“Catatan dari Pertemuan Jaringan Desantara”. Pertengahan Maret 2011 lalu, Desantara menyelenggarakan acara pertemuan jaringan di Jogjakarta. Acara yang digelar di Rumah Budaya Tembi, Bantul ini diharapkan menjadi sarana bagi masing-masing jejaring untuk berbagi pengalaman tentang permasalahan yang dihadapi. Dari situ, setiap jejaring juga diharapkan memberi sumbangsihsehingga bisa saling belajar (mutual learning). Harapannya, ke depan bisa menjadi landasan untuk melakukan kegiatan bersama.
Acara yang digelar selama dua hari, dari tanggal 17-18 Maret itu dihadiri jejaring dari Makassar yang diwakili oleh Mubarak dari Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Dedi dari komunitas Dayak Segandu Indramayu, Jumarim dari Yayasan Pemberdayaan untuk Kesejahteraan Masyarakat – Nusa Tenggara Barat,(YPKM-NTB), Mawan Mahyudin dari Post Institute Blitar, Gunretno dari Sedulur Sikep, Muhammad Farid Ma’ruf dari Paguyuban Tani Hutan Wana Sejahtera (PTHWS), Kelik Munandar dari Naladwipa Kalimantan Timur, Heru Prasetia dari Lafald Initiatives Yogyakarta, Bandung Suseno dari Pacitan, serta Paring Waluyo Utomo dari Porong, Sidoarjo. Di sela-sela acara, beberapa teman dari Combine juga datang dan terlibat dalam diskusi.
Pertemuan dimulai dengan berbagi permasalahan yang dihadapi. Mubarak Idrus dari Makassar mendapat kesempatan pertama untuk berbagi. Dia menceritakan berbagai masalah yang kini dihadapi Makassar dan Sulawesi Selatan secara umum. Mulai dari sosial-politik, sosial-ekonomi, budaya-agama dan lingkungan.
Catatan yang dirasa penting oleh Barak adalah mulai tak tertanganinya jaringan komunitas/agama lokal yang dulu sering ditemani LAPAR dan Desantara. Yang masuk ke mereka sekarang lembaga baru dengan program baru yang sifatnya sementara. Mubarak berharap Desantara dan jaringan bisa kembali menemani komunitas/agama lokal di Sulawesi Selatan lagi, termasuk menyelesaikan masalah lingkungan yang dihadapi komunitas lokal tersebut.
Kemudian Paring Waluyo yang lama erlibat dalam pendampingan korban lumpur Lapindo Sidoarjo bercerita soal pertemanannya dengan Desantara. Dulu dia aktif terlibat dalam isu-isu minoritas dan pluralisme di Jawa Timur. Misalnya di tahun 2006 saat Jemaat Ahmadiyah di Bogor diserang, Jawa Timur justru kondusif. Misalnya, PWNU Jatim menjadi tempat kelompok-kelompok moderat melakukan testimony bersama. Di tempat itu, jemaat Ahmadiyah juga ikut memberikan testimony. Tetapi, di tahun 2011, ketika Ahmadiyah kembali dipersoalkan, di Jawa Timur justru berbalik. Gubernur Jawa Timur mengeluarkan SK yang melarang Ahmadiyah beraktifitas di provinsi itu.
Ketika bencana lumpur panas Lapindo terjadi, Paring kemudian terlibat dalam pendampingan dan advokasi di sana. Menurut Paring, sekarang banyak sekali aktivitas penambangan di Jawa Timur. Ia mencontohkan deretan daerah yang menjadi tempat aktivitas penambangan pasir besi seperti di Lumajang, Blitar dan Jember. Selain itu, di Banyuwangi juga ada kawasan hutan lindung yang dikeruk karena ada pegunungan emas di Tumpang Pitu. Padahal, dari sisi tata ruang, penambangan di kawasan hutan lindung tidak diperbolehkan.
Selain soal di atas, di Jawa Timur juga akan dikembangkan 15 blok migas. Kawasan yang mau diambil, yang disebut dengan cekungan Jawa Timur laut itu terdiri dari Ngawi, Magetan, Nganjuk, Mojokerto hingga lepas pantai Madura. Sementara, di jalur selatan akan ada jalur lintas selatan yang juga akan sedikit banyak merusak lingkungan. Banyaknya kasus yang harus disikapi ini membuat ia meminta kepada peserta untuk merapatkan barisan. “Soal lingkungan,” kata Paring, “Seperti bom yang akan meledak dimana-mana.” Ia juga meminta ke peserta pertemuan untuk cerdas, termasuk apa yang harus dirumuskan dan bagaimana menghadapi kasus lingkungan di Indonesia.
Hal lain yang ia sampaikan adalah untuk berhati-hati jika melakukan perlawanan legal atau litigasi, karena di pengadilan adalah ruang yang tak terlihat dan kental dengan sistem pengadilan yang mudah disuap. Maka, begitu jalur litigasi kalah, perusahaan akan menjadikan ini sebagai senjata balik.
Senada dengan Paring, Jumarim peserta jaringan dari YKPM NTB bercerita tentang temuan lembaganya. Ia misalnya, bercerita kenapa pemerintah berani berhutang dalam jumlah besar karena pemerintah yakin akan ada investasi besar yang akan masuk. Di Lombok sendiri, dengan pulau yang sangat terbatas dan memiliki penduduk yang padat, akan berbahaya jika pulau itu ditambang. Karena itu, dalam RTRW mereka juga ditetapkan bahwa Lombok tak boleh ada aktivitas penambangan. Tetapi, semenjak M Zainul Majdi terpilih menjadi gubernur, justru agenda pertamanya adalah mengubah RTRW.
Akhirnya, Lombok dari yang semula tidak boleh menjadi dibolehkan menambang secara terbatas. Setelah muncul RTRW baru itu, masing-masing kabupaten pun mereview RTRW-nya. Yang mencolok, sampai ada kabupaten yang karena ikut-ikutan, karena copy paste dari kabupaten lain, nama kabupaten yang diambil masih muncul dalam perda mereka. Dari peristiwa itu Jumarim menunjukkan bahwa para pemimpin daerah dianggap berhasil jika ia mampu mendatangkan investor. Celakanya, tokoh masyarakat, agamawan bahkan budayawan seperti terbawa oleh itu. Kasus Newmont yang sempat mencuat di daerah itu juga tidak memberi apa-apa.
Apa yang terjadi di Lombok memang tak muncul tiba-tiba. Sebelumnya, ada tiga titik penambangan rakyat di Lombok. Rata-rata penambang ini datang dari luar daerah. Akibat penambangan, selain lingkungan rusak, banyak ikan yang mati. Karena ada penyebab itu, masyarakat yang ada di sekitar tambang menjadi tidak senang dengan proses penambangan. Dari situ, kemudian muncul pro dan kontra, apakah penambangan rakyat diperbolehkan atau tidak. Dari sini, kemudian terbangun opini, bahwa penambangan menjadi penting dikelola oleh pemerintah.
Sayangnya, pengubahan Perda ini, bukan soal tambang rakyat yang diatur, tetapi justru membuka ruang bagi investor untuk masuk. Apa yang terjadi ini di luar bahan bacaan kaum agamawan dan budayawan.
Berkaitan dengan investor, yang terjadi di Blitar agak berbeda. Menurut Mawan, pemerintah daerah malah membatasi investor dari luar. Mereka menginginkan investor dari dalam, misalnya untuk memnbangun mall atau minimarket.
Yang sama dengan yang lain adalah adanya eksploitasi atau penambangan pasir besi, walaupun respon masyarakat sekitar penambangan berbeda dengan daerah lain. Hal ini karena para pemilik tambang pandai mengambil hati masyarakat sekitar, walaupun bahayanya sangat besar bagi permukiman sekitar tambang.
Atas berbagai masalah yang dimunculkan itu, beberapa peserta saling memberi sumbang saran. Seperti yang dilakukan oleh Farid Ma’ruf dan kawan-kawasnnya di Pati Utara yang menggagas rembug awasan untuk menggali potensi yang ada di wilayah Pati Utara. Kedua, rembug kawasan diharapkan ada kesalingmengertian antar pelbagai profesi. Dengan menyadari hak dan kewajiban petani hutan, petani, nelayan seperti apa membuat masing-masing jenis pekerjaan itu bisa saling bahu membahu. Pada akhirnya hal ini menjadi semacam kelembagaan kemasyarakatan.Misalnya, petani hutan mengembalikan hutan menjadi lebih lestari sehingga petani hutan menjadi sejahtera. Rusaknya hutan, selain membuat pendapatan mereka berkurang, juga akan memunculkan banjir yang membuat petani menjadi korban, laut menjadi dangkal yang artinya, nelayan juga berkurang pendapatannya. Sementara, Kelik memberi saran tentang pentingnya penambahan kapasitas bagi teman-teman di daerah supaya kualitas jaringan, kualitas lapangan memiliki resource lebih. Ia juga bercerita bahwa di Kalimantan Timur, masyarakat menjadi radikal saat mereka mengetahui tempat yang ditambang menjadi rusak berat.
Dari Porong, Paring meminta lembaga Desantara untuk menjadi motor distribusi pengetahuan di daerah. Desantara di sini menjadi pelengkap dari sentuhan yang dilakukan oleh jejaring di daerah yang bersentuhan dengan grass root. Di Lombok sendiri, ada cerita menarik yang sayangnya tak terdokumentasikan. Ia membayangkan kalau seandainya cerita itu ada yang mendokumentasikan, ini mungkin akan bermanfaat bagi daerah lain bahwa kerja-kerja pendokumentasian soal tambang. Proses dalam penambangan yang memiliki resiko besar, mungkin akan membuat orang akan berfikir dua kali ketika mereka akan masuk ke pertambangan.
Jumarim juga menyampaikan hal lain terkait pendekatan yang mereka lakukan terhadap kelompok-kelompok agama yang selama ini dianggap keras. Sebenarnya masyarakat Ketapang, NTB hampir mau menerima Ahmadiyah. Tetapi, mereka justru khawatir dengan tanggapan dari daerah lain, kalau seandainya menerima kembali ahmadiyah. Padahal, upaya yang dilakukan YPKM dan kawan-kawan hampir membuahkan hasil.
Di gunung Kendeng Pati sendiri, Gunretno bercerita, tak hanya perusahaan besar macam semen Gresik, tetapi juga di masyarakat sendiri butuh kesadaran sehingga menjadi lebih peduli lingungan. Dan berhadapan dengan masyarakat sendiri, harus dengan siasat yang jitu, karena mau tidak mau langsung berhadapan dengan masyarakat sendiri. Untungnya, dengan kesabaran dan mengajak mereka memikirkan nasib bersama, membuat penambangan rakyat bisa ditutup tanpa menimbulkan korban (IWH).