Rata-rata seluruh Pasar yang ada di seantero Papua, baik di Nabire , Biak, Timika , Jayapura , Serui , Manokwari dan daerah lainnya dikuasai oleh para pendatang, sementara pedagang pribumi yang nota benenya Kaum Perempuan Papua tidak mendapat tempat jualan yang permanent, sehingga terpaksa mereka harus berjualan di lorong-lorang pasar, emperan toko, beralaskan sebuah karton ,berlantai tanah dan beratap langit. Ketika hujan turun mereka lari terbirit- birit mencari tempat perlindungan . Akan hal yang sama dihadapi ketika matahari menyengat kulitnya sekaligus jualannya maka kerugianlah yang diperoleh bukan lagi keuntungan. Lantas Kapan Perempuan Papua berjualan di Pasar yang permanent. Dimana slogan Otomi khusus akan menjadi Tuan Diatas Negerinya Sendiri ? Kapan akan terwujud?
Ibu Marsela baru saja turun dari taksi dengan membawa 2 karung sayur bayam di pasar Karang Tumaritis . Karena tidak ada tempat jualan yang permanent maka segera saja ia membuka karung plastiknya diatas onggokan sampah. Kendati diatas onnggokan sampah Marsela menggelar hasil kebunnya diatas tumpukan sampah yang berbau amis. Disebelah Marsela, ada beberapa perempuan sudah memajangkan jualannya, menanti pembeli. Tapi hari itu pembeli terasa sepi sebab hari tanggal tua . Matahari semakin lama semakin menyengat kulit sehingga jualan mama-mama ini mulai layu .Sementara manusianya pun mulai layu karena matahari kian membakar kulit sehingga semakin menambah hitam . Kendati beratapkan langit dan berlantai tanah Marsela masih sabar menunggu pembeli namun hari itu sepi, sayur sudah layu dimakan matahari . Kini sudah pukul 12 siang sayur semakin pudar kesegarannya maka ia memasukan sayurnya dalam karung lalu pergi membuangnya di tempat sampah yang tak jauh darinya. Beberapa ikat sayur di kasih pada seorang ibu yang jualan disampingnya.Lalu 2 ikat dimasukan dalam nokennya lalu ia naik taksi pedesaan Wanggar pulang ke rumah. Dengan wajah lunglai ia turun dari taksi disambut oleh 2 orang anaknya. “Mama datang. Mama mana saya punya pesanan?”teriak kedua anaknya seraya menyambut kedatangan mamanya. “saya tidak beli sebab mama punya jualan tidak laku” kata marsela wajah sedih sembari memberikan 2 buah roti yang dibelinya sekedar menyenangkan hati mereka .
Inilah salah satu kasus akibat kaum perempuan Papua berjualan diluar pasar Karang Tumaritis Nabire . Keadaan pasar sekaligus terminal ini penjual yang rata-rata
perempuan papua ini semakin berani menggelar jualannya di badan terminal maka nampak semrawut . Mereka yang jual dibadan terminal ini mereka tidak kebagian tempat jualan yang permmanen. Di mana mama-mama Papua masih saja menggelar jualannya dilorong- lorong Pasar,terminal, dibawah meja los Pasar,beralaskan sepotong karton berlantai tanah, beratapkan langit.Ketika hujan turun mereka lari terbirit-birit mencari tempat perlindungan.Tetapi keadaan akan lain bila terik matahari mmenyenyatkan kulit dan jualannyapun ikut layu.Disanalah timbul kerugian yang cukup besar bagi kaum perempuan. Lantas kita tilik kondisi Perempuan Papua yang jualan di Pasar Sore Siriwini,oyehe. Rata- rata mereka berjualan Di bawah terik matahari untuk mengais 1000 rupiah untuk sekedar membeli kebutuhan kelaurga hari itu. Bukan usaha jualan yang berkelanjutan sebagai sumber kehidupan. Mereka menebarkan jualan diatas tanah beralaskan sebuah karton, ataupun karung. Di distrik Ikrar Kaum perempauan berjualan disepanjang jalan raya Trans Nabire – Enarotali. Masyarakat yang mendiami sekitar KM 205 dari kota Nabire ini hingga kini belum dibangun pasar yang permanent. Atau distrik Kamuu, Karena didalam pasar sudah tidak mampu menampung banyaknya penjual maka mereka menggelar jualan diluar pasar .
Lantas bagaimana keadaan pedagang perempuan Papua di Jayapura, Timika, Biak,yang Sorong dan daerah lainnya ? Apakah pemandangan yang sama dengan perempuan Nabire yang selalu berjualan di atas tanah juga terjadi di daerah lain ? Emanuel Goo, Wartawan tinggal di Nabire, Papua