Bagai secepat kilat, Departemen Agama RI kini mempersiapkan sebuah RUU baru tentang Hukum Terapan Peradilan Agama bidang Perkawinan yang dalam prosesnya sudah sampai pada tahap penyempurnaan. RUU ini diarsiteki oleh Badan Pembinaan dan Pengkajian Hukum Islam (BPPHI) Depag di bawah koordinasi Prof. Dr. Mochtar Zarkasyi, Wakil Ketua BPPHI, dengan landasan realisasi amanat UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 yang menyatakan bahwa salah satu indikasi keberhasilan pembangunan nasional di bidang hukum adalah disahkannya UU Hukum Terapan ini.
Berdasarkan draf RUU yang dirumuskan dalam rapat Tim Kecil Anggota BPPHI tanggal 11 s.d 13 Juni 2003, rancangan ini disusun dalam kerangka untuk memberikan landasan hukum terapan bagi kompilasi hukum Islam (KHI) yang sejak tahun 1991 telah dijadikan pedoman oleh Peradilan Agama dalam mengadili dan memutuskan perkara. Berbeda dengan sebelumnya dimana KHI hanya dipakai acuan tidak mengikat dalam pengambilan keputusan, hukum terapan ini nantinya akan dipakai para hakim agama di seluruh Indonesia untuk memutuskan segala perkara menyangkut perkawinan secara mengikat.
Apakah RUU ini tidak bertumpang tindih dengan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan? Menurut draf ini, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan masih tetap berlaku sebagai undang-undang pokok/induk bagi semua warganegara. Sementara itu hukum terapan merupakan undang-undang derivasi yang berlaku khusus bagi umat Islam saja di bawah payung hukum induknya.
Namun demikian, dengan mengacu pada kompilasi hukum Islam, RUU Hukum Terapan ini banyak menyimpan masalah dan tidak menampakkan upaya pembaruan. Materinya berwajah konservatif, tidak mencerminkan asas pluralisme, diskriminatif, serta tidak mengakomodasi suara perempuan dan tuntutan kesetaraan gender. Konservatisme ini lahir karena paradigma yang dipakai adalah pola pikir klasik yang penuh nuansa patriarki dan pemahaman keagamaan yang eksklusif dan tekstualistik. Pola pikir seperti ini misalnya terungkap dalam pertemuan lokakarya yang dilakukan Depag dalam rangka penyempurnaan RUU Terapan di kantor Depag RI, 28 September 2003 lalu. Lokakarya yang dihadiri para pejabat Peradilan Agama di lingkungan Depag, akademisi dan tokoh ulama ini diadakan sedikit melibatkan kaum perempuan yang notabene paling banyak menerima konsekuensi dan dampak langsung dari penerapan hukum.
Ada kecenderungan dimana kalangan konservatif yang mendesain RUU ini menghendaki penerapan Syariat Islam secara kaku dan literer. Menurut Mochtar Zarkasih, peradilan agama merupakan pelaksana hukum Syariat Islam di Indonesia yang harus berinisiatif untuk memberlakukan syariat dalam wajah UU. Tapi celakanya, hampir seluruh materi perundang-undangannya ini mencerminkan pemikiran fiqih klasik yang sangat konservatif, bias budaya Timur-tengah, dan bias gender. Beberapa persoalan krusial ini termaktub, misalnya: tidak sahnya kawin beda agama (pasal 33); wali harus muslim dan tertutupnya wali perempuan (pasal 19) padahal perempuan memiliki jasa besar pada diri sang anak; saksi harus muslim dan tidak dimungkinkannya saksi perempuan (pasal 24); lalu hak menjatuhkan talak bagi laki-laki saja sementara perempuan tidak punya ruang untuk melakukan talak (pasal 111); masih dibukanya pintu poligami; tidak adanya upaya perlindungan terhadap kaum perempuan yang tampak pada ketentuan pidana terhadap kealpaan perempuan sementara perbuatan tercela laki-laki tidak dikenai ketentuan pidana; dan lain-lain.
Masalah-masalah tersebut di atas mengartikulasikan betapa dominasi paradigma agama yang konservatif begitu kuat,serta dominasi perspektif kaum laki-laki dalam menentukan sahnya perkawinan.
Ibu Musdah Mulia, staf Menteri Agama yang juga Ketua Pokja Pemberdayaan Perempuan Depag pun menilai RUU ini tidak demokratis dan mengundang kecemburuan. “Dengan RUU Terapan ini, umat Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan ratusan penganut kepercayaan akan menuntut hal yang sama”, katanya. “Justeru hal ini akan menimbulkan masalah dalam membangun pluralisme,” lanjut Musdah.
Selain itu, yang bermasalah dalam RUU Terapan ini adalah ia menciptakan ambiguitas dalam masalah pencatatan perkawinan. Mana yang dianggap sah, pencatatan sah menurut agamakah atau menurut hukum. Hal ini berlanjut ketika berhadapan dengan akte perkawinan, ketentuannya apakah sah menurut hukum agama atau sah sesudah dicatatkan. Ambiguitas ini sangat menghawatirkan karena hampir 40% perkawinan di masyarakat kita tidak dicatatkan. Artinya, lahirnya RUU ini akan menimbulkan banyak masalah berkaitan dengan nasib perempuan dan anak-anak mereka di kemudian hari, baik dalam hal perwarisan, perwalian, soal gono-gini, dan sebagainya.
Terkait dengan ini, Musdah menegaskan tentang pentingnya pencatatan dimasukkan dalam syarat sahnya perkawinan. Ia melandasi argumennya pada surat Al Baqarah ayat 182: “Idza tadayantum bidainin ila ajalim musamma faktubuhu” (jika kamu bertransaksi utang-piutang maka catatkanlah). Mengingat perkawinan adalah transaksi yang jauh lebih penting dari utang piutang, maka sudah seharusnya pula untuk dicatatkan. Dalam hal ini pemerintah pun semestinya menfasilitasi dan mempermudah, bukannya mempersulit dan membuatnya bertele-tele.
Dari sini memang ada kesan yang muncul dari lokakarya tersebut. Bahwa para pejabat dan birokrat Peradilan Agama tidak memahami masalah-masalah prinsipil dan paradigmatik dalam penyusunan undang-undang. Di samping tidak sejalan dengan arus demokratisasi yang menjadi agenda bangsa, RUU Terapan ini melawan prinsip pluralisme, mengabaikan kesetaraan dan keadilan gender, tidak sejalan dengan kaidah HAM yang telah diteguhkan dalam UU No 39 tahun 1999, melanggar konvensi hak sipil dan politik, serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta tidak mencerminkan realitas dan kemaslahatan bersama.
Adapun secara teologis, materi hukum terapan ini pun hanya mencangkok pandangan fiqih klasik yang konservatif dan kental nuansa budaya Arab yang patriarkis, tanpa mengontekstualisasikan dengan realitas dan budaya masyarakat kita yang beragam. Tidak salah kemudian bila KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU) menyatakan, RUU Hukum Terapan ini bisa merapuhkan bangunan kebangsaan kita. Jadi, perlu reformasi! Desantara-[Mh. Nurul Huda, Anisa Rahmawati]