Sebagai masyarakat komunal, Sedulur Sikep sering ditayangkan sebagian kisah kehidupannya di berbagai media, baik media tulis maupun televisi. Sayangnya, ada sebagian media yang menuliskannya secara sepotong-potong, bahkan kadang salah tangkap dalam menafsirkan sisi kehidupan mereka. Celakanya, kesalahan seperti ini terus berulang lantaran tidak ada feedback dari komunitas yang hendak direpresentasikannya, pun juga akibat media yang terlalu berat pada orientasi nilai jual.
"Sedulur Sikep seharusnya menjadi tuntunan, bukan tontonan," demikian bunyi pernyataan Gunretno yang kerap disampaikan ke beberapa wartawan. Namun, maksud pernyataan itu justru diabaikan dalam proses pembuatan film berjudul, "Lari dari Blora". Sang penulis skenario, Akhlis Suryapati, mencukil kehidupan Komunitas Samin yang berada di Blora. Aku penulis, Blora adalah pusat permukiman warga Sedulur Sikep. Padahal jika dilihat dari sejarah masyarakat Sedulur Sikep, Blora merupakan sejarah cikal bakal dari adanya penyebaran masyarakat Sedulur Sikep ke beberapa wilayah sampai ke Kudus dan Pati. Yang kemudian secara komunal, keberadaan Sedulur Sikep dalam konteks kekinian justru lebih eksis di wilayah Pati. Dengan begitu, kurang tepat kiranya mengidentikkan Sedulur Sikep berada di wilayah Blora.
Pembuatan film Lari dari Blora sejak awal sudah melukai komunitas Sedulur Sikep. Pertama, sesepuh sedulur sikep, Mbah Tarno, diklaim telah memberi ijin atas proses pembuatan film tersebut. Padahal faktanya tidak demikian. Tak urung, hal itu akhirnya mengundang kegelisahan pihak Masyarakat Sedulur Sikep. Hampir semua Sedulur Sikep di Pati, khususnya di Dusun Bombong, Desa Baleadi, Kecamatan Sukolilo, Pati, tidak merasa bahwa sesepuh mereka merestui proses pembuatan film ini. Klaim sepihak bahwa kru film yang pernah berkunjung ke Mbah Tarno tidak bisa dijadikan bukti bahwa mereka telah diberi ijin. Praktek klaim ini tidak lepas dari perilaku elite modal (production house) bersama perilaku elite politik (pemerintahan daerah), yang selalu menggunakan politik 'restu' sebagai alat legetimasi dalam merealisasikan kepentingannya.
Kedua, persoalan isi (content) dalam film tersebut. Permasalahan isi ini berkaitan dengan problem representasi, baik yang terdapat pada identifikasi simbol dan tokoh, serta permasalahan stigma-stigma positivistik terhadap penggambaran masyarakat lokal Sedulur Sikep. Salah satu keyakinan masyarakat Sedulur Sikep sendiri merupakan refleksi terhadap kenyataan yang seutuhnya (sak utuhe), sehingga beberapa individu di Sedulur Sikep sendiri tidak meyakini adanya bentuk representasi khususnya dalam media visual. Jika direfleksikan lebih jauh, maka pada dasarnya masyarakat Sedulur Sikep bisa ditafsirkan sebagai masyarakat komunal yang lebih meyakini perilaku (lakon) sebagai manifestasi nilai, dibandingkan manifestasi keyakinan yang sekedar artistik atau simbolik. Contoh paling stigmatik dalam film ini adalah masih adanya penyebutan orang Samin sebagai identifikasi dari masyarakat yang menganut ajaran Mbah Samin Surosendiko, bukan Sedulur Sikep. Kemudian kisah-kisah dalam film tersebut sedikit menyuguhkan adegan erotis, kepolosan Sedulur Sikep dan adegan-adegan yang mempertontonkan komunitas Samin sebagai masa lalu yang penuh romantisme; tradisional, sederhana, komunal dan lain-lain. Film ini dianggap terlalu banal karena miskin riset dan bahkan skenarionya sendiri terlihat tidak memahami dinamika Sedulur Sikep yang ada saat ini.
Ketiga, permasalahan etika antara pihak pembuat film Lari dari Blora dengan beberapa masyarakat pekerja tambang kapur di wilayah Kedung Winong Sukolilo Pati. Sejumlah penambang yang ditemui oleh Desantara mengatakan bahwa proses produksi film Lari dari Blora yang menggunakan lahan penambangan tempat mereka bekerja sebagai tempat pengambilan gambar (shooting), mengakibatkan mereka tidak dapat bekerja. Proses produksi film tersebut hanya memberikan kompensasi uang sebesar 20 ribu rupiah kepada para pekerja tambang yang dijadikan peran figuran. Sisanya, para pekerja tambang yang tidak dilibatkan dalam peran figuran film Lari dari Blora tidak mendapatkan kompensasi apapun. Padahal jam kerja mereka selama sekian hari harus terhenti karena proses produksi. Dampak lainnya juga dialami oleh para pekerja tambang di sekitarnya –yang lahannya tidak dijadikan sebagai tempat shooting– karena terganggu oleh lalu lalang orang-orang yang menonton proses produksi film tersebut.
Desantara / Akbar Yumni . klik disini untuk tulisan terkait…