Dari Betawi?

Alkisah. Hiduplah di Surabaya, seorang petani bernama Cak Trimo, bersama istrinya tercinta. Keluarga ini berangsur-angsur mengalami kesulitan ekonomi yang makin lama makin parah. Di tengah kemarahan sang istri yang tiada henti (karena tiap hari kelaparan), Cak Mo (demikian ia akrab dipanggil) berpikir keras bagaimana caranya agar bisa mendapatkan uang dengan mudah, tapi halal.
Sampailah ia kemudian menemukan gagasan yang cemerlang. Cak Mo ingat bahwa tiap tahun masyarakat Surabaya selalu mengadakan pesta rakyat, yaitu setelah mereka melakukan panen raya. “Aku ingin membuat hiburan yang menarik dan menggembirakan mereka. Dan mereka pasti mau membayar mahal hiburanku.”

Singkat cerita, suami istri ini lalu sangat rajin berlatih membuat hiburan setiap hari. Cak Mo sebagai pemain yang menari dan berdendang, sementara istrinya bertugas menabuh gamelan. Tarian Cak Mo sangat khas, dengan gerak kaki yang selalu menjejak ke tanah, yang dalam istilah Jawa disebut nggedruk.

Setelah merasa siap, keduanya mulai memperkenalkan tarian hiburannya itu ke tengah masyarakat Surabaya. Makin hari tarian Cak Mo makin dikenal masyarakat. Sehingga sewaktu akan diadakan pesta rakyat setelah panen usai, Cak Mo dan istrinya diundang untuk menampilkan kesenian itu di pesta. Dan sudah pasti, para pengundang yang habis panen itu akan memberinya uang yang banyak.

Dan ketika pesta rakyat digelar, suasana pun sangat semarak. Seluruh penduduk daerah Surabaya keluar dengan pakaian yang bagus-bagus. Sejumlah pedagang dari luar kota berdatangan dengan membawa dagangan yang bermacam-macam jenisnya. Termasuk para pedagang yang berasal dari Jakarta. Mereka semua pada terpingkal-pingkal ketika mendengar kidung atau tembang berpantun yang dibawakan Cak Mo bersama istrinya. Karena kidungan atau tembang berpantun yang dibawakan Cak Mo kebanyakan berisi kisah-kisah yang lucu.

Seraya melagukan kidungnya, Cak Mo juga menari-nari. Kakinya yang memakai rangkaian kelinting dijejak-jejakkan atau digedruk-gedrukkan ke tanah. Terdengarlah suara yang berbunyi pying-pying diantara suara tetabuhan yang dipukul istri Cak Mo. Seorang pedagang pakaian yang berasal dari Jakarta yang juga datang ke pesta itu pun dibuat tergelak melihat tarian Cak Mo yang aneh itu. Sambil terus tertawa-tawa, pedagang dari Jakarta (Bertawi?) itu pun menghampiri Cak Mo yang sedang asyik menggedruk-gedrukkan kakinya yang berkelinting.

“Lu nggedruk, lu nggedruk…” kata pedagang pakaian itu dengan dialek Betawinya. ‘Lu’ dalam bahasa Betawi berati ‘kamu’. Jadi yang dikatakan pedagang itu adalah ‘kamu nggedruk, kamu nggedruk’. Orang-orang Surabaya, mungkin karena geli mendengar ucapan orang Betawi itu, ikut-ikutan menirukan ucapan orang Betawi, tetapi dengan cara yang dipendekkan, “Ludruk, Ludruk”. Karena kata-kata pedagang dari Jakarta itulah hiburan yang ditampilkan oleh Cak Mo dan istrinya kemudian oleh penduduk daerah Surabaya dinamakan Ludruk. Sejak saat itu, Cak Mo dan istrinya sangat laris mendapat undangan untuk mementaskan seni ludruknya sehingga lambat laun ia menjadi kaya.

James L Peacok dari Universitas Chicago dan juga Carl J Hefner dari Universitas Hawaii yang pernah sangat lama meneliti kesenian Ludruk Jawa Timur, barangkali akan terkejut dengan kisah ini. Bagaimana mungkin jenis kesenian yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat Jawa Timur ini ternyata penamaannya justru diberikan oleh orang Betawi?

Tetapi masyarakat Jawa Timur, khususnya penggemar Ludruk, mungkin tak perlu memasukkannya dalam hati. Karena kisah yang diambil dari sebuah buku yang ditulis Suripan Sadi Hutomo dan Setya Yuwana Sudikan berjudul Cerita Rakyat Dari Surabaya (Grasindo, 1996) ini, lebih dimaksudkan sebagai mutiara hikmah, khususnya kepada anak-anak sekolah, bahwa intinya orang itu harus kreatif dan berusaha semaksimal mungkin untuk menggapai cita-cita. Tetapi jika Anda belum puas, ada baiknya jika kita menulis sejarah sendiri. Bukankah itu lebih produktif? Desantara / Miftahudin

BAGIKAN: