Cirebon; Buah Kejeniusan Pengeran Cakrabuana

Dodo Widarda*

Tulisan berikut ini adalah adalah hasil temuan saat penulis melakukan penelitian tentang Sunan Gunung Jati, akhir tahun 2021 yang lalu. Satu penelitian yang masih dibayang-bayangi situasi Covid-19. Dari mulai proses perizinan sampai situasi peneitian lapangan, masih dibayang-bayangi Protokol Kesehatan sangat ketat.

Dari situasi lapangan itu penulis menyimpulkan bahwa masyarakat Cirebon yang berasal dari perkampungan “Caruban”, dari dulu pada masa Pangeran Cakrabuana, pada masa Sunan Gunung Jati, sampai sekarang adalah potret masyarakat multukultural yang unik. Sentral dari spiritualitas Cirebon ada pada Mesjid Sang Cipta Rasa. Di seberang dari mesjid terdapat bangunan Keraton Kasepuhan. Tidak jauh dari Mesjid Sang Cipta Rasa, terdapat juga Keraton Kanoman, dan juga Keraton Kacirebonan. Tidak jauh dari keraton-keraton itu terdapat gereja, pura, vihara, Kawasan Pecinan, dan juga Kampung Arab.

Multikulturalitas mayarakat Cirebon yang penulis potret dari lingkungan terdekat Mesjid Agung Sang Cipta Rasa serta Keraton Kasepuhan, tidak lepas dari nilai-nilai filosofis masyarakat Cirebon yang mereka pegang teguh dari dulu sampai sekarang. Multikulturalitas adalah identitas yang melekat pada masyarakat Cirebon, yang telah mengendap di dalam alam bawah sadar, yang bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal leluhur mereka, baik Pangeran Cakrabuna maupun Sunan Gunung Jati.

Cirebon ini berakar dari kata Caruban yang memiliki makna “campuran”. Adalah sebuah prestasi yang luar biasa dari Pangeran Cakrabuana yang saat itu menjadi kepala kampung, mampu bermetamorfosis dari dari seorang yang lahir di masyarakat Galuh yang homogen, menjadi berpola piker inklusif ketika mengembangkan model masyarakat pesisir Caruban Nagari. Bukti inklusivitas adalah mengizinkan pedagang asing singgah, bahkan menetap di daerah-daerah sekitar pantai yang berdampak pada kebijakan dan bertoleransi tinggi terhadap para pendatang untuk bercampur dengan penduduk pribumi masyarakat Cirebon sehingga proses akulturasi budaya berkembang dan mengasilkan corak keislaman yang plural. Konsep plural yang dimaksudkan di sini ialah mengakui adanya budaya dari Arab (pedagang muslim), Cina, Sunda dan Jawa sehingga mereka mampu bersosialisasi dengan massif (Zulfah, 2018).

Adanya pencampuran latar belakang pada masa pembentukan awal dari masyarakat Cirebon sebagai sebuah kebijakan jenius serta visioner dari Pangeran Cakrabuana, berkorelasi dengan akar kata dari Cirebon sendiri. Akar kata dari Cirebon adalah Caruban, kemudian Carbon, Cerbon, dan akhirnya Cirebon.  Caruban berarti “campuran” karena daerah ini didiami rakyat dari berbagai bangsa. Agama yang dianut, bahasa, dan tulisan, dan pekerjaan rakyatnya juga berbeda-beda (Amin, 2015, Widarda, 2021).

Itulah sepintas latar belakang dari kearifan leluhur Cirebon yang nilai-nilai dasar pandangan filosofisnya mengkristal pada kata “Caruban” serta menjadi orientasi nilai masyarakatnya yang multi etnik serta budaya. Pangeran Cakrabuana ini adalah Kuwu II serta pelanjuti dari kepemimpinan Ki Danusela sebagai Kuwu I. Di tangan Sunan Gunung Jati (1448-1568), kelak, Caruban Nagari yang berasal dari sebuah perkampungan ini, berkembang pesat menjadi kesultanan Cirebon. Sunan Gunung Jati, dengan filosofi Caruban tetap berhasil mempertahankan karakterisik masyarakat pesisir utara Jawa yang cosmopolitan serta berwatak pluralistik.

Cirebon kini adalah apa yang diimajinasikan Pangeran Cakrabuana, ketika memberi nama tempat daerah pesisir Jawa Barat itu, dengan sebutan Caruban. Lewat kejeniusan serta spirit Putera Mahkota Pajajaran itu, Cirebon kini berkembang menjadi masyarakat dengan heterogentas yang tinggi, sebuah tipe masyarakat ‘multikultural’ di Jawa Barat Indonesia (Widarda, 2021). Dalam penuturan Elang Heryanto dari Keraton Kasepuhan (Wawancara, 20 Oktober 2021, Widarda, 2021), fakta bahwa Cirebon itu sebagai sebuah wilayah multi etnis, ditopang oleh kenyataan terjadinya toleransi di antara beragam etnik serta berbagai macam keyakinan yang ada, dan tidak pernah terjadi benturan sosial karena tingginya heterogenitas itu.[]

 

Bahan Bacaan

Amin, Zamzami, Sejarah Pesantren Babakan Ciwaringin dan Perang Nasional Kedongdong 1802-1919, Bandung, Humaniora, 2015.

Zulfah,2018, Tamaddun, UIN Sunan Kalijaga Vol. 6, No. 1, Januari – Juni.

Widarda, Dodo, Nilai-Nilai Kepemimpinan Sunan Gunung Djati untuk Menegakkan Martabat Manusia Indonesia, Sebuah Pendekatan Filsafat, Bandung, LP2M UIN Sunan Gunung Djati, 2021.

* Dosen Filsafat pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Direktur Iranian Corner, serta Majelis Kebudayaan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (LESBUMI) PWNU Jawa Barat)

 

 

 

BAGIKAN: