Ingwuri Handayani | 24 – Mar – 2008
Begitu banyak aliran yang berbeda dari mainstream disesatkan. Beberapa diantaranya, bahkan mengalami kekerasan dan pengusiran. Dimana tanggung jawab negara?
“Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!”
“Naik, naik, naik!.. Bakar!.. bakar!… bakar di depan orang ini! Bakar!” “Mau mati?” lalu, teriakan bakar, bakar, pun terdengar lagi. Dokumentasi Jemaat Ahmadiyah ini, berikutnya menyorot seseorang dengan sorban putih yang berkata, “Hadir di tempat ini adalah menunjukkan kepada masyarakat dunia.”
Tonggak selamat datang peserta Jalsah Salanah 2005 itupun dirubuhkan, diinjak-injak. Masih belum puas. Orang-orang itu, melempari bangunan di balik pagar di Kompleks Pusdik Mubarak Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jabar dengan bata, batu, genting dan benda lainnya.
Amuk yang terjadi di 9 juli 2005 itu ternyata belum berakhir. Enam hari berikutnya, di tempat sama, ribuan massa kembali mendatangi tempat ini. Teriakan Allahu akbar.. Allahu akbar… pun membahana terdengar. Selanjutnya bisa ditebak; tempat itu pun menjadi poranda. Sebuah jam, tampak tergeletak tak berdetak di angka setengah empat menunjukkan kapan peristiwa terjadi. Beberapa buku ajar juga terlihat hangus. Di depan Bangunan bernama Lajnah Imailah Indonesia sebuah motor tinggal rangka. Isi perpustakan dan toko buku pun porak. Kaca-kaca bertebaran dimana-mana.
Nasib tragis juga dialami olah Jemaat Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat. Jemaat ini, diserang pada 4 Februari 2006 lalu. Tak berhenti di situ. Sejak penyerangan, warga Ahmadiyah di RT 11 Bumi Asri, 127 jiwa pun menjadi mengungsi di Wisma Transito milik Dinas Transmigrasi NTB di Majeluk, Mataram.
Selain Jemaat Ahmadiyah, penyerangan juga dilakukan terhadap kelompok yang dianggap sesat. Masih di propinsi yang sama, Mei 2006, di Desa Sesela Kecamatan Gunung Sari Lombok Barat, pembakaran dilakukan di pondok pesantren milik Jamaah Salafiah. Sebelumnya, MUI menyatakan aliran ini sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Amaq Adi, pemimpin aliran ini, juga dituduh menggauli istri jamaahnya. Amaq pun ditangkap dengan diperlakukan secara tidak manusiawi, dengan memasukkannya dalam karung dan diseret massa.
Di Makassar, ratusan warga Tana Beru Kecamatan Bontobahari, menyerang sebuah rumah yang diyakini sebagai tempat ibadah Tarekat Naqsabandiyah, di Kelurahan Sapolohe, 19 November 2007 lalu. Akibatnya, rumah itu hancur rata dengan tanah setelah diamuk massa menggunakan batu dan senjata tajam lainnya.
Di negeri ini, penyerangan terhadap yang dianggap sesat, memang seperti cerita yang tak pernah habis. Sayangnya, di saat-saat seperti ini, aparat sering bertindak tak sigap. Sehingga muncul kesan adanya pembiaran (by ommision), sebuah istilah yang sering dialamatkan kepada negara yang dianggap tak cakap dalam bertindak. Di sisi lain, ketidaknetralan aparat, juga kerap diperlihatkan sehingga selain pembiaran, mereka juga bertindak yang justru menunjukkan kesalahan karena penindakan alias by comission, contoh ini diperlihatkan saat satuan pamong praja merubuhkan papan nama Ahmadiyah saat terjadi penyerangan kepada kelompok ini.
Kita, membutuhkan polisi dan penegak hukum yang sangat profesional yang tidak memihak. “Pertanyaannya, bagaimana bisa menegakkan hukum kalau dia sudah memilih salah satu kelompok yang terlibat dalam persengketaan?” tutur Ifdhal Kasim seusai menyaksikan tayangan penyerbuan terhadap Jemaat Ahmadiyah dalam sebuah sesi seminar yang diselenggarakan oleh Desantara, 4 Juli lalu.
Soal lain yang kerap menjadi masalah adalah, aparat ikut masuk dalam soal tafsir atas teologi. Ifdhal yang kini menjadi ketua Komnas HAM itu juga mengatakan, ketika yang harus diperiksa adalah alam kesadaran orang, apakah betul orang itu tersebut bermaksud menghina agama? Padahal, Men real-nya bisa jadi tidak di situ. Ia juga mengkhawatirkan ketika pasal penodaan ini masuk ke ruang pengadilan. Saat membuktikan men real, si ahli bisanya didatangkan dari ajaran-ajaran yang sudah mapan.
Masih soal lembaga negara. Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, yang malah memohon fatwa kepada MUI. “Ketika kita sama-sama ingin mencegah berkembangnya aliran sesat di negeri ini dan menanganinya dengan baik, maka sesuai dengan aturan main, kami memohon fatwa dari MUI,” katanya saat meresmikan pembukaan Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) lima November 2007 lalu, di Istana Negara.
Permohonan presiden, membuktikan bahwa ia telah salah meletakkan MUI dalam konteks kenegaraan. Sikap ini, tentu menjadi kontraproduktif bagi lembaga negara karena fatwa MUI tidak memiliki status hukum di dalam hirarki sumber hukum di Indonesia.
MUI sendiri, berdiri pada tanggal 26 Juli 1975. Mulanya, lembaga ini bertujuan salah satunya seperti dikutip dari situsnya, mui.or.id, adalah sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam. Tetapi, alih-alih silaturrahmi, yang kerap muncul justru fatwa-fatwa yang memunculkan diskriminatif.
Dan naga-naganya, deret kelompok yang disesatkan akan bertambah dengan dikeluarkannya 10 kriteria sesat hasil dari Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2007 kemarin. Kesepuluh kriteria itu adalah pertama, mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam. Kedua, meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan al-Quran dan sunnah. Ketiga, meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran. Keempat, mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran. Kelima, melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. Keenam, mengingkari kedudukan hadist nabi sebagai sumber ajaran Islam. Ketujuh, menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul. Kedelapan, mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir. Kesembilan, mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke Baitullah, salat wajib tidak 5 waktu. Kesepuluh, mengafirkan sesama Muslim tanpa dalil syari seperti mengafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya. Meski menimbulkan efek kekerasan, negara justru mengamini langkah MUI.
Menjadi semakin klop, karena penodaan agama juga telah diatur dalam Undang-Undang kita. PNPS No. 1 tahun 1965, misalnya, di pasal satu disebutkan bahwa setiap orang yang muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan menafsirkan dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama bisa di pidana. Sementara, di KUHP sendiri, penodaan ini, tertera di pasal 156 (a) bagi orang yang mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama akan di penjara selama-lamanya lima tahun.
Padahal, muara dari semua ini adalah soal stabilitas. Bahwa semua warga negara, diandaikan berada dalam alur yang telah diatur oleh negara yang sudah sejak mulanya diskriminatif karena hanya memilih enam agama resmi. Padahal, sejak negeri ini belum berdiri, begitu banyak agama dan aliran kepercayaan yang sudah ada. Dengan adanya resmi dan tidak resmi ini, secara langsung berimplikasi pada kelompok keagamaan yang tidak masuk dalam daftar agama resmi.
Saat ini, juga sedang digodok revisi KUHP yang salah satunya adalah penjabaran dari pasal 156 a menjadi satu bab khusus. Maka bisa ditebak, persoalan justru semakin memanjang begitu semua diatur dalam KUHP.
Lihat saja kasus-kasus yang berlatar penodaan agama selama ini. Di era sebelumnya, di zaman Orde Baru, pasal-pasal ini digunakan sebagai salah satu alat untuk melakukan stabilisasi itu. “Yang kalau dilihat,” demikian tutur Farjul Falah, “Hampir seluruh kasus penodaan agama di masa-masa sebelumnya itu tidak pernah menang,” katanya dalam diskusi bersama nara sumber terpilih yang diselenggarakan Desantara November 2006 lalu. Semua kasus pencemaran, penodaan agama oleh individu/ kelompok tertentu dengan sangat mudah digiring ke bui.
Sementara, kalau mengacu ke perundangan di atasnya, bisa jadi PNPS dan pasal 156 a KUHP, bertolakan dengan UUD Pasal 29 yang memberikan jaminan kebebasan bagi setiap individu untuk menjalankan agama dan keyakinan sesuai yang dianutnya.
Lantas, bagaimana mengatur lalu lintas perundangan dan lembaga negara yang silang sengkarut ini? Apalagi, negara juga telah ikut meratifikasi Hak Sipil dan Politik Hak Asasi Manusia yang salah satu pointnya, negara tidak selayaknya ikut campur dalam mengatur praktik kebebasan beragama dan berkeyakinan warganya kecuali untuk melindungi keselamatan, ketertiban kesehatan ataupun moral umum sebagaimana tercantum dalam pasal 18. Batasan yang juga telah diperjelas dalam General Comment No. 22 dari Kovenan internasional tentang hak sipil dan politik, pasal 18 sesi keempat puluh delapan tahun 1993.
Di titik ini, maka diperlukan pikiran jernih dalam melihat kembali tata aturan secara keseluruhan. Idealnya adalah setiap orang berhak untuk menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa terbelenggu oleh agama resmi yang ada sekarang. Namun, soalnya kemudian adalah mengatur agar kebebasan seseorang dalam beragama tidak mengganggu kebebasan beragama orang lain bukan soal gampang. Di titik ini rambu-rambu hukum harus diperjelas seterang mungkin. Hukum mesti menjadi penengah antara kebebasan satu individu/ kelompok dengan individu/kelompok lain. Hukum tidak diperbolehkan membela satu agama tertentu lantaran dianggap sebagai kekuatan mayoritas.
Bukan hal mudah. Posisi seperti ini memerlukan prasarat tertentu. Satu diantaranya adalah pedoman penghargaan dan sikap toleransi yang mesti disusun oleh pejabat publik di Indonesia supaya mereka tidak mudah menggunakan wewenangnya untuk memenangkan kepentingan kelompok tertentu. Misalnya delik mengganggu ketertiban umum, “meresahkan masyarakat” dalam isu kebebasan beragama mesti dijelaskan supaya makna “mengganggu ketertiban/meresahkan” benar-benar memiliki semangat penegakan HAM. Individu, atau kelompok beragama tertentu dapat mengadukan masalah ini ke kepolisian jika mereka resah atau terganggu dengan aktivitas kelompok lain. Mengganggu dalam pengertian ini mesti memiliki bukti-bukti material; misalnya, mengganggu ketenangan karena suara/ teriakan keras, meresahkan karena metode-metode dakwah yang ditengarai mengandung sikap permusuhan terhadap kelompok lain, dan seterusnya.
Maka bagi negara sendiri, penegakan hukum secara formalistik mesti diiringi kerja-kerja non-paralegal dengan bertindak sebagai mediator di tengah masyarakat yang plural (ditinjau dari segi agama dan keyakinan). Penerapan semangat (paradigma) HAM ke dalam kesadaran masyarakat IndonesiaIndonesiaIndonesia yang begitu kaya. membutuhkan proses yang tidak gampang. Di kepala masing-masing elite agama di kerap dilumuri oleh keyakinan yang menganggap agama dialah yang paling benar. Jika keyakinan ini diwujudkan menjadi praktik tindakan, imbasnya adalah pandangan dan sikap minor ketika melihat keyakinan kelompok lain yang berbeda. Aparatus negara mesti bisa mencegah pandangan dan keyakinan-keyakinan ini supaya sebisa mungkin tidak merusak mozaik keanekaragaman agama dan budaya di
Meskipun demikian, kegairahan menjalankan agama dan identitas budaya komunitas di Indonesia tidak perlu disurutkan. Misalnya begini, di sebuah komunitas yang secara kebetulan memiliki ikatan komunal yang kuat, relasi antara hak asasi berkelompok (communal rights) dan hak individu (individual rights) di dalam kelompok itu seringkali menimbulkan benturan satu sama lain. Restriksi individu seperti pernah disampaikan oleh Kymlicka menjelaskan pelanggaran kelompok terhadap individu-individu di dalamnya. Nah, dalam kasus seperti ini tidak mudah menjelaskan apakah suatu hak individu dilanggar bila dalam beberapa hal restriksi itu justru hasil “konsensus bersama”. Misalnya, pengucilan seseorang dari komunitasnya adalah bentuk restriksi internal sebagai hasil konsensus.
Hukum positif yang dikeluarkan negara tak dapat menjangkau masalah ini. Akan tetapi, jika aturan negara mesti diberlakukan untuk mengatur soal seperti kebebasan beragama dan menjalankan identitas budaya tertentu, kelak akan terkurung oleh berbagai aturan yang rumit. Ini mengingatkan tulisan yang diuntai oleh Indriaswati Dyah Saptaningrum ketika menyorot persoalan benturan antara semangat universal HAM dengan yang pelaksanaan di tingkat lokal partikular. Sebagaimana terpapar di buku Hak Minoritas. Multikulturalisme dan dilema negara bangsa, Indri melihat bahwa pelaksanaan penegakan HAM di Indonesia masih kerap terkurung oleh rangkaian teks-teks peraturan normatif di tingkat nasional, namun kurang operasional diterapkan di lapangan. Para penegak hukum di lapangan nyaris kehilangan wibawa ketika sabda/tafsir dari kelompok mayoritas menjadi acuan bersama untuk memberangus kelompok-kelompok sempalan.
Negara tidak ada cara lain kecuali mengedepankan dialog antar kelompok-kelompok yang berbeda dari segi agama dan budaya. Dialog ini diperlukan untuk meretas sikap eksklusif kelompok tertentu dalam memperlakukan anggotanya. Sementara itu, dalam hubungan antar komunitas, dialog penting untuk memberi pemahaman bagi hubungan antar kelompok agama dan keyakinan yang selama ini tidak pernah bersua. Sudah terlalu lama Indonesia menikmati perbedaan agama dan budaya sekadar sebagai laknat, dan bukan mukjizat. Paradigma penegakan HAM dalam soal kebebasan beragama tak mungkin hidup di tengah situasi seperti ini. Apakah kita akan membiarkannya? Desantara / Ingwuri Handayani