Riza Bahtiar, Associate Desantara; tinggal di Kalimantan Selatan
Buku karya Bassam Tibi, Islamism and Islam baru-baru ini saja saya tamatkan. Buku ini rupanya sudah sembilan tahun umurnya. Ia diterbitkan dalam bahasa Inggris pada 2012. Buku ini diterjemahkan oleh Penerbit Mizan ke bahasa Indonesia dan terbit pada 2016. Artinya di Indonesia buku ini usianya sudah lima tahun. Saya saja yang rupanya ketinggalan dalam dunia perbukuan. Tapi, bagaimanapun, lebih baik ketinggalan daripada tak ikut sama sekali.
Saya membaca buku Tibi ini dalam versi bahasa Inggrisnya. Alasannya pertama, bukan karena tidak mampu beli buku terjemahannya, tetapi, akibat banyaknya e-book gratisan yang dapat dengan mudah diunduh di dunia maya. Tentu saja, di dunia maya versi buku-buku yang ada yang paling banyak adalah yang berbahasa Inggris. Selain itu, alasan kedua, saya sekarang sudah jarang beli buku. Buku terakhir yang saya beli adalah Menyulut Api di Padang Ilalang karya M. Iqbal, sejarawan muda nan berbakat. Ironisnya, buku itu hingga kini belum habis saya baca.
Buku Islamism and Islam bagi saya sangat menarik karena mengajukan tesis paling menggemparkan dan menyakitkan. Menggemparkan bagi tradisi akademik Barat, menyakitkan bagi kalangan Islamis. Hemat saya buku Tibi ini betul-betul menerobos kebuntuan dalam teori Totalitarianisme kontemporer. Sejatinya, sudah tak terhitung buku-buku yang mengulas bagaimana totalitarianisme modern yang terwujud dalam fasisme dan komunisme.
Buku-buku bertema totalitarianisme membanjir karena pengaruh yang tak terbantahkan dari karya Hannah Arendt, yang menelusur secara komprehensif akar-akar, ideologi, gerakan, sampai saat berkuasa (ruled) suatu versi totalitarianisme sehingga dia beri judul Origins of Totalitarianism (Asal-Mula Totalitarianisme). Buku Arendt ini sudah berusia hampir tiga perempat abad. Terbit pada 1951, berarti buku ini berusia tujuh puluh sudah. Arendt menulis buku tersebut perisis kala Fasisme telah takluk dengan matinya Hitler dan Perang Dunia II sudah berakhir, tetapi Stalin masih hidup dan berkuasa untuk lesap dua tahun berikutnya (Stalin mati pada 1953). Arendt adalah penyintas Holocaust di mana sekira enam juta orang Yahudi terbunuh oleh rezim Hitler.
Perlu dicatat bahwa rupanya kalangan kiri atawa leftist tak suka dengan teori totalitarianisme. Alasannya karena komunisme didudukkan satu bangku dengan fasisme. Bagi Kiri ini jelas sebuah penghinaan karena komunisme berbeda dengan fasisme terutama dari landasan filosofisnya. Bubarnya Uni Soviet pada 1989, bikin sejarawan kritis dapat ruang baru dalam menulis sejarah karena pandangan-dunia komunis bisa dilihat dalam terang yang lebih imbang dan lepas dari binerisme Perang Dingin (untuk tak menyebut takut dapat intimidasi kaum kiri). Karenanya buku-buku yang lebih tajam memperbandingkan struktur maupun gerakan dari komunisme dengan fasisme banyak bermunculan. Tapi, begitulah, totalitarianisme dalam diskursus intelektual Barat hanya dihuni oleh ideologi komunisme dan fasisme.
Kehadiran Bassam Tibi menambah list ideologi yang masuk kategori totalitarianisme. Dia memasukkan satu kategori terbaru dalam totalitarianisme, yakni Islamisme. Betul, Islamisme adalah varian totalitarianisme nan muncul pasca Perang Dingin bubar. Buku Islamism and Islam karya Tibi adalah penyegaran atas tesisnya tentang totalitarianisme Islamisme yang sudah lebih dulu dia tulis sekira delapan tahun sebelumnya.
Ya, Bassam Tibi menulis buku tentang totalitarianisme baru bernama Islamisme ini pada tahun 2004. Artinya sudah tujuh belas tahun tesis ini berumur. Sayangnya Tibi menulis dasar filosofis totalitarianisme Islamisme ini secara mendalam dalam bahasa Jerman, Der Neue Totalitarismus: Heiliger Krieg und westliche Sicherheit. Berkat Google translate terjemahannya bisa didapat dengan mudah yakni Totalitarianisme Baru: Perang Suci dan Keamanan Barat. Saat menulis artikel ini, saya masih berusaha menamatkan buku tersebut. Sebuah usaha yang berat karena harus membacanya dalam bahasa yang tak terlalu saya akrabi, bahasa Jerman. Google Translate sangat membantu, tetapi, tetap saja struktur gramatikal bahasa Jerman musti diketahui dasar-dasar umumnya. Dan, menariknya, belajar struktur bahasa Jerman membawa saya pada dunia yang lain.
Saya jadi tahu bahwa Mark Twain, sastrawan kaliber dunia yang bahasa native alias bahasa ibunya yakni Inggris, sempat merasa putus asa kala belajar bahasa Jerman. Tetapi, dia tak putus asa dan belakangan menulis Awful German Language (Bahasa Jerman nang Menakutkan), buku tentang orang Inggris yang belajar bahasa Jerman. Saya belum tamat baca buku itu, lagi-lagi, tetapi secara ringkas di buku itulah Twain menyebut bahwa bahasa Jerman itu ibarat tabung silinder berbentuk oktagon. Satu permukaan berbeda dengan permukaan lainnya, hingga ada delapan permukaan yang berbeda. Ungkapan oktagon dipakai Twain untuk menunjuk ihwal perubahan kata dalam bahasa Jerman.
Bahasa Arab menyebut perubahan ini dengan tasrif. Bahasa Jerman memberikan jenis kelamin untuk kata. Ini sama dengan bahasa Arab yang memberikan dua kelamin yakni mudzakkar (maskulin) dan mu’annats (feminin). Bahasa Jerman lebih jauh lagi, bikin tiga kelamin untuk kata-kata. Maskulin, feminin, dan neuter. Perubahan kata dalam kalimat terkait dengan jenis kelamin kata-kata tersebut. Kalakian, Twain mau bilang, bila anda menganggap bahasa Inggris itu susah, percayalah bahasa Jerman lebih susah lagi.
Omong-omong tentang kesulitan bahasa, saya jadi teringat tulisan Cak Nur tentang level kesulitan bahasa. Bila saya tak keliru ingat, dari yang paling sulit hingga agak mudah, secara berurutan dia susun begini: Arab, Yunani, Latin, Sansekerta, dan Inggris. Dia menempatkan bahasa Arab di jajaran paling depan sementara bahasa Inggris nomor lima. Saya tidak tahu darimana Cak Nur dapat susunan ini, tetapi, bagi saya yang mengganjal dari susunan tersebut adalah kenapa bahasa Perancis dan juga Jerman tidak masuk dalam urutan lima besar tersebut. Padahal Mark Twain saja jatuh bangun mempelajari bahasa Jerman.
Kembali ke buku latar belakang buku Islamism and Islam, wawasan kita akan lebih lengkap bila melihat konteks bagaimana kehadiran buku yang mendahuluinya yakni Der Neue Totalitarismus dilatarbelakangi oleh kegusaran Tibi tentang salah pahamnya orang-orang Eropa Daratan maupun Amerika Serikat mengenai fenomena 9/11 pada 2001 yang dibuntuti Perang Irak 2002. Saat Amerika sebagai pembalasan dendam atas peristiwa 9/11 melantangkan seruan “Perang atas Terorisme”, Eropa merutuki bahwa itu adalah “darah untuk minyak”. Edward Said sendiri menyebut peristiwa 9/11 adalah tindakan geng orang-orang gila. Menteri Luar Negeri Saudi menyebut bahwa 9/11 adalah aksi konspirasi Yahudi. Beberapa pemimpin Muslim menyebut bahwa aksi itu tak dibenarkan agama dan pelakunya bukan muslim. Ada ketidakpahaman mendasar di kalangan orang-orang Eropa terhadap fenomena yang terjadi di dunia Islam dan itulah alasan utama mengapa Tibi menulis buku Der Neue Totalitarismus. [ ]