Belajar dari Nagari

Apa yang pernah dicanangkan pemerintah orba sebagai penyeragaman dalam kehidupan politik maupun kebudayaan ternyata benar-benar memperlihatkan kesuksesannya. Dan itu tidak hanya mengena soal sistem politik yang sentralistik dimana aspirasi lokal tak mendapatkan tempat, atau berbagai kesenian yang dikontrol oleh estetika dan etika pusat (Taman Mini-isasi) sehingga unik-unik lokal terpental, atau cara-cara orang berbicara dan mengartikulasikan diri. Penyeragaman itu juga mengena pada bagaimana komunitas etnis menata struktur sosial sendiri dimana seluruh tata-cara pengaturan hidup dan kehidupan kelompok diatur dalam skala mikro demi kesejahteraan dan ketenteraman bersama.

Catatan etnografi dari berbagai daerah di Indonesia, memberitahu kita bahwa hampir setiap kelompok etnis mempunyai bentuk dan struktur yang spesifik sesuai dengan lingkungan-budaya dan perkembangannnya masing-masing. Dalam wilayah kesatuan politik terkecil, misalnya, kita kenal dengan Nagari (Minangkabau), Kepenghuluan (Melayu), Ondowafi (Papua), Desa (Jawa), ….. (Bali), Keucick (Aceh), dan seterusnya dengan seluruh aturan dan strukturnya sendiri-sendiri. Dalam perjalanan perkembangannya yang berabad, bentuk dan struktur tersebut telah teruji dengan baik mampu mengatur kehidupan bersama dan mengatasi seluruh persoalan yang muncul.

Tetapi, semua itu harus kandas ketika pemerintah pusat meluncurkan UU no. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Anehnya, bahwa bentuk dan struktur yang ditetapkan dalam UU itu adalah Jawa sentris atau bias Jawa. Karena itu, tidak heran jika kemudian desa (untuk wilayah pedesaan) dan kelurahan (untuk wilayah perkotaan) merata di seluruh Indonesia tanpa kecuali. Bukan hanya itu, sebagai implikasi dari “desanisasi”, pranata, sistem, dan mekanisme kerja di wilayah kesatuan politik paling mikro itu berubah sama sekali. Hasil-hasil penelitian yang melihat aplikasi UU itu di berbagai daerah mewartakan bahwa perubahan-perubahan itu kemudian berimplikasi pada tatanan posisi, peran, dan relasi baik yang menyangkut individu maupun kelompok.

Mungkin karena terlalu jauh pengaruh itu menghujam ke dalam, bahkan ke wilayah kognisi komunitas yang bersangkutan, sehingga sebagian komunitas etnis menganggapnya sebagai “bukan persoalan”. Bahkan, pada saat-saat otonomi daerah telah dilaksanakan serempak di seluruh wilayah Indonesia, problem “desanisasi” ini nyaris masih belum tersentuh. Dari pusat, dari para pengambil kebijakan, kita tak pernah mendengar “perbincangan” soal UU yang membelenggu tersebut, sementara dari kalangan komunitas, kita terlalu sering mendengar keluh-kesah, aspirasi, dan berbagai harapan untuk menyikapi problem ini secara konkret, seperti yang terdengar dari Sumatera Barat yang benar-benar (kesepakatan Ninik-Mamak dengan pemerintah setempat) hendak mengembalikan itu kepada Nagari.

Mungkin, di era otonomi daerah sekarang ini, masalahnya tidaklah terletak pada pusat dan kita tak bisa mengharap penyelesaian problem itu kepadanya, tetapi justeru terletak pada kesediaan pemerintah daerah masing-masing dimana komunitas itu berada. Pengalaman Sumbar memastikan problem itu diselesaikan atas kehendak da kesepahaman komunitas adat (Ninik-Mamak) di satu pihak, dan para pengambil kebijakan daerah di pihak yang lain.

Kita hanya menanti apakah berbagai komunitas dan politisi-birokrat di Sulsel bersedia dan mampu mengembalikan lokalitasnya yang spesifik sehingga survive dalam ruang otonom? Desantara / Bisri Effendy

BAGIKAN: