Dalam ilmu-ilmu sosial yang berbicara tentang pengetahuan atau kognisi, ada dua disiplin besar, yakni psikologi dan antropologi. Psikologi memandang bahwa pengetahuan didapatkan dari proses perkembangan subjek sendiri. Antropologi melihat bahwa pengetahuan diperoleh dari proses kultural.
Teori kognisi ini kalau ditelusuri ke belakang, menemukan akarnya pada perdebatan antara David Hume dengan Immanuel Kant. Hume melihat bahwa pengetahuan merupakan pemecahan individu terhadap problem alamiah yang dihadapi individu tersebut ketika berhubungan dengan lingkungan dan orang lain.
Pandangan ini disanggah Kant yang menegaskan bahwa manusia sebenarnya terpaksa di dalam memilih sistem kognitif tertentu. Manusia secara a priori memiliki sistem kategori sebanyak dua belas kategori yang menjadi basis kognitif manusia dalam berhadapan dengan dunia. Jadi, ia tidaklah sebebas seperti yang dikira Hume.
Dalam teori sosial, pandangan Kantian ini diwarisi oleh Durkheim yang melihat bahwa pengetahuan diperoleh dari masyarakat, dari proses sejarah yang diciptakan secara kolektif. Dalam proses sejarah ini terdapat pola-pola tingkah laku manusia yang merupakan bentuk eksternal dari norma-norma, adat-istiadat, dan tradisi. Pola-pola itulah yang kemudian menjadi fakta sosial. Bagi Durkheim, sebab penentu fakta-fakta sosial ini harus dicari di antara fakta-fakta sosial yang mendahuluinya bukan di antara keadaan-keadaan kesadaran individual. Marx juga mewarisi pandangan Kantian tentang kognisi. Namun Marx melihat bahwa ada dua proses yang berkaitan dengan peristiwa konstruksi pengetahuan. Proses yang pertama adalah pengetahuan ideologis, yakni sistem pengetahuan yang melegitimasi social order dengan menempatkan otoritasnya yang melanggengkan dominasi atas yang didominasi. Ringkasnya, pengetahuan ini adalah pengetahuan yang membalikkan proses sehari-hari. Sementara proses yang kedua adalah proses adaptasi kognitif yang merupakan proses kognisi non-ideologis. Pengetahuan ini adalah pengetahuan yang bersifat sehari-hari.
Seturut dengan Durkheim, para antropolog semacam Evans-Pritchard, Needham, maupun Sahlin juga menggemakan pandangan yang relatif mirip berkaitan dengan sistem kognitif. Pandangan mereka ini terserap dalam teori antropologi cukup kuat. Sistem kognitif dilihat sebagai prinsip-prinsip metafisik yang meringkaskan dan mensintesiskan yang tersurat terutama dalam ritual. Praktek-praktek ritual ini selain dilihat sebagai prinsip abstrak yang mengatur sistem, ia juga dianggap bersifat non-individual dan bersifat koheren secara internal. Di titik ini, kesimpulan teori antropologi tentang kognisi agaknya bisa ditarik, yakni tekanan pada historisitas dan kekhususan budaya.
Pandangan teori antropologi di atas cukup berlawanan dengan pandangan psikologi perkembangan tentang kognisi. Yang terakhir ini melihat bahwa pengetahuan merupakan hasil dari interaksi seseorang dengan lingkungannya bukan sebagai proses non-individual yang misterius. Aspek proses non-individual ini, jelasnya adalah hasil proses komunikasi itu sendiri. Proses ini dimungkinkan oleh pengalaman yang dialami dan dibentuk bersama melalui proses neurologis. Ringkasnya, pengetahuan ini terbentuk dari kombinasi aktif antara dunia sebagai fenomena eksternal dengan dunia sebagai fakta biologis secara internal. Namun, Piaget, tokoh psikologi perkembangan, melakukan upaya unik yang mencondongkan sisi psikologis ke arah antropologi. Ia menerima sekaligus memperbarui pandangan para strukturalis tentang budaya. Baginya struktur yang dilihat sebagai pemolaan statis dari kognisi—pandangan para strukturalis—tidaklah diserap anak secara begitu saja. Anak juga membentuk struktur-struktur tertentu sesuai proses perkembangan kognitif yang dijalaninya. Tepat di titik ini, persoalan yang lantas menghadang adalah bagimana proses kognitif individual ini berhadapan dengan berbagai macam ragam sistem kognitif yang datanya tersedia luas di kalangan antropolog.
Keruwetan antara teori kognitif psikologi dan antropologi inilah yang berusaha dijembatani dengan brilian oleh Bourdieu. Ia melihat bahwa pandangan psikologi tentang pengetahuan yang terbentuk dari proses perkembangan kognitif bisa dibenarkan sesuai dengan argumen-argumen kaum psikologi perkembangan. Namun, ia juga melihat bahwa kaum antropolog pun benar karena lingkungan yang turut berperan membentuk sistem kognitif toh terorganisasi secara kultural.
Pandangan Bourdieu ini cukup membekas dalam kepada “geng” antropologi Inggris yang lantas menegaskan bahwa pengetahuan diperoleh bukan dari satu sumber semata. Ada banyak sumber yang bisa mempengaruhi konstruksi pengetahuan. Bloch misalnya, dengan memasukkan pandangan Marxian ke dalam antropologi, melihat bahwa pengetahuan merupakan pengendapan dari berbagai proses yang berbeda-beda yang berinteraksi satu sama lain. Dalam hal ini, aspek ideologi turut berperan dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut. Persoalan ideologi inilah yang selama ini sepi dari perhatian para antropolog Inggris.
Sampai di sini, ada beberapa pertanyaan mendasar yang muncul. Pertama, proses macam apa yang bisa membawa pada pembentukan ideologi sebagai fenomena subjektif individual? Kedua, bagaimana proses tersebut berinteraksi dengan proses pembelajaran dari interaksi dengan lingkungan? Ketiga, darimanakah ideologi mendapatkan kekuasaannya? Terakhir, bagaimana ideologi ini terbentuk secara historis?
Untuk menjawab hal ini, kita mesti melayangkan cakrawala pada apa yang dinamakan agama. Agama merupakan persoalan yang pelik di masyarakat non-industri. Hal ini karena ia tak bisa diidentifikasi secara empiris. Masyarakat non-industri ini tidak memiliki ranah kehidupan yang bisa ditandai secara tegas sebagai agama. Itulah sebabnya, para antropolog menghubungkan agama dengan sejenis aktifitas yang disebut dengan ritual. Di sinilah Bloch menganggap ritual merupakan proses di mana ideologi diciptakan baik secara individual maupun historis. Bagaimana ideologi melegitimasi, melembagakan untuk kemudian memberikan otoritas terhadap kekuasaan. Di sini kita menyentuh persoalan sentral, bagaimana ideologi bisa terbangun secara subjektif melalui ritual dan apa hubungan ideologi dengan kognisi non-ideologis.
Sementara umumnya disepakati bahwa ritual merupakan proses umum beralihnya satu bentuk representasi dunia ke representasi lainnya, namun perlu dilihat juga bahwa proses ritual memindahkan kita dari satu tipe fenomena ke fenomena lain, dari kognisi non-ideologis ke ideologi. Bloch secara brilian berusaha menjelaskan persoalan ini dengan meminjam dari pemikiran Van Gennep dan Victor Turner. Bagi Bloch, Van Gennep ketika membahas ritual hanya mengungkapkan tentang ritual sebagai proses peralihan. Untuk itu, pemikiran Van Gennep ini mesti dilengkapi dengan pemikiran Victor Turner yang lebih jauh membahas tentang proses ritual itu sendiri. Bagi Turner dalam ritual itu ada tiga tahapan. Tahapan pertama adalah proses pemisahan yang diikuti oleh tahapan liminal (antara) yang lantas disusul oleh tahapan terakhir, proses reintegrasi. Ringkasnya, struktur—anti-struktur—struktur lagi. Berubahnya struktur menjadi struktur lagi inilah yang membentuk relasi pengetahuan non-ideologis dengan ideologis. Berangkat dari sini, kesimpulan yang muncul agaknya cukup menghentak, bahwa ritual memapankan ideologi.
Ada dua ritual yang sangat umum terdapat di masyarakat-masyarakat pra-kapitalis, yakni perkawinan dan sunat. Ini terlihat jelas dalam kasus masyarakat Merina di Madagaskar yang menjadi studi lapangan Bloch (1978). Kasus ini sangat menarik dalam menggambarkan peralihan dari struktur ke anti-struktur ke struktur lagi. Dalam kasus ritual perkawinan masyarakat Merina misalnya. Ritual perkawinan itu diawali dengan penegasan tentang kenyataan bahwa karena pihak pelamar laki-laki merupakan pemenang dalam transaksi perkawinan, maka pihak pelamar adalah pihak yang superior. Namun hal ini segera dibalik dengan atmosfer lelucon yang mengolok-olok sebagai perlawanan tegas yang diwujudkan dalam semangat hiburan dan mengusik. Di tahap kedua ini pihak perempuan yang dilamar nampak sebagai kelompok yang superior karena menjadi pihak ‘pengambil laki-laki’. Tahap kedua ini lantas digantikan dengan tahap ketiga yang dijalankan dengan upacara yang khidmat. Di sini kedua belah pihak dilihat setara dan jadi wadah keberkatan karena tetua-tetua kedua belah pihak bergabung.
Tahapan-tahapan proses ritual yang sama bisa dilihat juga dalam ritual penyunatan. Tahap pertama ditandai ketika ibu mendapatkan anak dan anak itu diasuh oleh ibunya, di sini tak ada masalah. Anak bergaul secara biasa dengan ibunya dan condong padanya dalam kehidupan sehari-hari. Di sini terlihat bagaimana fakta alamiah secara psikologis membentuk sistem kognisi.
Pada tahap kedua, yakni ritual penyunatan, peran perempuan dihinakan. Secara simbolik diperkosa. Peran ibu yang superior disanggah. Legitimasinya disangkal. Namun, hal ini terlihat alamiah. Dalam ranah sistem kognisi, ritual ini merupakan serangan pada kognisi non-ideologis sendiri. Tak pelak, terjadilah kondisi chaotic dan liminal. Inilah tahap anti-struktur. Adanya tahapan ini, dengan sendirinya membutuhkan tahap ketiga, tahap yang membutuhkan kehadiran struktur lain. Tahap ketiga ini justru inheren dalam ritual sendiri yang terungkap dalam komunikasi yang paling diritualisasikan. Ia dibangun lewat medium yang alogis, karenanya samar-samar dan kabus. Hal ini bisa teringkas dalam istilah singkat ‘nenek moyang telah melakukannya’. Segala sesuatu dianggap berada pada tempatnya dan pemegang kekuasaan tetap menjadi sumber segala sesuatu. Jadi, ketika di tahap awal anak cenderung ke ibu, di tahap ketiga anak menjadi cenderung ke ayahnya. Di sinilah tahap ketiga merupakan tahap yang memproduksi citra ideologi. Di level kognisi yang ideologis ini pengetahuan yang dibentuk menegasikan pengalaman sehari-hari. Ciri khasnya adalah adanya kecenderungan teleologis.
Dari gambaran tentang ritual ini, ideologi secara analitis bisa kelihatan jelas perwujudannya. Ia menjalankan fungsi sosial. Selain itu, ada segi paling khas dari ideologi, yakni stabilitas. Ia bisa bertahan hampir secara total terlepas dari variasi historis dan geografisnya. Ideologi bersifat recoverable. Ia bisa diinvensi kembali dengan upaya menghadirkan kembali masa lalu. Tak pelak, ritual adalah proses yang ideologis. Ia merupakan pengetahuan/pengalaman yang mengkhianati proses sehari-hari. Di sinilah ritual menjadi simbol berperan membatasi dan menjadi institusi penting. Dan, bicara simbol, kita lebih bicara tentang wilayah nir-sadar.
Sampai di sini, Bloch mencuatkan kritik terhadap konsepsi Marx tentang kesadaran yang terbelah dua: kesadaran palsu – kesadaran kritis. Bahwa kognisi kita lebih banyak bermain di wilayah nir-sadar sendiri. Terbukti dengan berbagai ritual yang mengelilingi dan lantas menubuh di diri kita Desantara / RB