Ketika anda berjalan di sepanjang jalan Jaksa, Jakarta Pusat, pada malam hari anda akan melihat jejeran café-café dan warung-warung tenda [yang memajang kain lebar dengan tulisan-tulisan] seperti, fast-food Pecel Lele, Nasi Uduk dan lainnya. Hal yang sangat menarik dan perlu dicatat adalah pengunjung hampir semuanya turis asing yang berasal dari berbagai belahan dunia seperti Australia, Inggris, India dan berbagai negara lainnya. Para pengunjung begitu banyak dan antri bak di mal-mal, sehingga sepanjang jalan Jaksa penuh dengan parkir mobil-mobil pribadi.
Bagi orang yang kebetulan melewati jalan tersebut, hal ini tentu saja akan menimbulkan pra-anggapan bahwa makanan di jalan Jaksa adalah makanan kalangan high class meskipun nyatanya adalah makanan orang lokal. Tapi yang menjadi pertanyaan, kenapa para bule tersebut tidak makan di McDonald’s saja? Padahal tak jauh dari jalan Jaksa tersebut, kira-kira 200 Meter, terdapat restoran fast food McDonald’s, tanda kebudayaan yang “global” dan “modern”, yang buka 24 jam. Pengunjung resto McDonald, yang akrab di lidah kaum muda urban dengan sebutan pendek “McD”, itu justru nyaris semuanya orang lokal atawa orang Indonesia sendiri. Ini bisa dilihat dan dibandingkan juga dengan resto fast food lainnya seperti Hoka Hoka Bento, Pizza Hut, dan Texas Fried Chicken yang sebagian besar dipenuhi oleh orang-orang Indonesia dengan tingkat ekonomi menengah (ke atas).
Kenyataan semacam ini menggambarkan bahwa memakan sajian dari suatu warung atau resto bukanlah semata nyam-nyam-nyam begitu saja. Ada nilai sosial dari tindakan semacam ini. Yah, buat apa orang-orang Indonesia susah-susah makan di McD dan resto-resto fast food lain kalau urusannya hanya mengisi perut. Ada persoalan “identitas” dan “gaya hidup” yang bermain di sini, selain juga persoalan selera dan citarasa. Kalau sekedar mengisi perut yang keroncongan kenapa tidak ke warung Pecel Lele atau Nasi Uduk saja, tapi malah ke McD. Sebaliknya, mengapa justru orang-orang asing jarang yang ke McD dan warung-warung waralaba lainnya untuk sekedar makan, setidaknya ini tersirat dari kasus jalan Jaksa tersebut. Di sini bisa dikatakan bahwa ada perbedaan dalam selera dan citarasa mereka sehingga memilih McD atau Pecel Lele. Pertanyaan konyol bisa saja dilemparkan di sini, tidakkah lidah orang Indonesia lebih Eropa/Amrik sementara lidah orang-orang asing itu lebih Indonesia? Buktinya orang Indonesia ke McD sementara orang-orang bule itu justru ke warung-warung tenda.
Dari sini setidaknya dalam benak kita akan terbersit tanda tanya, ada pergeseran fungsi dan makna makanan rupanya? Makan sebagai tindakan mengisi perut terkait erat dengan makanan apa yang dimasukkan memiliki makna. Di sinilah teks mak(a)na(n) dan makan(an) menjadi tanda yang memiliki makna sosial dan semiotis. Bahwa makan(an) dan citarasa itu menunjukkan identitas, gaya hidup, dan strata sosial-ekonomi. Persoalan-persoalan ini tak pelak berkait erat dengan konstruksi kebudayaan.
Dalam sejarah kebudayaan tercatat bahwa kaitan antara makan(an) dan tubuh sesungguhnya tidak sekedar seperti – ibaratnya – bensin terhadap sebuah mobil. Kemajuan zaman dengan keketatan dan kedisiplinan pengaturan jadwal gaya hidup modern di kota (sekolah, kantor, pabrik dan lain-lain) tampaknya telah mempengaruhi, bukan sekedar hal bagaimana orang mesti menyantap makanan, melainkan juga tentang apa yang dimakan dan seberapa banyak jumlahnya. Gaya hidup modern dan industrious yang memahami tubuh lebih sebagai “SDM” (Sumber Daya Manusia) akhirnya cenderung mementingkan standardisasi mutu dan gizi makan(an). Standardisasi tersebut selanjutnya akan mensyaratkan pengawasan, pengaturan, kelayakan, dan variasinya (Primariantari: 1998). Itulah sebabnya dengan menerapkan standardisasi—selain juga komodifikasi dan massifikasi—global dalam produknya, pun tak kalah pentingnya memproduksi mitos-mitos dan citra-citra, perusahaan-perusahaan MNC macam McD dkk bisa menancapkan kuku di berbagai belahan dunia. Standardisasi bertujuan menyamakan dan menyeragamkan. Padahal katanya selera dan rasa itu tidak bisa disamakan. Dan, meski samar, bagaimanapun suara yang tak mau sama dan seragam toh bisa keluar juga.
Berkaitan dengan standardisasi ini, isu pengawasan, pengaturan dan kelayakan makanan pernah menjadi perdebatan nasional. Ketika krisis ekonomi mulai menghantam Indonesia, pertengahan tahun 1997, pemerintah Orde Baru misalnya pernah mengeluarkan Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS). Program ini melibatkan 49.000 SD di 27 provinsi di Indonesia dengan siswa sebanyak 7,4 juta orang dengan alokasi dana sebesar 260 miliar rupiah untuk tahun 1997-1998. Dilaporkan bahwa selain untuk meningkatkan prestasi belajar melalui perbaikan gizi dan kesehatan anak sekolah, program ini juga bertujuan untuk menanamkan rasa nasionalis melalui gerakan ACMI (Aku Cinta Makanan Indonesia) ( L.S Realino: 1998). Nampak di sini bahwa makan pun bisa menjadi tindakan politik atau the political.
Dalam ranah studi kebudayaan kontemporer (cultural studies) ada usaha menyingkap berbagai hal dalam proses produksi, reproduksi dan distribusi sampai ke proses identifikasi melalui simbol-simbol, citra-citra dan mitos-mitos yang dimanfaatkan untuk mencari ruang-ruang, di mana kreatifitas individu masih bisa bermain. Contoh sederhana tentang kesadaran akan realitas virtual ini terdapat di jalan Jaksa, “Awalnya hanya warung nasi biasa (sederhana, red.) dengan menu Indonesia,” ungkap Ibu Sri Mulyani, selaku manajer Café Papa, ketika ditanya tentang mengapa ia menamakan “warung”-nya dengan sebutan café. Perempuan keluaran PGTK dan DII jurusan Sekretaris ini menuturkan warungnya berubah format menjadi café kira-kira sekitar tahun 1998-an, “Itu pun awalnya kita tidak tahu seperti apa bentuknya.” Apakah yang dinamakan café itu pakai tenda, atau seperti yang ada di sekitar Plaza Senayan, Bu Mulyani tak tahu persisnya. Yang jelas, setelah berubah menjadi Café, pengunjung semakin banyak, daya beli dan harga semakin meningkat, serta agak naik prestisenya.
Kalangan konsumen beragam, kata Bu Mulyani, baik orang Indonesia sendiri maupun orang asing. Ada yang jadi pelanggan tetap dan pelanggan baru yang berdatangan dari manca negara seperti, Australia, Inggris, dan India. “Mereka kebanyakan profesinya sebagai Pengusaha dan Pengajar atau Guru bahasa Inggris.” Dalam memilih menunya turis-turis asing itu lebih suka masakan Indonesia dan Indian food, sedangkan minuman favoritnya Es Kacang Sulawesi, dan terkadang ada yang pesan minuman Bir. Ironisnya, pelanggan Domestik lebih senang pesan makanan Eropa. Dari gambaran ini terlihat ada kejanggalan atau sudah terjadi adanya pergeseran selera makan(an).
Dalam perbincangan mengenai selera makan(an) di antara orang Indonesia, barang kali masih ada yang percaya dengan stereotip bahwa lidah Jawa suka dengan yang manis dan sementara lidah Sumatera suka dengan yang pedas. Stereotipcitarasasolidaritas mekanis melalui “selera” (lidah) (Monika Eviandaru, dkk: 2001). semacam ini menegaskan bahwa dalam persoalan makan(an) sebenarnya komunitas-lah yang menentukan makan(an) bagi individu-individu – sebuah upaya untuk membangun
Dalam kasus jalan Jaksa terlihat bahwa persoalan selera itu terkait dengan citra, mitos, gaya hidup, dan identitas. Jalan Jaksa mampu menarik pengunjung turis asing, yang tak kenal waktu, siang dan malam. “(Entah,) apakah ini karena harga yang relatif murah untuk hitungan kota Jakarta, seperti tarif makan seharga Rp 8.000 – 25.000 dan tarif minuman Rp 2.500 – 8.500 rupiah,” ungkap Indra, selaku pelayan Café Papa, asal Bogor. Atau ada sebab lainnya? Ternyata setelah ditelusuri selain tersedia makan(an) khas Indonesia, di sana tersedia penginapan atau losmen. Ini terungkap dari penuturan Hj. Surani, asli Betawi, yang berjualan makanan dengan membuka warung tenda (malam) di sekitar jalan Jaksa selama kurang lehih dua tahun. Omzet perharinya rata-rata Rp 150.000 rupiah dengan harga makanan Rp 3.000 – 5.000 per porsinya.
Dari perbincangan yang kami lakukan dengan sebagian pelanggan tersebut di saat-saat makan, kebanyakan dari mereka ini rata-rata menganggap tempat tersebut sebagai tempat transit. Ada yang mau ke Bali, Kalimantan, dan Batam. Itu sebabnya satu atau dua minggu mereka bisa menghilang dan kemudian datang kembali. Selain makan, di antara mereka ada juga yang melakukan aktifitas transaksi barang-barang antik. Ini hampir sama dengan yang dipaparkan o
leh Alam, asal Toraja, Sulawesi Utara. Aktifitas sampingan kesehariannya adalah berdagang rokok di gerobak, selain sering melakukan transaksi barang antik dengan turis. “Omzet per bulannya sampai sepuluh juta,” katanya. Nampak juga di sini bahwa fungsi makan(an) bukan lagi sebagai kebutuhan perut, tapi sudah menjadi medium bisnis.
Sejauh ini terlihatlah bagaimana makan(an) – justru sebagai salah satu bentuk dorongan paling instingtif – tidak selalu dapat terisolasi sebagai ruang yang sangat individual dan atau semata-mata soal “perut”. Makan(an) pada saat yang sama adalah simbolisasi dari berbagai “pesan-pesan” sosial yang dapat dilekatkan dengan sangat “alami”, sealami proses konstruksi sosial yang dapat membuat kita merasa makan dengan “lebih sopan” bila menggunakan piring, sendok dan garpu. Desantara-Very Verdiansyah dan Riza Bahtiar Tabalong