Belian, begitulah nama sebuah ritual Dayak ini dikenal. Orang-orang Dayak sendiri memaknainya tidak seragam. Orang Dayak Benuaq Kalimantan Timur, misalnya, memaknain ritual itu berbeda dengan apa yang kemukakan oleh orang Dayak Ma’anyan Kalimantan Tengah, juga misalnya. Jika orang Dayak Benuaq Kalimantan Timur memaknai belian sebagai dan menggunakannya hanya untuk ritual berkaitan dengan kehidupan sekarang, maka bagi orang Ma’anyan ritual itu dipergunakan untuk pengobatan (kehidupan) dan kematian (wadian matei dan wadian wara). Bagi orang Dayak Benuaq hanya mengenal ritual kematian sebagai setangih, wara, atau kewangkey (Yohannes Bonoh, 1985).
Pada umumnya, ritual belian memang dipergunakan untuk mengobati orang sakit. Akan tetapi, sebenarnya, ritual ini juga dipergunakan untuk berbagai kepentingan kehidupan. Ritual belian untuk perempuan hamil, untuk memandikan bayi laki-laki sebelum mandi di sungai (namutn), untuk melunasi nadzar/kaul/niat, untuk memohon selamat dari marabahaya yang akan melanda kampung, untuk membangun kembali atau menjaga keseimbangan kosmis, bahkan untuk mengungkapkan rasa syukur sehabis panen, misalnya.Ada juga sebagai ucapan syukur atas bantuan dan pertolongan makhluk-makhluk ghaib terhadap mereka yang dalam kurun waktu tertentu bepergian jauh dari kampung dan kembali dengan selamat. (Nehemja Wantja, 1970).
Sementara sejarah asal-usul tradisi belian, sejauh yang digapai penelusuran Srinthil, hanya belian bawe yang banyak dikisahkan. Belian bawe pada awalnya muncul di Kalimantan Tengah yang kemudian menyebar ke Kalimantan Selatan dan Timur. Di Kalimantan Timur sendiri, belian bawe tersebar di hampir semua kampung dan komunitas Dayak Benuaq dan Tunjung, khususnya yang secara geografis berdekatan dengan Kalimantan Tengah seperti di daerah Lingau, Bentian, kabupaten Pasir, Dempar, Pangkoh, Temula, kecamatan Damai, Muara Lawa, Muara Pahu. Bahkan belian bawe juga tersebar di kalangan komunitas Dayak Tunjung di kabupaten Kutai seperti Barong Tongkok, Sekolaq Darat, Asa, Juhan Asa, dsb.
Asal-usul belian bawe sendiri tidak tunggal, walaupun terdapat kemiripan-kemiripan pada setiap alur ceritanya. Ini dimungkinkan karena hal itu hanya dikisahkan secara lisan dari generasi ke generasi. Versi pertama seperti yang diceritakan oleh pemeliatn Montir (Taman Riyab), bahwa asal belian bawe dikaitkan dengan seseorang yang bernama Janyan Liatn Ngentan yang tidak diketahui bagaimana ia menjadi pemeliatn. Setelah Janyan meninggal, orang-orang tidak tahu dan tidak pernah lagi mengadakan upacara belian bawe. Karena tidak ada yang berguru dan mempelajarinya secara langsung kepada Janyan. Hingga pada suatu waktu, muncul tokoh baru belian bawe yang bernama Japaq Pelulaq.
Alkisah, suatu hari Japaq Pelulaq berjalan-jalan di belakang lamin (kampung). Tiba-tiba ia terjatuh ke dalam sebuah lubang dan keluar dengan menari dan menyanyikan lagu-lagu belian bawe menuju ke lamin. Warga kampung terheran-heran dengan tingkah laku Japaq Pelulaq. Dan setelah diketahui bahwa ia barusan terjatuh ke dalam sebuah lubang, maka orang-orang kampung pun memeriksa lubang tempat Pelulaq terjatuh. Dan diketahui bahwa lubang tersebut adalah kuburan tokoh belian bawe, Janyan Liatn Ngentan. Sejak saat itulah ritual belian bawe ramai lagi dilakukan. Japaq Pelulaq bergelar Ketew Bulaw Toyak Japaq yang berarti ”kembang emas dari Japaq”. Murid Pelulaq bernama Genikng Pisik Toyak Rihai. Kemudian menyusul tokoh-tokoh belian bawe yang diturunkan ke wilayah Lingau seperti Kakah Peu, Kakah Jaung, Selanin Encan Bulaw, Peraak Riniiq, Naen Perau, Tokung Nontum Kakah Puan, Keris Bujur Ramai Banyuq, Agung Motu Amai Bawukng, Lampung Lago Amai Bala, Munakng Miti Kakah Apang, Kelantangan Melokng Kakah Jenau, Tarai Solay Bawe Kengkay, dan Genikng Sukat Bumutn.
Versi kedua diceritakan oleh pemeliatn Renceng (Kakah Janggut). Dalam penuturannya, belian bawe berasal dari seorang yang bernama Raksasaaq. Ia tinggal dan berdiam di daerah yang bernama Bawo Adang. Tidak diketahui bagaimana Raksasaaq mempelajari belian bawo, hanya disebutkan bahwa ia memperolehnya dari uwok (makhluk ghaib/halus). Perlu ditekankan di sini bahwa dalam alam pikiran Dayak Benuaq, segala sesuatu yang tidak diketahui pangkal ujungnya, maka akan dinisbatkan pada uwok. Diriwayatkan bahwa waktu itu Raksasaaq memiliki kemampuan yang sangat tinggi dan mengagumkan dalam hal belian bawo. Hingga ketika ia melakukan upacara belian, ia dapat membunuh seseorang atau bahkan menghidupkan orang yang telah lama meninggal. Kemampuan membunuh dan menghidupkan orang ini bertahan sampai 3 generasi sepeninggal Raksasaaq.
Versi ketiga, begitu pemeliatn Maar menceritakan, bahwa belian bawe berasal dari seorang yang bernama Japaq Pelulaq. Suatu hari Japaq membuat lemang (tintikng), ketupat, serta menyembelih seekor ayam lalu dipanggang dan memasukkannya ke dalam anjat (alat untuk membawa barang). Terus ia pergi. Ketika melewati kampung Ruang, ia dipanggil singgah karena kebetulan ada orang yang bernama Mung sedang sakit. Ia mengerti bahwa ia dipanggil karena membawa anjat yang berisi perlengkapan belian. Tapi ia tidak menghiraukannya. Ia terus berlalu ke tempat Kilip dengan juga membawa guci yang bibirnya pecah. Kilip mengikuti Japaq dengan membawa piring. Mereka pergi ke tempat yang bernama Bawo Langit (langit tertinggi) dan belajar belian bawe. Akhirnya keduanya tumakng (resmi) menjadi pemeliatn. Setelah kembali barulah mereka mengadakan upacara belian di kampung Ruang. Lalu keduanya berturut-turut numakng (mengangkat dan meresmikan) orang-orang Dayak yang mau dan berbakat menjadi pemeliatn. Dan diceritakan bahwa dari kedua orang inilah orang-orang Dayak sekarang ini memperoleh pelajaran tentang belian.
Pendapat terakhir, seperti dikisahkan pemeliatn Sengkarirang (Taman Keting), bahwa belian bawe berasal dari uwok. Menurutnya, bahwa dahulu kala ada seorang laki-laki yang tidak diketahui namanya memiliki seorang istri yang sangat anggun dan rupawan. Namanya Lise. Karena kecantikan istrinya, ia selalu menaruh curiga dan cemburu pada orang lain. Akhirnya ia memutuskan untuk hidup di dalam hutan belantara. Tapi malang baginya, tidak berselang lama istrinya sakit dan akhirnya meninggal. Ia membuat lungun (peti mayat) dan memasukkan istrinya. Ia berkeinginan membawa pulang mayat istrinya ke kampung, tapi ia tidak berdaya karena kampungnya terlalu jauh sementara ia tinggal sendirian. Ia juga tidak mau mengubur istrinya dalam hutan, takut dimangsa para uwok. Akhirnya ia memutuskan memasukkan mayat istrinya ke dalam sungai yang dalam. Agar tidak hanyut, ia mengambil sebatang pohon kayu (sungkai) sebagai penahan (turus). Kemudian ia menjaganya di atas pasir di tepi sungai.
Tidak lama para uwok datang mencari mayat Lise. Mereka lalu membaca mantera sambil menari-nari. Ia memperhatikan bagaimana uwok-uwok itu membaca mantera. Akhirnya pemimpin uwok itu berkata: ”Owir Ngoko Ekai, lameq lungun Lise, dooq li turus sungkai”, (Di manakah lungun Lise, itu di bawah turus kayu sungkai). Para uwok pun menyelam untuk mengambil lungun Lise. Pemimpin uwok mengatakan lebih baik kita pesuli (menghidupkan kembali) mayat Lise agar kita bisa makan daging yang lebih segar. Mereka pun mengambil kayu-kayuan dan ramuan mujat. Ramuan tersebut dioleskan pada mayat Lise yang ternyata bisa menghidupkannya kembali. Ketika para uwok itu mendekati Lise untuk memangsanya, sang suami yang memperhatikan perilaku para uwok tersebut mengamuk dan mengusir para uwok. Cara-cara yang dilakukan para uwok itu kemudian dipraktekkannya yang menjadikannya sebagai pemeliatn yang mampu menghidupkan orang yang telah meninggal. Sengkarirang juga menyebut bahwa belian bawe ini muncul di kampung Ruang, Kalimantan Tengah.
Suwila, seorang belian bawe yang menetap di lou Pepas Eheng, kecamatan Barong Tongkok, Kutai Barat, menceritakan pengalamannya kepada Srinthil ketika ia menjadi pemeliatn. ”Saya tiba-tiba menghilang dari kampung sehari semalam, dibawa uwok ke hutan belantara, dan setelah kembali ke kampung saya langsung bisa melakukan upacara belian” tutur Suwila. Dengan bersemangat ia menceritakan bahwa dialah salah seorang yang terpilih dan mendapat ilham untuk menjadi pemeliatn. Sehingga walaupun saat ini upacara penyembuhan dengan media belian sudah jarang dilakukan akibat hadirnya perangkat-perangkat medis modern di kampung-kampung, ia tidak bergeming dan tetap kukuh menjalani profesinya sebagai pemeliatn bawe. ”Walaupun sudah ada klinik dan puskesmas di kampung-kampung, saya tetap dipakai oleh masyarakat, karena toh ada beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara medis”, ujar Suwila yakin. Desantara / Asman Aziz