Cerita dari Serkan

desantara-default

Desantara.or.id

Pasangan Tarman dan Tarsih tidak kuasa menahan tangisnya, sedu sedan mereka pun menjadi perhatian banyak tamu undangan pernikahan Tarmi, anak mereka. Tarman dan Tarsih, yang tinggal di salah satu dusun di Kabupaten Demak, sebelumnya tidak pernah terlintas sekalipun akan bertemu kembali dengan Tarmi. Apalagi bisa menikahkan Tarmi dengan Jasman di bulan panen, Juli ini. Lebih dari dua tahun pasangan Tarman dan Tarsih berserta kakak juga adik Tarmi, tetangga dan sanak keluarga mereka berusaha keras mencari keradaan dan nasib Tarmi di Arab Saudi. Sekedar sms pun tidak kunjung datang dari Tarmi. Tarman dan Tarmi mengenang, "terakhir Tarmi dalam telepon mewanti kami, jangan telpon majikan saya lagi, saya telah pindah majikan!" Dan kepanikan semakin menjadi di benak Tarman sekeluaga, "Tarmi kelihatannya di penjara karena kabur dari majikan, dimana dan berapa lama, saya tidak tahu," ungkap Lastri salah seorang tetangga Tarman yang berada dikota yang sama dengan Tarmi, kota Jizan yang berbatasan dengan Yaman.

Tarman dan Tarsih Mengenang…

Waktu itu sekitar pertengahan Agustus 2002, kami kaget Tarmi yang baru tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan baru dua minggu saya masukan pondok pesantren melontarkan niat untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Arab Saudi. Alasan Tarmi, supaya dia bisa membantu kami dan membiayai sekolah adiknya. Diperkuat bukti, kakak pertama Tarmi, Taryani baru saja pulang dari Arab Saudi dan berhasil membeli sebidang sawah, sepeda motor, dan biaya pernikahan Taryani. Sebagai orang tua, kami hanya bisa trenyuh dan tidak bisa melarang begitu saja keinginan anak kami. Apalagi sebagai buruh tani yang tidak mempunyai sawah sendiri dan kadang nguyang untuk menambah penghasilan, kami hanya bisa membiayai sekolah Tarmi sampai SMP dan tidak bisa memberikan kemewahan hidup (sembodo).

Di daerah kami sendiri, bekerja menjadi tenaga kerja di luar negeri adalah hal yang biasa, dari 1 RW yang terdiri dari 2 RT di dusun kami setidaknya ada sekitar 90 orang yang sedang dan pernah kerja diluar negeri sebagai pembantu. Rata-rata penduduk desa kami adalah buruh tani, dan hanya 19 orang yang menjadi pegawai negeri sipil sebagi guru atau pegawai tingkat kecamatan. Kondisi tanah di daerah kami sendiri adalah adalah tanah bergerak yang tidak bisa dibangun secara permanen dengan tembok. Air tanah kami juga tidak jernih, dan asin, tidak baik untuk mandi dan minum. Kami bergantung air sungai untuk mandi dan minum, selain untuk mengairi sawah didaerah kami yang setahun hanya dua kali paneh padi dan sekali tanaman palawija. Entahlah karena apa, banyak warga desa kami, dan warga di kabupaten kami yang bekerja di luar negeri. Bahkan mantan kepala desa, yang tidak bisa mencalonkan diri menjadi kepala desa karena kurang modal pun, biasanya menjadi tenaga kerja di Arab Saudi. Jadi sebagai orang tua, dengan segala berat hati berpisah, penuh kekwatiran akan keselamatan anak kami, kami tidak bisa menolak tekad anak kami bekerja diluar negeri.

Waktu itu kami hanya bisa memberi uang saku sebesar Rp. 310,000,- untuk Tarmi. Beruntung kakaknya, Taryani punya kenalan sponsor yang telah memberangkatkan dia ke Arab Saudi, hingga rasa kekuatiran kami akan tertipu dan keselamatan Tarmi agak berkurang. Kami agak kurang percaya, dengan anak-anak muda, entah darimana datangnya, yang berpakaian bak karyawan kantor yang selalu menawari kami kerja di Arab Saudi, Taiwan, Malaysia, Korea dengan gaji-gaji dan janji-janji muluk tertentu. Kami takut hanya ditipu.

Ternyata mimpi buruk kami terjadi, Tarmi konon dipejara karena melarikan diri dari majikan dan melakukan guna-guna terhadap keluarga majikan. Padahal semuanya, sebelumnya baik-baik saja. Tarmi pernah berkisah bahwa surat dan telepon dari keluarga kami di Serkan, Demak pernah tidak sampai ke dirinya. Semua ditahan oleh anak sang majikan. Tarmi baru tahu kejadian tersebut setelah sopir keluarga majikan melapor pada Tarmi. Namun sesungguhnya, tidak pernah ada konflik dan kemalangan berarti selama bekerja di Keluarga Thoib, sang majikan. Malah, kemalangan dan konflik itu terjadi dirumah. Yakni ketika kiriman uang Tarmi sebesar 7 juta rupiah yang dikirim via rekening tetangga, hanya disampaikan separuh pada keluarga Tarsih dan Tarman. Pada kami, Tarmi bercerita agak kecewa dengan majikan, yang menahan Tarmi pulang ke Indonesia. Kata sang majikan, Tarmi harus menunggu sampai bulan haji dan akan membantu menaikan Tarmi menuaikan ibadah haji. Dan memang Tarmi berangkat Haji ke Makkah, dari kota Jizan, tempat tinggal majikannya yang berdekatan dengan Yaman. Sayangnya, selama sembilan bulan menunggu bulan Haji, Tarmi tetap bekerja seperti biasa, namun Tarmi sepeser pun gaji diterima Tarmi. Dan Tarmi kecewa atas hal itu, sampai akhirnya dalam telepon Tarmi mengungkapkan akan pindah majikan.

Bulan berganti bulan dan tahun pun berganti, semenjak telepon yang mewanti kami itu, Tarmi tidak pernah mengirim kabar pada kami. Banyak kabar simpang siur kami terima dari tetangga dan teman Tarmi yang juga kerja di Arab Saudi. Semenjak kontak terakhir tadi, di bulan lebaran 2006, kami semakin gelisah. Tarmi, anak kami tidak dapat dikontak lagi. Tak pelak, harta keluarga kami yang tak seberapa satu per satu kami jual. Kalau dihitung, setara tiga kerbau, ongkos yang kami keluarkan, untuk sekedar tahu kabar anak Tarmi. Uang sebesar itu, habis untuk membeli pulsa telepon, membayar dukun, membayar sponsor dan tentangga yang ada di Arab. Hanya satu kabar kami terima: Tarmi dipenjara di Arab Saudi! Namun entah untuk berapa lama dan dipenjara daerah mana Tarmi berada.

Januari 2008, Tarman yang sudah tidak bisa menanti, dengan mengadaikan motornya, nekat berangkat ke Jakarta, dengan bantuan tetangganya melapor ke sebuah LBH Buruh Migran.

Tarmi Mengenang…

Dengan bekal uang Rp. 310,000,- dan bantuan sponsor, Amat, yang dikenal kakak saya Taryani, saya berangkat ke Jakarta. Oleh Amat yang berasal dari kecamatan sebelah saya, saya disalurkan ke salah satu perusahaan penyalur tenaga kerja (PJTKI) yang berkantor di Halim, Jakarta Timur. Tidak ada hambatan yang berarti bagi saya untuk masuk PJTKI tersebut. Postur tubuh yang bongsor dan kesehatan yang prima menjadikan saya ditampung di asrama dengan hanya membayar ongkos 35 ribu rupiah. Namun satu hal yang membuat saya takut untuk tidak lolos, umur saya masih dibawah17 tahun. Namun saya beruntung, modus curang memalsukan KTP dan umur adalah hal yang umum di PJTKI. Uang saku dari ayah cukup untuk berdamai dengan petugas. Jalan damai yang ditebus Yuni pun hanya perlu menyisihkan Rp. 100,000,-. Dan terdaftarlah saya sebagai orang yang berhak mendapat paspor dan visa ke Arab Saudi. Akhirnya, Februari 2003, setelah menerima paspor dan visa, saya akhirnya menginjakan kaki di Arab Saudi. Saya mendapatkan majikan di daerah Jizan, perbatasan Yaman yang jauh dari ibukota Arab Saudi, Riyadh. Didalam visa dan kontrak kerja saya tertera, Maret 2005 atau dua tahun lagi kontrak kerja dan visa saya habis. Artinya saya harus pulang.

Cerita bapak saya, umur dan asal daerah saya oleh PJTKI dipalsukan, hingga sulit bagi bapak saya untuk melacak saya di kantor PJTKI. Selain bapak saya tidak dilayani baik, bapak juga diberi janji-janji, bahkan pak Amat, sponsor saya juga kabur dan tidak bisa dikontak lagi, setelah bapak saya mengejar tahu dimana saya dan nasib saya. Pihak PJTKI kata bapak menyalahkan saya yang kabur, dan meminta bapak membawa sponso saya dulu ketika melapor ke kantor PJTKI. Tidak kekurangan akal, bapak saya menyogok petugas PJTKI sebesar Rp. 100,000,- untuk mendapatkan salinan berkas-berkas saya yang dijadikan bahan rujukan melapor ke kantor LBH. Bapak memang tidak pernah sama sekali menerima salinan berkas-berkas kerja saya dari kantor PJTKI, kecuali surat tangan dan foto yang saya kirimkan. Setelah melapor di LBH, bapak agak tenang, kata petugas LBH, kedutaan RI di Arab Saudi melaporkan bulan Maret 2008, TKI/TKW yang dipenjara di Arab akan dipulangkan ke Indonesia.

Selama dipenjara, saya hanya makan, tidur dan minum susu. Dan setiap bulan hanya mendapat ’gaji’ sebesar Rp. 120,000,-. Tubuh saya memang lebih gemuk ketimbang ketika saya memutuskan bekerja di Arab Saudi. Nah pada Pebruari 2008, akhirnya saya mendapatkan gaji saya yang tidak terbayar selama sembilan bulan. Dengan uang itu pula, saya membeli tiket pesawat untuk untuk pulang. Sebetulnya saya bisa pulang lebih cepat, karena saya hanya dipenjara selama 6 bulan, namun setelah dipenjara saya tidak bisa kemana-mana karena tidak punya uang. Lama saya menanti, akhirnya gaji saya diberikan dan saya bisa pulang. Sampai hari ini saya tidak begitu jelas kenapa saya dipenjara, tuduhannya katanya guna-guna dan melarikan diri dari majikan. Memang saya pindah majikan bersama dua kawan saya yang lain, karena kami selama 9 bulan tidak digaji. Kalau karena guna-guna saya tidak tahu, dan saya rasanya difitnah teman saya yang dari Jawa Barat. Mungkin karena saya menagih uang saya yang dipinjamnya untuk biaya saya pulang.

Arab Saudi Memperlakukan Buruh Migran Layaknya Bukan Manusia

Salah satu sorotan besar dunia internasional terhadap hukum perburuhan di Arab Saudi adalah pengecualian pekerja rumah tangga. Menurut laporan Human Rights Watch 2008 berjudul "As if I Am Not Human", majikan di Arab Saudi sering tidak diberikan sanksi hukum atas kesewang-wenangan yang mereka lakukan, termasuk atas upah yang tidak dibayarkan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, pengurungan paksa, kekerasan fisik dan seksual. Bahkan tidak jarang, para pekerja rumah tangga macam Tarmi justru mengalami hukuman penjara atau cambuk karena gugatan balik palsu, perzinahan atau guna-guna.

Lebih jauh Human Rights Watch mencatat sistem Kafala (sponsor) memberi majikan kekuasaan yang luar biasa atas pekerjanya. Hingga para pekerja tidak bisa menghindar dari kesewenang-wenangan bahkan untuk dapat pulang setelah kontrak berakhir, hanya karena majikan menolak memberikan ijin.

Beberapa sumber dan juga dalam laporan Human Rights Watch, mengatakan tuntutan atas praktik santet atau guna-guna sering terjadi di Arab Saudi. Hal ini, menurut Human Rights Watch, tentu sebuah kesewenangan dan pelecehan standar HAM internasional. Namun apa daya, banyak kasus guna-guna menimpa pekerja rumah tangga asing. Seperti diketahui, kebanyakan pekerja Indonesia diseret kepenjara dengan tuduhan guna-guna. Biasanya tuduhan ini bermula dari kesalahpahaman budaya. Bagi pekerja Indonesia yang berasal dari Jawa, misalnya, yang memiliki ritual khusus dalam keseharian. Semisal ketika gigi tanggal, pekerja Jawa cenderung menyimpan atau membuang ke atap rumah tanggalan gigi tersebut. Bahkan dengan membuat ramuan jamu. Anehnya, seperti diungkap Human Right Watch, membawa foto dalam tas atau ditemukannya rambut dalam makanan bisa menjadi bukti atas kasus santet atau guna-guna.

Syukur Keluarga Tarman – Tarsih

Tarmi memang tidak sesukses Taryani, kakaknya, namun Tarmi mungkin juga tidak semalang Sari, sepupunya yang sudah tiga tahun tidak ada kabarn tetang keberadaannya di Arab Saudi, dan sekarang sedang dilaporkan kasusnya di sebuah LBH Buruh Migran di Jakarta. Namun bagaimanapun, diantara sebab airmata Tarman dan Tarsih, pada malam pernihan itu, mereka berucap "Ya Allah, Terimakasih atas segalanya, hari ini kami bisa melihat Jasman menikahi Tarmi…" [] SB Setiawan

BAGIKAN: