Ungkapan terkenal “sejarah adalah kisah para raja” ternyata bermakna sangat luas, Tidak hanya mengenai kehebatan pribadi, jejak-langkah sosial dan politik yang di kembangkannya, tetapi juga menyangkut kepastian keberagamaan. Kapan suatu kaum mulai memeluk agama tertentu, hampir pasti ditambatkan sejak kapan pula sang rajanya secara resmi menerima dan memeluk agama yang bersangkutan. Begitu pula mengenai paham keagamaan yang dianut; hampir pasti bahwa jika paham yang dianut oleh suatu komunitas tertentu berbeda dengan yang dianut para raja menjadi tertutup atau dianggap sempalan, penyimpangan, dan tidak resmi.
Ketika kita hendak menyebut sejak kapan orang di Jawa memeluk Islam, sudah pasti akan kembali pada bagaimana para sunan mengokohkan dan mengkristalisasi keislaman di tanah Jawa, bahkan tidak sedikit yang kemudian merujuk masa Demak sebagai titik pangkal. Demikian pula ketika akan memastikan paham apa yang dianut, pastilah hanya melihat apa yang dikembangkan oleh para wali. Sama persis ketika kita akan melongok sejak kapan orang Bugis-Makassar memeluk Islam, pasti hanya merujuk masa ketika para raja (Goa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu) secara resmi menyatakan keislamannya. Keislaman sejumlah komunitas di pesisir yang sangat mungkin bermula sebelum itu sebagai akibat interaksinya dengan para pelaut atau pedagang sama sekali tak diperhitungkan.
Pepatah Arab berbunyi Dinu ar-raiyat ala dini mulukihim, agama rakyat (harus) mengikuti agama raja mereka, tampaknya mejadi kepastian. Beberapa penulis mengartikan pepatah itu sebagai barometer untuk melihat, mengamati, dan menjelaskan bahwa apa yang dianut dan diyakini oleh para raja dan sultan hampir pasti menjadi anutan dan keyakinan rakyat dalam rengkuhan kekuasaan politiknya.
Tetapi banyak pula yang memaknainya sebagai ungkapan politis para penguasa dan kaum terpelajar pendukungnya untuk membangun dan memperkuat legitimasi pemaksaan beragama sesuai dengan yang dianut dan diyakini mereka. Bukankah mereka (para khalifah, sultan, dan para raja) dalam sepanjang sejarah Islam hampir selalu berkecenderungan yang sama: memaksakan pilihan agama mereka kepada rakyat yang dikuasai. Asumsi bahwa jika sang raja adalah penganut sunni, maka rakyatnya pun harus menganut paham itu, dan mereka yang tidak menganutnya akan terpojok dan tersingkir hampir mencapai kebenarannya yang sempurna.
Kecenderungan semacam itu ternyata tidak saja terjadi dalam bentuk pemaksaan dalam arti harfiah, konkrit, berupa perilaku represif, diskriminasi, dan subordinasi, melainkan juga dalam bentuk pemaksaan kognitif-imajinatif terutama bagi generasi yang lebih kemudian. Ini terjadi karena apa yang kita kenal sebagai sejarah, narasi besar, adalah sesuatu yang dibuat dan diproduksi oleh dan hanya untuk (membesarkan) para penguasa. Sebaliknya, apa yang dianut dan diyakini oleh orang-orang kecil di luar kekuasaan politik bukan saja tidak dicatat dan dihitung, tetapi bahkan harus disesuaikan dengan narasi besar, dengan sejarah para raja.
Sejarah, dan dengan semikian agama, memang benar-benar dimonopoli para raja, maenstreim, dan para penguasa politik dan kultural. Desantara / BE