Oleh Desantara / Abu Bakar / Nur Aflahatun
Dedi adalah salah satu anggota komunitas Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Losarang. Pria berambut gondrong yang tidak pernah memakai baju (mblindis) ini menambatkan pilihannya menjadi pengikut komunitas tersebut sejak delapan tahun lalu. “Saya hanya ingin mempelajari dan mengamalkan ajaran dari Bapak (Takmad Diningrat),” tutur Dedi usai seharian menghabiskan waktunya di sawah menyambut panen.
Sebagai bagian dari komunitas yang terkena imbas rekomendasi Bakorpakem Indramayu, lelaki berusia seperempat abad ini merasa prihatin. Tetapi secara pribadi, Dedi tak peduli dengan rekomendasi itu. Ia lebih menekankan pada perjalanannya mengenal dan mengabdi pada nasehat Bapak Takmad beserta pandangannya dalam menyikapi fatwa sesat MUI terhadap apa yang diyakininya selama ini sebagai sebuah proses memaknai arti kebenaran itu sendiri. Berikut petikan wawancara yang dirangkum oleh kontributor Deport, Abu Bakar dan Nur Aflahathun.
Bagaimana tanggapan dan sikap Dedi mengenai fatwa sesat MUI terhadap Suku Dayak Dermayu ini?
Awalnya, saya merasa resah dengan adanya fatwa sesat MUI, karena dengan adanya fatwa sesat ini akan mengundang sentimen dan antipati dari masyarakat dan dikhawatirkan dapat memicu terjadinya penyerangan dari pihak lain, seperti yang terjadi pada aliran dan komunitas lainnya. Sampai saat ini, bersama ribuan pengikut, kami tetap melakukan aktivitas seperti hari biasanya. Kami pun tidak terpengaruh setelah muncul pernyataan pembekuan Pakem. Sebenarnya tuduhan mengenai keberadaan Suku Dayak Losarang yang meresahkan warga tidak beralasan sama sekali, karena kami tidak pernah mempengaruhi masyarakat, apalagi mengajak untuk ikut masuk dalam ajaran yang dianut. Selain itu, suku Dayak Losarang merasa selalu hidup berdampingan dan tidak meresahkan masyarakat sekitar. Ini bukan merupakan bentuk perlawanan terhadap pemerintah, tetapi ajaran yang ada dalam Suku Dayak ini merupakan budaya yang semestinya perlu dilestarikan.
Apakah anggota komunitas Dayak Losarang pernah mengalami tindakan diskriminasi oleh pemerintah, misalnya soal pencatatan KTP atau pencatatan nikah oleh KUA?
Sebenarnya, kami tidak merasa keberatan tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), akan tetapi untuk beberapa anggota lain pernah mengalami kesulitan pada pengisian kolom agama di KTP, hal ini sebagai sikap keberatan sikap Dinas Catatan Sipil Indramayu. Tapi untuk pencatatan nikah oleh KUA, karena diperlukan adanya status agama yang tertera di KTP, maka kami mengikuti dengan mengisi status Islam pada kolom agama di KTP. Tapi justru KUA mendapatkan kecaman dari beberapa ormas Islam di Indramayu karena menikahkan anggota Suku Dayak Losarang secara Islam.
Bagaimana perkembangan terakhir komunitas ini?
Sebenarnya, saya tidak mengikuti perkembangan keputusan pemerintah. seolah-olah isu sesat yang ditujukan kepada Suku Dayak Losarang tidak ramai dibicarakan oleh berbagai pihak. Apa yang dialami oleh Suku Dayak Losarang dan beberapa aliran dan keyakinan agama, seharusnya tidak terjadi sama sekali. Selama ini, ajaran Bapak Takmad telah merubah cara pandang dan berpikir anggota, dari yang dulunya suka berbuat kriminal, nakal, dan sikap-sikap tidak terpuji lainnya, menjadi dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Tentunya ini terkait dengan ajaran ngaji alam Suku Dayak Losarang. Desantara