Malam itu hujan mengguyur. Udara dingin menusuk tulang. Di ujung Desa Kemiren, Banyuwangi, tersua panggung gandrung terop lengkap dengan panjak dan niyaga pengiring pengantin. Tata panggungnya sederhana. Pencahayaan seadanya. Dari belakang muncul gandrung Temu melenggok, mengibaskan sampur, dan menggoyang pinggulnya yang sintal diiringi dua gandrung muda.
Gandrung Temu begitu bertenaga. Tak tersirat usianya yang telah separuh abad lebih. Di wajahnya tebersit gurat bahagia. Pipi merona merah, kulit langsat bersinar, dan mata berbinar. “Itu berkat srensen,” kata perias Temu. Konon srensen dipakai agar si gandrung tampak cantik memikat.Menguasai tembang-tembang klasik, Temu juga piawai menyapa penonton dan melayani pemaju gandrung tanpa pilih-pilih. Sesekali tangannya bergerak cepat, menangkis keisengan pemaju. “Kalau ada yang mau mencium, omprok (mahkota) ini senjata saya,” kata Temu.
Tak ayal, dalam saban pentas gandrung Temu selalu jadi primadona.Keunikan suara Temu menyeruak hingga menggugah rasa ingin tahu banyak peneliti atau etnomusikolog, dari dalam dan luar negeri. Bagi para peneliti, Temu juga merupakan sebuah korpus ilmu pengetahuan etnik yang unik. Kepopuleran Temu sampai mendorong para peneliti menjalin kerja sama dengan organisasi nirlaba dan lembaga donor internasional. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Ford Foundation (FF), serta Center for Folklife Programs and Culture Studies Smithsonian Institution mensponsori proyek Seri Musik Indonesia, menghasilkan album bertajuk Nyanyian Menjelang Fajar: Gandrung Banyuwangi.Pada Juni 1953, Ford Foundation membuka kantor pertamanya di Jakarta, hanya satu kamar di Hotel des Indes. Selama 50 tahun Ford Foundation dan mitra kerjanya di Indonesia memberikan dukungan hibah berupa proyek seni budaya, seperti penelitian dan dokumentasi budaya, pelestarian benda dan penguatan kedudukan akademis dari ilmu seni budaya, khususnya etnomusikologi.[….]
Fokus baru, Ford Foundation bersama MSPI adalah memprakarsai sebuah proyek penelitian mengenai dampak dari Undang-undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) terhadap kesenian tradisional; dan juga proyek revitalisasi untuk menjamin pewarisan kesenian tradisional dari seniman-seniman generasi lama ke generasi baru (Philip Yampolsky, Program Officer Art and Culture, Jakarta, Desember 2005).
Kajian dan analisis tentang gandrung menembus batas negara. Peneliti asing seperti Joh Scholte, Paul A Wolbers, Bernard Arps, dan Philip Yampolsky singgah lama di Banyuwangi. Temu mengenang, “Saya kenal Pak Philip tahun 1980. Terus dia tanya, gerakan apa itu? Saya jawab ini tarian terbang…!”
Dari perjumpaan yang liat itu, Philip Yampolsky, musikolog dan pejabat program Art and Culture, Ford Foundation, merekam Temu pada 15 Oktober 1990 di Kemiren.Angka fantastisSebelum kenal Philip Yampolsky, pada 1975 Temu telah masuk industri rekaman di Banyuwangi. Album kompilasi Temu, Disco Etnik Banyuwangi, yang direkam Sandi Record mampu menembus angka penjualan fantastis: 50.000 VCD dan 10.000 kaset dengan distribusi meliputi Jawa, Madura, dan Bali. Ironisnya, aktor penting di balik label Sandi Record mengeluh merugi walaupun mereka mengantongi untung Rp 350 juta. Toh, karena masih bisa bernegosiasi, Temu menganggap honor Rp 1 juta per lagu cukup baik. Temu sadar terseret arus modal yang sangat besar dari industri rekaman. Kini ia berurusan pula dengan organisasi nirlaba serta lembaga donor internasional.Sekeping CD Song Before Dawn yang dinyanyikan Temu dan tergeletak di meja ruang tamu Temu telah membuka arah jalan penelitian saya (yang berlangsung di Desa Kemiren, Desa Olehsari, dan Kota Banyuwangi 2 Agustus-2 September 2007, dilanjutkan di Kota Jember 3-13 September 2007). Begitu saya telusuri, ternyata CD itu (edisi Indonesianya bernama Gandrung Banyuwangi) dijual di Toko Buku Kalam, Jakarta. Pikir saya, bila CD-nya bisa dibeli bebas di Jakarta, tentu jalur distribusinya meluas ke aras internasional. Dugaan saya tepat! CD Song Before Dawn didistribusikan ke berbagai negara, dari kawasan Asia Pasifik, Uni Eropa, Eropa Timur, Amerika Serikat dan Amerika Latin dalam format CD, kaset, dan unduhan (download) via internet. Saya tak mengira bila penelitian tentang gandrung Temu akan melompat dari aras lokal menuju global.Bila benar CD Song Before Dawn tak dikomersialkan, mengapa ia diperjualbelikan sedemikian luas? Jalur distribusinya mudah dilacak di internet. Di amazon.com (AS), misalnya, harga per keping CD Temu 16,98 dollar AS, MP3 unduhan 8,99 dollar AS, dan unduhan 0,99 dollar AS per lagu. Di amazon.com (Perancis), harga per keping CD 20 euro dan MP3 unduhan 8,99 euro.Pada medio Juli 1992, amazon.com (AS) mencatat angka penjualan album CD Song Before Dawn sebanyak 284.999 keping (dalam tempo 24 jam). Bila dihitung dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS (Rp 189.900/CD), hasilnya Rp 550.418.102.000. Angka yang fantastis!Pada 8 Februari 1991 amazon.com (Perancis) mencatat angka penjualan CD Song Before Dawn 261.752 keping. Bila dihitung dengan kurs Rp 14.000 per euro (Rp 280.000/CD), hasilnya Rp 73.290.560.000. Angka Rp 73.290.560.000 ini hanya dari penjualan CD Song Before Dawn, belum termasuk penjualan kaset atau MP3 unduhan.Dalam kurun tahun 1992–1997, kurs rupiah atas dollar AS ada di kisaran Rp 2.500– Rp 5000 (sebelum terjadi krisis moneter pada Juli 1997), begitu juga kurs rupiah atas euro. Toh, bila dihitung dengan kurs Rp 2.500 (Rp 42.450/CD), tetap saja pendapatan dari penjualan CD Song Before Dawn masih sangat besar, Rp 12.310.457.550. Saya tidak bisa memastikan berapa angka penjualan album Song Before Dawn tahun-tahun terakhir (2000-2007) saat kurs rupiah atas dollar AS mencapai Rp 10.000. Hingga tahun 2000-an, penjualan album Song Before Dawn masih bisa dilihat di situs Smithsonian Global Recordings (AS) seharga 15.00 dollar AS/CD dan amazon.com (Perancis) seharga 20 euro/CD.Dari berbagai situs toko musik online di pelbagai negara— kecuali Uni Afrika dan Timur Tengah—yang dapat saya catat, tampak bahwa CD Temu tak hanya dijual di amazon.com (AS) dan amazon.com (Perancis). Penjualan juga dilakukan oleh CdeMusic (Distribution Program of Electronic Music Foundation) yang memiliki jaringan internasional, seperti CdeMusic Store Jepang (17.00 dollar AS/CD), CdeMusic Store Australia, CdeMusic Store Perancis, dan CdeMusic Store California.Selain di amazon.com Jepang (2.500 yen/CD), amazon.com Inggris, amazon.com Kanada, MSN Encarta Elderscroll-Spanyol, MSN Music, Fonoteca Municipal, Musicme, Music Greenwater-Rusia, JSTOR (12 dollar AS/CD), Barnes & Noble.com (16,99 dollar AS/CD), Best Price, Halfvalue.com (16,98 dollar AS/CD), YouTube Broadcast Amerika, YouTube Broadcast Polandia, The Hamilton-Wenham Public Library, Fatchancla, Wmfv.org-New Jersey City, Zoo Keeper Online dan Smithsonian Global Recordings (15 dollar AS/CD dan 10 dollar AS/kaset, Love Online (15 dollar AS/CD), Muzprosvet—Rusia, Aiaa.org.au (Rp 45.000/CD belum termasuk ongkos kirim), Music.wenchoice.com (16,98 dollar AS/CD), New Reader, Skuntry.com, Amusicarea.com, Hmvo.co.jp (1.568 yen/CD), Worldmusic Store (15,99 dollar AS/CD), Media-maniac.com, Culta.com, CDe Music.org (17 dollar AS/CD), Dgdiffusion.com, Folkways, Homeswipnet, Emusic.com, Download Store, Fonoteca.cm.lisboa, Technobeat.com, Caroline.hartfordpl, Swan.mls.lib, dan Answer.com (15 dollar AS/CD). Bahkan, amazon.com (Perancis) mengategorikan album Song Before Dawn sebagai “Various Artists” (bertanda bintang lima).Siapa tak takjub dengan prestasi luar biasa Temu ini? Namun, coba bayangkan, Temu cuma diupah Rp 60.000 dengan perhitungan 10 jam bekerja, dari pukul 7 pagi hingga 5 sore. Atau, Temu hanya mendapat upah Rp 6.000 per jam. Sementara di Amerika Serikat, yang jaraknya berjuta-juta mil dari Desa Kemiren, CD Song Before Dawn terjual 12.000 keping (hanya di satu toko online). Berarti pendapatan dari penjualan CD Temu: Rp 2.278.800.000 (total dalam satu jam). Ironisnya, tak sepeser pun uang royalti diterima Temu. Kabarnya, suara Temu juga dijadikan soundtrack film Hollywood, berdurasi 5 detik. Lagi-lagi tanpa royalti.Peredaran uang dari penjualan CD, kaset, dan unduhan Song Before Dawn sangat besar. Ke mana muara pusaran uang itu? MSPI, FF, dan Smithsonian Institution harus bertanggung jawab atas kelalaian—HAKI—Temu dan hak komunal masyarakat Banyuwangi (penggunaan syair-syair klasik gandrung di album Song Before Dawn).Dalam UU Hak Cipta RI No 19/2002 disebutkan, bila lagu dan penciptanya anonim, pada bagian ke 3, Pasal 10 Ayat (2): Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Seharusnya, seperti pada Ayat (2), dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.Ketidakadilan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan jerat kapitalisme global terhadap Temu. Ia telah dimanipulasi untuk kepentingan “lembaga”. “Lembaga asing yang mensponsori Temu punya maksud lain,” kata Kusnadi, antropolog maritim di Universitas Jember. “Mereka diuntungkan, sementara Temu terpinggirkan.”Aekanu Hariyono, Humas Dinas Pariwisata, menilai positif kepedulian MSPI, FF, atau Smithsonian Institution terhadap kehidupan seniman tradisi di Banyuwangi. Ditanya tentang album Temu yang direkam Philip Yampolsky, ia berujar, “Justru saya bangga sebab Temu dikenal banyak orang. CD Temu bukan dikomersialkan, tetapi hanya untuk bahan kajian musik tradisi. Cuma saya yang punya CD itu, tidak dijual di toko kaset di Banyuwangi!”Pada tahun 1991, Smithsonian Folkways Recordings mengeluarkan publikasi resmi di AS dalam edisi Indonesia Seri Musik Indonesia ditulis oleh Rahayu Supanggah (etnomusikolog), Endo Suanda (Ketua MSPI), dan Philip Yampolsky (FF). Dalam pengantarnya Endo Suanda menuturkan, “Salah satu pemikiran utama MSPI dan Smithsonian Institution untuk mensponsori penerbitan Seri Musik Indonesia (Album Gandrung Banyuwangi), yakni untuk menghargai dan memupuk kehidupan budaya yang majemuk. Jadi penerbitan musik yang kurang dikenal ini sama sekali tidak disertai niat untuk menunjukkan atau apalagi mengeksploitasi eksotisme kesenian kita sendiri.”Padahal, hak cipta album Song Before Dawn dipegang Smithsonian Institution yang bermarkas di Washington DC tanpa memberi royalti kepada Temu. Di luar itu, di berbagai toko musik online, saya mencatat pelanggaran HAKI berupa penyalahgunaan karya foto bergambar Gandrung Mudaiyah untuk sampul album Song Before Dawn serta penghilangan nama Temu sebagai penyanyi dan Basuki sebagai penyanyi latar. Yang disebut hanya: “Musik of Indonesia, Vol 1, Song Before Dawn”.Ketika bertemu Mudaiyah, saya perlihatkan sampul Song Before Dawn. Ia tidak tahu-menahu. “Saya gak merasa diajak siapa pun.” Berkali-kali saya bertanya, kenalkah ia dengan Philip Yampolsky? Mudaiyah menjawab tegas, “Kenal Philip saja tidak, apalagi diajak kerja sama.”Pada 12 Agustus 2007 saat menghadiri Mocoan (tradisi membaca lontar dari tafsir Surat Yusuf), saya bersua dengan peneliti Belanda, Bernard Arps, akademikus Universitas Leiden dan penulis buku Tembang in Two Traditions: Performances and Interpretations of Javanese Literature. Tampaknya Bernard berkawan baik dengan Philip Yampolsky. “Saya kenal Philip sejak 1980-an,” katanya. Ketika saya singgung soal album Song Before Dawn yang dikomersialkan, ia menjawab, “Philip itu orangnya fair, njunjung dhuwur istilah Jawa-nya. Entah kenapa bisa begitu? Saya yakin Philip punya itikad baik.” Menurut Bernard, di Amerika sudah lumrah bahwa rekaman musik folklor dikomersialkan oleh Smithsonian Global Recordings. “Barangkali tidak hanya CD Temu, tetapi banyak musik folk yang lain. Sayangnya, saya tak tahu kesepakatan Temu dengan Philip seperti apa?” kata Bernard yang fasih berbahasa Indonesia, Jawa, dan Using.Inikah risiko globalisasi yang melahirkan kebebasan teknologi dan pasar bebas yang dibingkai apik oleh kapitalisme? Artinya, pasar bebas hanya menguntungkan “raksasa modal”. Apa yang diperoleh Temu? Tak sepeser pun uang! Kemajuan materi tak memberi sumbangan yang berarti bagi Temu walaupun hal itu membuat seni tradisi lebih bernilai. Benar kata Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, “Globalisasi tidak otomatis menguntungkan orang miskin!”Kekesalan”Duh, mau beli salon (pelantam) saja gak nyampek duite,” kata Temu. Kekesalannya membuncah. Profesi yang ia lakoni sejak tahun 1969 itu tak memberinya kemapanan. Tekanan ekonomi juga dirasakan panjak Temu bernama Basuki yang biasa disapa sebagai Pak Uki (75). “Tahun 1970-an dulu gandrung bisa dapat 30 kali tanggapan dalam sebulan. Sekarang sepi!” kata Basuki. “Dua bulan gak ada tanggapan sama sekali. Sampai gelas digadaikan untuk makan!”Beruntung, Temu masih menerima bagi hasil dari sepetak sawah warisan. Ia juga menjual peyek dengan menitipkan di warung tetangga. “Penghasilan gak pasti,” kata Temu. Upahnya dari gandrung terop Rp 250.000, selain itu Temu nyinden di acara hajatan dengan upah Rp 100.000, dan di saat musim kampanye pilkades ia diupah Rp 60.000.Temu dimiskinkan secara ekonomi. Ia hanya ditarik ulur demi dalih menumbuhkan seni tradisi lokal. Kusnadi, peneliti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Jember, melontarkan kritik tajam kepada peneliti yang oportunistik, “Peneliti bertanggung jawab moral terhadap Temu. Peneliti harus memberi umpan balik kepada pihak yang diteliti. Jadi, bukan sekadar ajang prestise atau prestasi akademik.”Temu dipermainkan birokrasi lokal, misalnya diberi award dari Kanada pada 14 Agustus 2001. Padahal, itu award palsu! Aekanu Hariyono dari Dinas Pariwisata mengakui bahwa “award” itu dibesar-besarkan. Itu hanya plakat dari pemerintah daerah yang diberikan ke Temu, (tapi) seolah-olah datang dari Kanada,” katanya.Terakhir kali saya bersua dengan Temu, ia menghela napas panjang sambil menyodorkan buku suntingan Philip Yampolsky bertajuk Perjalanan Kesenian Indonesia. Di buku itu Yampolsky menuturkan kisah Temu, “Saya akan terus menari sampai saya tidak laku”. Temu seolah menyindir kehadiran saya, seperti halnya Yampolsky. Orang-orang cuma datang mengunjunginya, lalu pergi. “Ah, kabeh lali. Sing kuoso sing mbales!” kata Temu. Farida Indiriastuti. Kompas Sabtu, 03 November 2007