Dakwah Membawa Amarah

desantara-default

Desantara.or.id

Mbak Min baru berusia 41 tahun. Namun, ia kelihatan lebih tua daripada usianya. Duduk dengan tenang bersama anak bungsunya, Bilal, 2,5 tahun. Senin siang itu (14/02) ia sudah kembali menjajakan jajanannya. Cara berpakaianya pun tak terlampau rapi, tapi bersih. Ia berjualan tepat di depan Gereja Santo Petrus-Paulus yang menjadi salah satu tempat sasaran amuk massa. “Saya sudah 25 tahun berdagang di sini, mas,” tuturnya. Mula-mula, ia tak menyangka kalau kejadian “Selasa Kelabu” itu benar-benar meninggalkan trauma yang begitu mendalam. “Saya shock berat mas,” lanjutnya, sambil nyuapin nasi telur kepada Bilal.

Ia menggeleng-geleng kepala seolah tak percaya. Di Temanggung yang mempunyai slogan “Bersenyum” itu, bisa begitu mencekam. “Padahal, sehari sebelum kejadian, banyak Pak Polisi yang berseliweran,” jelasnya sambil menunjuk ke arah jalan raya. Kemudian ia berujar, “Besok (pas hari kejadian-Red) akan ada isu bahwa besok itu akan ada demo besar-besaran. Makanya, kemarin warung saya tutup.”

Ibu tiga putra ini pun kembali menuturkan, “Seharusnya persoalan perbedaan akidah dan keyakinan bukan dijadikan sebagai pemisah. Apalagi kekerasan,” terangnya. Ia juga sempat mengatakan, karena adanya kekerasan itu, penghasilannya cuma dapat Rp. 5.000.

Kurang lebih, begitulah penuturan seorang ibu yang saya temui enam hari pasca amuk massa tersebut. Bisa dibayangkan, keresahan sosial ini hanya berawal dari seorang yang bernama Antonius Richmond Bawengan, kelahiran 31 Januari 1952. “Dia telah menyebarkan selebaran dan buku-buku. Salah satunya diletakkan di depan rumah Bambang Suryoko,” kata Taufan Sugianto, Sekretaris Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) Temanggung.

Awalnya, pada hari Jum’at tanggal 22 Oktober 2010, kurang lebih pukul 05.00 WIB, dia datang ke rumah saudaranya di lingkungan Kenalan, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Kranggan. Tepatnya, di rumah Lilik Haryono, adik iparnya. Sedianya, ia ingin menuju ke Magelang. Tapi, entah kenapa ia bisa berubah pikiran.

Tapi, pukul 08.00 WIB hari berikutnya, Antonius tertangkap tangan sedang menyebarkan selebaran yang diletakkan dirumahH Bambang Suryoko. Warga kemudian melaporkan perilaku Antonius ini ke Fahrurozi, ketua RT setempat, oleh Fahrurozi, Antonius dibawa ke PolresTemanggung. Sejak 26 Oktober 2010 itu, ia ditahan.

Dan, “Pada tanggal 21 November 2010, oleh kejaksaan Negeri Temanggung berkas pemeriksaan sudah dinyatakan lengkap,” Taufan Sugianto.

Ia menjalani sidang pertama tanggal 13 Januari 2011 dengan agenda pembacaan dakwaan. Kemudian, tanggal 20 Januari, pemeriksaan saksi-saksi. Dilanjutkan lagi 27 Januari dengan agenda pemeriksaan dua orang saksi dan seorang saksi ahli. Terakhir, digelar pada 8 Februari dengan agenda pembacaan tuntutan. Berdasarkan surat dakwaan No. Reg. Perk. : PDM-44/TMANG/EP.2/12/2010 perbuatan terdakwa diancam pidana sesuai pasal 156 huruf a KUHP (primer) dan pasal 156 KUHP (subsider). “Ancaman hukuman menurut ketentuan itu adalah penjara selama lima tahun,” sebutnya.

“Dari kronologi kejadian, sulit menyangkal amuk massa ini semata-mata kebetulan,” tutur Musthofa Haroen, pengajar pada Pesantren Irsyadul Mubtadiin, Ngadirejo. Menurutnya, kekerasan atas nama Islam sebagaimana terlihat dalam insiden di Temanggung ini sejatinya merupakan asumsi keliru sejak dalam pikiran. “Apa pasal?” tanya dia. Sebelum insiden itu, bilangnya, kehidupan antar agama di Temanggung tak pernah mengalami ketegangan. Perbedaan agama, keyakinan, hingga etnis yang tidak menghalangi tegur sapa satu sama lain. “Atau, minimal tidak menjadi penyebab konflik horizontal.”

Malahan, jika dilihat dengan teliti, demikian Musthofa, dalam relasi antaragama dan antaretnis banyak dijumpai keseharian yang menyejukkan. “Contoh, pemeluk Budha di Kecamatan Kaloran selama ini bisa hidup tenang menjalani aktivitas keagamaan. Begitu pula dengan air suci dalam peringatan Waisak di Borobudur itu diambil dan diarak dari mata air Jumprit yang berada di Ngadirejo,” ujarnya.

Meskipun begitu, kejadian di kota dingin lereng Sumbing-Sindoro itu telah merusak bangunan tempat ibadah umat Kristen yang dilakukan oleh sekelompok orang secara tiba-tiba. Sebut saja, Gereja Santo Petrus dan Paulus. “Di sini, masa merusak balai keluarga, pintu masuk gereja dan perabot gereja,” sebut Bambang Arochman, selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Temanggung. Tak hanya itu, berdasar pantauan penulis ketika berkunjung, masa pun juga merusak kaca, mengobrak-abrik kursi, patung, dan langit-langit.

Sedangkan di Gereja Pantekosta, yang terletak di Jalan S. Parman ini, papar Bambang Arochman, masa dapat merusak pagar besi halaman, membakar 3 unit mobil, dan 6 unit sepeda motor. Menurut Priyati (51), jemaat dan juga guru sekolah Minggu ini menyatakan bahwa 2 mobil itu milik jemaat dan yang satunya adalah fasilitas gereja. Adapun di kompleks Graha Shekinah, kata Bambang, masa melakukan pengrusakan kantin, ruang satpam, dan membakar 8 unit sepeda motor. Berdasarkan Natalia Kartika (31), yang selaku kepala sekolah SMA sekaligus SMP Shekinah menyatakan bahwa total kerugian mencapai 240 Juta rupiah. Bangunan Graha Shekinah ini baru berdiri tahun ajaran 2008 dan baru memiliki murid sebanyak 310.

Secara terpisah, buku yang diedarkan Antonius Richmond Bawengan itu berjudul “Ya Tuhanku, Tertipu Aku!” (tebal 60 halaman) dan “Saudara Perlukan Sponsor!” (tebal 35 halaman). Dalam buku “Ya Tuhanku, Tertipu Aku!” diawali dengan penghampiran sebuah cerita yang berbunyi, “Onta Yang Bodoh!” Dituliskannya, onta adalah binatang bodoh bila dibandingkan dengan kecerdasan manusia yang memanfaatkannya! Pada gambar sampul, jabarnya, betapa cerdiknya manusia: pandai ‘memancing’ ontanya dengan seberkas rumput di depan hidungnya, sehingga onta itu mencoba meraih rumput itu seraya melangkah maju, menarik bebannya, untuk keuntungan manusia itu.

BAGIKAN: