Sebuah Kronik Penolakan RUU Pornografi di Indonesia. “RUU Pornografi akan digedok bulan Oktober,” tulis seorang kawan yang tergabung dalam aliansi masyarakat sipil menolak Rancangan Undang Undang (RUU) Pornografi, lewat sebuah pesan singkat, SMS. RUU yang menyoal tentang tubuh (perempuan) dan moralitas itu menuai pro dan kontra selang tiga tahun terakhir. Awalnya RUU kontroversial itu muncul dalam bentuk draf rancangan berjudul “Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi” atau RUU APP Masyarakat sipil yang tergabung dalam aliansi nasional bhineka tunggal ika menolak RUU yang dianggap mengancam integrasi bangsa itu untuk disahkan sebagai undang-undang. Mereka menolaknya mentah-mentah pada tahun 2005 lalu. Sekarang RUU itu muncul lagi dengan judul yang baru: RUU Pornografi.
Siang yang mendung itu menuntun barisan masyarakat sipil tolak RUU Pornografi bergerak, merapat, mendekati Gedung DPR RI di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Jumlah mereka kurang lebih 300 orang. Jumlah yang tidak banyak, jika dibandingkan dengan aksi penolakan yang sempat dilakukan di berbagai daerah di tanah air. Meski berjumlah relatif sedikit, namun aksi yang dilakukan pada tanggal 23 Oktober itu adalah sebuah amanat masyarakat sipil dari berbagai wilayah di Indonesia, untuk menolak pengesahan RUU Pornografi di Ibukota, Jakarta.
Massa terdiri dari beberapa elemen pendukung. Di garis depan nampak anak-anak muda berjaket hijau, membentangkan spanduk bertulis “RUU Pornografi melanggar Pancasila dan UUD 45.” Mereka adalah mahasiswa Universitas Nasional (UNAS) yang turut prihatin akan nasib bangsa ini. Di belakangnya menyusul barisan NGO perempuan dan anak, serta komunitas LGBT. Mereka membawa beranekaragam poster dan tulisan yang diangkat tinggi-tinggi, sengaja agar terlihat jelas dari kejauhan. Sebuah mobil pick up warna hitam berjalan lambat di depan barisan massa, mengangkut beberapa orang yang bertugas sebagai koordinator lapangan atau korlap.
Keamanan dipersiapkan. Polisi-polisi dari Polda Metro Jaya sudah menunggu barisan yang bergerak lambat itu sejak pukul duabelas siang. Satuan Samapta diturunkan berbekal seutas tali tambang yang dibentangkan persis di depan pagar gedung DPR RI. Mereka berbaris satu banjar sambil menggenggam kuat bentangan tali tambang itu. Sesaat, gedung DPR RI nampak seperti benteng Takashi –sebuah acara permainan di Jepang yang pernah disiarkan TVRI awal tahun 90-an mengenai permainan perang-perang-an merebut sebuah benteng bernama “Takashi”– yang selalu dijaga ketat dan siap menerima serangan kapan pun juga.
“Tolak RUU Pornografi, sekarang juga!” Yel-yel yang diteriakkan sang koordinator aksi disambut dengan gegap gempita oleh massa yang kian bersemangat. Mobil komando aksi berhenti tepat di depan pintu gerbang DPR RI. Sekejap, massa nampak memenuhi halaman depan pintu gerbang dengan terus meneriakkan keluh penolakan pengesahan RUU yang mengancam persatuan bangsa itu. Tanpa kenal lelah, mereka terus berupaya menyuarakan aspirasinya.
Satu-persatu perwakilan dari masing-masing elemen masyarakat sipil tolak RUU pornografi naik-turun mobil, bergilir, melakukan orasi. “Saudara-saudara, Pak Polisi, bagaimana cara kita membuktikan sesuatu yang dapat membangkitkan hasrat seksual!” teriak Ayu Utami –penulis novel Bilangan Fu yang mengikuti prosesi aksi dari awal– muncul dari kerumunan massa menuju bak mobil pick up, menjelang giliran, sesaat ketika salah satu orator mengundangnya naik. Sebelumnya, bunyi “…membangkitkan hasrat seksual…” pasal 1 ayat 1 draf RUU menjadi bulan-bulan-an para demonstran, menggugurkan basis logika para pembuat kebijakan. Masyarakat penolak khawatir, jika RUU itu benar-benar disahkan, hampir bisa dipastikan, kaum perempuan segera menyesaki ceruk-ceruk sel tahanan di pelosok negeri ini.
Mendung kian membayang. Gerimis menitik di tiap dahi demonstran. Sedikit, tapi rata. “Kawan-kawan, aksi kita belum selesai, mari kita rapatkan barisan,” seru korlap. Massa pun masih menggebu-gebu meneriakkan penolakan pengesahan RUU Pornografi, abai akan gerimis yang berubah menjadi hujan lebat. Mereka mahfum jika aksi itu bukanlah aksi penolakan yang terakhir. Masih banyak jalan yang bisa mereka tempuh untuk menggagalkan pengesahan draf RUU itu menjadi sebuah undang-undang. Aksi damai berlangsung kurang lebih selama dua setengah jam, berakhir dengan tertib tanpa meninggalkan jejak-jejak rusuh bagi para petugas kebersihan di sekitar pagar gedung yang megah itu. Hanya spanduk bertuliskan “RUU Pornografi Melanggar Pancasila dan UUD 45” sengaja dibentangkan di pagar, samping pintu utama, sebagai pesan dan kritik atas sikap anggota dewan yang acuh. Hujan berangsur-angsur reda, satu persatu orang mulai meninggalkan halaman gedung dengan pakaian basah. Suasana menjadi agak lengang, sepi. Demonstrasi menolak RUU Pornografi hari itu pun usai. Jejak kiruk pikuk sepanjang siang nyaris lenyap, seperti hari-hari biasa. Jalan Gatot Subroto masih padat lalu-lalang kendaraan, seolah tak pernah tahu panasnya gesekan politik di gedung perwakilan rakyat.
Tiga hari sebelum aksi penolakan RUU Pornografi di gedung DPR RI dilaksanakan, tanggal 20 Oktober 2008, Komnas Perempuan sempat menyelenggarakan dialog publik untuk mengkritisi keberadaan RUU itu. Beberapa tinjauan kritis ditujukan untuk melihat kesesuaian RUU Pornografi dengan budaya masyarakat, dinamika sosial-politik, dan demokrasi, di tanah air. Nampak hadir dalam dialog publik, orang-orang yang selama ini dekat dengan dunia akademis dan pakar dalam bidang hukum serta kebudayaan. Beny Hoed dan Yudi Latif, nampak mendapat perhatian dalam setiap argumentasinya: menentang keberadaan RUU Pornografi di Indonesia. Dari sisi kebudayaan, Beny pesimis dengan keberadaan RUU tersebut. Ia menganggap istilah “busana” sebagai penanda budaya antara manusia dengan makhluk lain, bersifat multitafsir sesuai dengan tradisi dan kebudayaan sebuah masyarakat. Tata nilai dan norma tertentu menempel pada setiap konsep busana yang dikenakan pada tubuh manusia. Di sisi lain, sistem patriarki telah melanggengkan nilai-nilai perilaku baik dan buruk pada busana yang dikenakan oleh perempuan.
Menurut Beny, RUU Pornografi banyak mengatur tentang kepantasan (perempuan) dalam berbusana, gerak-gerik tubuh, sampai intervensi estetika karya-karya seni, dan bagaimana semua hal itu tidak membangkitkan hasrat-hasrat seksual. Substansi RUU itu sendiri bertentangan dengan judul RUU tentang Pornografi. Secara harfiah Porne bermakna pelacur, dan graphein bermakna tulisan. Sehingga makna pornografi kurang lebih sebagai sebuah cerita mesum dalam bentuk tulisan. Pada tingkat pengunaan kata atau istilah, RUU Pornografi bertentangan antara makna harfiah dan fungsinya sebagai undang-undang yang mencoba mengatur, membuat batasan, dan ukuran-ukuran moralitas. Singkatnya, RUU tersebut mencoba mengkualifikasi sesuatu yang mustahil menjadi peristiwa kriminal dengan sanksi-sanksi pidana.
Meski memiliki muara argumentasi yang sama, Yudi Latif memiliki cara pandang yang agak berbeda dalam melihat RUU Pornografi terkait dengan dinamika sosial-politik di tanah air. Ia melihat RUU tersebut sebagai proses pe-liyan-an, terhadap seluruh kaitan aktivitas ataupun sekelompok orang yang dianggap “menyimpang” dari anasir-anasir moralitas dan nilai kepantasan. Secara langsung RUU tersebut bisa menimbulkan keresahan sosial, lantaran bisa memberikan mandat bagi setiap orang untuk menjadi “polisi moral.” Setiap orang, atas nama kepantasan, bisa melakukan berbagai justifikasi moral terhadap orang atau golongan tertentu. Selanjutnya, bisa dipastikan jika keresahan sosial yang terjadi secara masif akan memicu keresahan lain yang lebih luas: keresahan politik. Jika keresahan politik tersebut terus berakumulasi dan tidak dapat diatasi, maka ancaman disintegrasi telah menunggu di ambang pintu perpecahan bangsa.
Perjuangan ekstra parlementer aliansi masyarakat sipil menolak RUU Pornografi nampaknya mendapat ujian berat. Pada hari Kamis, 30 Oktober 2008, RUU Pornografi sah menjadi undang-undang. RUU Pornografi disahkan, setelah sebelumnya mengalami proses sidang yang panjang. Tercatat hanya dua fraksi yang menyatakan keluar dari sidang, Fraksi PDI-P dan Fraksi PDS, selain beberapa anggota Golkar dan PKB yang juga tidak sepakat dengan pengesahan RUU Pornografi, menjelang pengesahannya menjadi undang-undang. Pada hari itu, beberapa NGO dan lembaga perempuan menyatakan sikapnya dengan masing-masing pernyataan pers. Antara lain, mereka menganggap bahwa pengesahan RUU Pornografi terkesan dipaksakan, sehingga legislatif dan eksekutif tak bisa hindari jebakan politisasi moralitas dan agama. Seruan-seruan protes dan penolakan masih bergaung beberapa saat setelah palu ketua sidang menggedok mengesahkan RUU Pornografi menjadi undang-undang. Dan, perjuangan pun belum usai.