Islam di Indonesia memiliki ciri khas berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Lingkungan multikultur sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya Islam Indonesia membuat Islam tampil menjadi nilai dan pandangan hidup yang erat dengan tradisi lokal.
Kondisi inilah yang melahirkan ekspresi Islam Jawa, Islam Banjar, Islam Minangkabau, Islam Ternate, dan berbagai ekspresi lainnya yang selaras dengan budaya setempat.
Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The Wahid Institute, meyakini semua ekspresi Islam di seluruh dunia, termasuk di Arab Saudi, tidak dapat dipisahkan dengan budaya dan tradisi lokal daerah atau negara. Karena itu, Islam yang ada di Timur Tengah merupakan ekspresi Islam yang lekat dengan budaya Arab.
Munculnya Islam dengan ekspresi yang penuh kekerasan sehingga dicap sebagai Islam radikal atau Islam fundamental juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh radikalisme yang muncul di setiap negara. Garangnya citra Islam di Afganistan dan Palestina tidak terlepas dari konflik yang terus-menerus mendera kedua wilayah itu.
Ekspresi Islam Indonesia sendiri cukup beragam. Nilai-nilai Islam di Indonesia berpadu dengan tradisi lokal sehingga melahirkan corak Islam yang khas pada setiap suku bangsa.
Damainya ekspresi Islam Indonesia juga tidak terlepas dari proses penyebarannya yang melalui jalur perdagangan dan budaya. Di Jawa, Wali Sanga mengajarkan Islam dengan mengubah istilah-istilah yang kental nuansa Arab dengan anasir-anasir lokal yang mudah dipahami masyarakat tanpa menghilangkan esensi ajaran Islam sendiri, seperti istilah puasa dengan shaum.
Islam di Indonesia selama ratusan tahun juga mampu hidup berdampingan dengan berbagai keyakinan yang ada, mulai dari berbagai jenis aliran kepercayaan lokal hingga agama-agama besar dunia lainnya. Kondisi multikultur ini melahirkan Islam yang terbuka dengan pengaruh dari negara-negara lain. Kondisi ini jelas terlihat dalam arsitektur sejumlah masjid tua di Indonesia, yang memadukan arsitektur gaya Hindu, Cina, India, Persia, maupun Arab.
Keterbukaan Islam Indonesia juga berlangsung hingga kini dengan bebas masuknya berbagai pemikiran keislaman ala Timur Tengah, Afrika Utara, maupun Asia Selatan. Kondisi inilah yang seharusnya mendorong Muslim Indonesia untuk turut menyebarkan Islam khas Indonesia ke seluruh penjuru dunia.
”Islam Indonesia menjadi sangat kontekstual untuk dikembangkan saat ini. Sebuah ekspresi Islam yang damai, dialogis, dan multikultural,” kata Suaedy.
Islam Indonesia memang sangat kurang terpublikasi ke dunia internasional. Bahkan, di tingkat Asia Tenggara pun, publikasi tentang Islam Indonesia kalah dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura.
Literatur ekspresi Islam lokal Indonesia sangat jarang, termasuk dalam skripsi hingga disertasi mahasiswa jurusan agama. Jarang cendekia Indonesia yang mengungkap kearifan dan cara pandang pemimpin agama maupun tradisi lokal umat Islam Indonesia.
Dalam literatur global, Islam di Timur Tengah masih menjadi acuan utama. Para cendekia Barat masih memandang Islam dari penampilan formalnya sehingga ekspresi Islam non-Arab dianggap sebagai bagian dari kultur lokal, bukan bagian dari ekspresi Islam yang telah beradaptasi dengan nilai-nilai lokal.
”Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, ekspresi Islam justru tidak pernah diapresiasi,” katanya.
Kurangnya publikasi Islam Indonesia sebenarnya sejalan dengan perkembangan kondisi ekonomi, teknologi informasi, kualitas manusia, serta tingkat pendidikan masyarakat Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia cenderung lebih suka menjadi konsumen, termasuk dalam mengekspresikan keagamaannya dan membuat gerakan Islam.
Kondisi ini harus didobrak agar Indonesia tidak sekadar menjadi konsumen terhadap segala produk luar negeri, termasuk dalam pemikiran. Sikap rendah diri yang membuat segala sesuatu dari luar negeri dianggap lebih baik harus diubah.
”Islam Indonesia harus mampu menguasai teknologi dan kemodernan lainnya sehingga bisa mewartakan ekspresi Islam Indonesia ke seluruh dunia,” katanya.
Indonesia sebenarnya memiliki cukup potensi untuk menyebarkan ekspresi Islam Indonesia ke seluruh dunia. Pesantren, kelompok masyarakat madani, perguruan tinggi agama milik pemerintah, dan sejumlah ormas Islam merupakan sumber daya besar yang dapat digunakan untuk menggaungkan Islam Indonesia.
Namun, lembaga pendidikan dan kelompok masyarakat madani itu masih sangat sedikit yang menghasilkan karya-karya tentang Islam Indonesia. Mahasiswa Indonesia yang belajar Islam di Timur Tengah pun sulit mengembangkan Islam khas Indonesia. Hal itu terjadi karena selama di Indonesia mereka kurang dibekali dengan pemahaman tentang Islam Indonesia.
Akibatnya, saat belajar di Timur Tengah, mereka lebih banyak mengadopsi pemikiran Islam Timur Tengah. Pengadopsian itu—seperti juga yang dilakukan terhadap pemikiran Barat maupun Timur lainnya—takkan menimbulkan masalah jika dibarengi dengan kultur Indonesia.
Pemerintah perlu lebih serius menyikapi kondisi ini. Perkembangan pemikiran di Indonesia yang tidak sesuai dengan kondisi bangsa dapat mendorong disintegrasi bangsa akibat diabaikannya multikulturalisme dan pluralisme.
”Sebagai bagian dari nilai budaya, pengekspresian Islam ala Timur Tengah yang tidak disesuaikan dengan tradisi Indonesia dapat mengganggu tatanan sosial yang ada,” lanjut Suaedy.
Tekanan
Selain sulit untuk mengampanyekan Islam ala Indonesia ke luar negeri, di dalam negeri pun Islam Indonesia banyak mengalami tekanan. Banyak kelompok umat Islam yang hanya menjadi distributor dari pemikiran dan ekspresi Islam di luar Indonesia untuk diterapkan secara mentah. Distribusi pemikiran dan ekspresi Islam luar negeri ini terentang luas, mulai dari Islam yang radikal fundamental hingga Islam yang liberal progresif.
”Yang liberal progresif ingin mengekspresikan Islam seperti di Eropa atau AS, sedangkan yang radikal fundamental ingin ber-Islam dengan gaya Timur Tengah atau Afganistan. Semua sama-sama menafikan nilai-nilai keislaman lokal,” ujar Suaedy.
Bagi sebagian kalangan, Islam Indonesia dianggap bukanlah Islam yang murni seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Islam Indonesia dianggap sudah terkontaminasi dengan berbagai tradisi lokal yang sudah telanjur dicap tidak Islami.
Menurut Suaedy, kondisi itu akibat adanya kesenjangan antara Islam sebagai gagasan yang ideal dan Islam yang menghadapi realitas sosial. Kelompok yang menganggap Islam Indonesia tidak murni selalu ingin menampilkan Islam ala Timur Tengah yang dianggap murni. Kampanye Islam yang dianggap murni itu tanpa disadari telah turut menyebarkan kultur budaya Timur Tengah yang berbeda dengan kultur di Indonesia.
Inspirator
Pandangan keagamaan Suaedy tak terlepas dari pemikiran mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid. Konsep ”pribumisasi Islam” yang senantiasa didengungkan Wahid dinilai Suaedy sebagai konsep Islam yang lengkap.
Pribumisasi Islam merupakan sebuah konsep Islam yang menyatukan Islam, masyarakat, dan negara bangsa. Padahal, dalam berbagai pemikiran dan literatur Barat yang ada, ketiga pilar itu sering diulas terpisah.
”Konsep inilah yang mengajarkan bagaimana menjadi orang Indonesia yang beragama Islam dan orang Islam yang asli Indonesia. Konsep ini juga memadukan berbagai nilai-nilai budaya modern, seperti HAM, sehingga tidak diperlukan istilah HAM Islam,” lanjutnya.
Suaedy besar di pesantren. Ia menamatkan pendidikan madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah di Pesantren Islahiyah Kediri. Setelah itu, ia kembali ke Kebumen dan mengulang pendidikannya mulai dari kelas I SMP. Ia melanjutkan ke madrasah aliyah di Kebumen sambil nyantri di Pesantren Lirap. Di kedua pesantren di Kebumen itu, ia khusus mempelajari Nahwu dan Shorof yang mengkaji tata bahasa Arab.
Dunia pesantren yang tradisional membuat Suaedy kecil tidak terlalu banyak mengenal bacaan dan literatur Islam modern. Perkenalannya dengan berbagai pemikiran Islam kontemporer dimulai ketika dirinya kuliah di Jurusan Tafsir Hadist Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Pemikir Islam lainnya yang ia kagumi antara lain almarhum Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, hingga Masdar F Mas’udi. Se
dangkan pemikir mancanegara yang mengilhami pemikirannya antara lain Hasan Hanafi dari Mesir dan Fazlul Rahman dari Pakistan. M Zaid Wahyudi, Kompas Sabtu, 8 Maret 2008