Dari Sekolah Multikultural Desantara yang Tak Besar-Besar

desantara-default

Desantara.or.id

Kalau menarik ke fokus pelatihannya, sekolah multikultural, kita tidak akan percaya dengan kenyataan peserta yang hanya membicarakan hal-hal kecil pengalaman mereka menyikapi perbedaan dan mengelolanya. Kita lebih percaya sekolah multikultural ini sebagai sekolah bebas yang mencoba merenda kesederhanaan gagasan mulai dari tingkat yang kecil-kecil. Mencoba mencatatkan hal-hal kecil di sekitar sekolah yang memberi pesan-pesan untuk diapresiasi.

Sekolah multikulturalisme ini sesungguhnya adalah sekolah yang bertujuan untuk memfasilitasi peserta untuk mengenal gagasan multikulturalisme dan pengalaman multikulturalisme yang dialami oleh peserta. Dari sini kemudian fasilitator akan memberikan jalan agar gagasan yang dituliskan oleh semua peserta dielaborasi dan untuk selanjutnya ditingkatkan kualitas tulisannya. Tanpa peserta merasa diarahkan dan tanpa merasa disuruh untuk membikin tulisan dan meningkatkan kualitas tulisan. Strategi-strategi yang dijalankan oleh fasilitator dengan memberikan seluas-luasnya ruang untuk imajinasi peserta jalan dengan liar dan kemudian demi membantu menuliskannya dan menambah akurasi imajinasi penulisan yang liar dari peserta mereka menstimulasi dan memberikan semangat-semangat untuk kita menulis. Untuk tulisan kita lebih berdasarkan kenyataan dan tidak sekedar imajinasi kita diberikan ruang untuk mengobservasi dari tema dan situs-situs yang hendak kita tuliskan. “Lebih baik menuliskan dari pengalaman kecil-kecil dan ditambah sedikit imajinasi untuk merangkai teori dan tulisan yang akan kita tulis di banding hanya mengkliping pendapat-pendapat orang demi kesan ilmiah dan berbobot. Tulisan dengan lebih mementingkan kutipan teori-teori tanpa mengalami yang dituliskannya akan lebih hambar dan diragukan. Kalau hanya menawarkan teori orang lain, orang akan lebih memilih tulisan orang yang mengeluarkan teori tersebut dibanding membaca tulisan kita yang hanya mengambil bagian-bagian kecil dari tulisan teoritisi yang kita kutip pikirannya dalam tulisan kita,” ungkap fasilitator.

Dari aktifitas menulis, persentasi dan refleksi ternyata lebih memberikan ruang-ruang kreatifitas yang lebih luas bagi pengembangan pikiran kawan-kawan peserta. Penulis sendiri merasa diberikan ruang-ruang ekspresi yang begitu lapang sehingga tulisan yang saya tulis dari hasil observasi singkat di lapangan tentang kecapi simponi di kota Rappang. Lebih menarik diberikan keluasan secara bebas belajar dan berpikir dibanding harus diberikan materi dengan pola-pola lama: pemateri subjek dan peserta adalah objek yang harus dipintarkan. Di sini kita menemukan kesederhanaan direnda ,“kita sama-sama belajar menulis. Di sini tidak ada yang lebih pintar,” seru salah seorang fasilitator di sela diskusi.

Untuk mengetahui bagaimana pelatihan ini menurut kawan-kawan lain, untuk tidak terjebak pada perasaan saya pribadi, saya menanyakan pengalamannya mengikuti sekolah multikultural ini dan dari pertanyaan-pertanyaan ini saya temukan kawan-kawan puas menjalani pelatihan yang tidak seperti pelatihan ini. Ia lebih mirip sekumpulan orang belajar bersama dan berfikir tentang pelajaran secara bersama-sama dibanding pelatihan yang biasanya menonjolkan pola lama subyek-obyek tadi. Di sini pengetahuan (multikulturalisme dan penulisan) yang kita gali bersama, bukan ada yang lebih pandai dan mengajarkan yang kurang pandai.

Penulis sendiri masih berfikir apakah ini metodologi yang diskenariokan oleh fasilitator untuk menunjang kesuksesan proses kreatif kawan-kawan peserta ataukah ini hanya pembacaan kontekstual dari kondisi ril peserta. ’Yang pasti ini asik pelatihannya’ kata Dayat yang berbincang dengan penulis di sela istirahat. Metode yang mendewasakan ini memang memberi efek pada bagaimana belajar adalah kebutuhan masing-masing individu bukan kepentingan salah seorang untuk memaksakannya pada yang lain.

Dari metodologi sederhana ini pikiran saya tentang pelatihan yang dirancang ketat sebagaimana pelatihan jurnalistik atau pelatihan penulisan ditempat lain sontak terbantahkan sejak pertama kali masuk ruangan untuk perkenalan dan diskusi ini memabantah apa yang ada dalam kepala saya tentang hal-hal besar dari pelatihan mewah yang ketat. “Ini pelatihan sederhana yang membebaskan” kata Risman Tamar di waktu istirahan makan siang hari ke – 6.

Dari pelatihan sederhana ini saya mendapatkan pengetahuan tentang penulisan, multikulralisme dan banyak lagi langkah-langkah dalam penelitian dan penulisan yang diperkenalkan tanpa saya sadari. Sekolah ini membentangkan kita imajinasi tentang multi kulturalisme yang demikian besar dan luas dengan memberikan kita cerita-cerita tentang pengalaman yang remeh temeh. Tapi dengan itu saya, dan beberapa orang yang saya dengar kesaksiannya tentang pelatihan ini mengaku mendapatkan banyak hal. Cimenk misalnya mengaku termotivasi untuk menulis padahal sebelumnya belum pernah menulis. Opik, Syarif, dan Dayat juga mengakui bahwa ada hal yang lebih penting dari sekedar menerima materi yang biasa dalam pelatihan-pelatihan konvensional yang menawarkan indoktrinasi dan ketergantungan.

“Di sini kita diajar mandiri dan tidak melulu berfikir yang besar-besar tentang multikulturalisme”, kata Dayat, yang menjadi peserta karena diutus oleh organisasi kepemudaan NU ini.

“Bisa gemuk kita di sini. Makan teratur, tidur baik, olah raga dan tidak berfikir keras. Di sini kita santai” imbuh Cimenk, sebutan akrab risman Tamar.

Betapa yang tergambar dari pelatihan ini, kalau mengikuti Cimenk, di sini tergambar betapa kita tidak merasa belajar diajar disini. Tapi yang luar biasa kita dapat banyak hal tanpa merasa yang besar-besar tentang teori-teori rumit kita dapatkan di sini. Kita merasa mendapatkan yang lebih dari hanya sekedar teori.

Inilah yang tak besar-besar tapi begitu bermakna dari sekolah multikulturalisme desantara yang dilaksanakan di Sidrap, di sebuah pesantren di Bagian Barat kota Rappang. Muhammad Ridha adalah Peserta Sekolah Multikultural Desantara 2008 – Makkasar

BAGIKAN: