, kita jangan terlalu tertutup dengan artis-artis luar Malang,” kata Purnadi yang juga pegawai Dinas Perhubungan dan Pariwisata itu. Menurutnya, pemilihan acara-acara dalam pentas menentukan gebyar kemeriahannya. Dan kemeriahan acara tergantung pada penampilan figur yang sudah dikenal oleh publik nasional. “Apalagi ini menyangkut nama besar Kabupaten Malang,” ujar Purnadi sambil berharap perayaan HUT Kabupaten Malang bakal dinikmati semua masyarakat Jawa Timur.
Harapan Purnadi memang bukan sesuatu yang mustahil terpenuhi. Grebeg Singosari akan dinanti oleh masyarakat luas melintasi batas-batas wilayah Kabupaten Malang, bahkan menarik minat hadir masyarakat sekitarnya. Tapi pertanyaannya, apa makna gebyar Grebeg Singosari yang mau mengangkat warisan kejayaan Singosari, tapi nyatanya minim seniman tradisi Malangan tampil?
Jangan-jangan benar kata Henricus Supriyanto yang juga kepala Litbang DKKM berikut ini. Sikap Pemkab yang bersikukuh mementaskan Anom Suroto, apalagi dengan alasan kemeriahan atau ikon nasional, sama halnya memperlihatkan kegagalannya sendiri dalam membina khasanah budaya Malangan.
Dan andai benar, Grebeg Singosari tanpa panggung terbuka para seniman Malangan adalah cermin kegagalan itu. Ironis memang! Desantara