Bangunan gereja Anglikan yang sudah berdiri sejak tahun 1992 itu pun akhirnya berakhir dengan luluh lantak. Kamis, 26 Juni 2008, sebuah escavator menghancurkannya, hingga yang tersisa hanyalah puing-puing reruntuhan. Atas nama proyek pembangunan sub terminal, Pemerintah Kota Cimahi menggusur rumah ibadah itu tanpa ampun.
Gedung gereja Anglikan jemaat Cibeureum memang berdiri di atas tanah sengketa. Sengketa yang berkepanjangan tanpa kepastian hukum menyebabkan kepemilikan atas tanah ini tak dapat ditetapkan. Terakhir, di tahun 2005, Nyonya Ida Roslia dinyatakan sebagai pemilik tanah sah atas 2,5 hektar di Cibeureum, dimana gereja Anglikan berdiri. Di bulan Maret 2005, putusan itu di eksekusi. Seluruh rumah di atas tanah tersebut dibongkar, hanya dua bangunan yang tersisa: masjid dan gereja. Keduanya dianggap sebagai fasilitas umum, bukan milik pribadi, oleh karena itu, tak layak dibongkar.
Akan tetapi, Ida Roslia kemudian menjual hak atas tanah yang diperolehnya kepada Idris. Namun hanya dalam tempo singkat, status tanah itu pindah tangan lagi. Pemerintah Kota Cimahi kali ini yang membelinya dari tangan Idris untuk pembangunan sub terminal. Dari sinilah petaka itu dimulai. Karena pembangunan sub terminal memerlukan tanah lapang yang luas, maka dua bangunan yang masih tersisa di atas tanah tersebut (gereja dan masjid) harus pula disingkirkan.
Beberapa proses negosiasi untuk menyelesaikan masalah keberadaan gereja itu pun terjadi. Pihak gereja Anglikan tidak menginginkan penggantian dalam bentuk uang. Mereka hanya ingin dipindahkan ke tempat lain, yang masih terjangkau oleh jemaatnya.
Sementara itu, pihak masjid menerima tawaran pemerintah dan akhirnya dipindahkan ke kawasan yang tak jauh dari lokasi tersebut. Seluruh biaya pembangunan masjid baru ditanggung Pemerintah Kota Cimahi yang diperkirakan telah menghabiskan dana kurang lebih 400 juta rupiah. Setelah bangunan masjid selesai sempurna, Walikota pun kemudian meresmikannya.
Namun tidak demikian dengan gereja. Ia tetap berdiri di tempat yang sama. Beberapa upaya pertemuan belum menemukan solusi. Pihak gereja hanya ditawari ganti rugi uang sebesar 50 juta rupiah, sebagaimana disampaikan SEKDA (Sekretaris Daerah) Kota Cimahi, Aep Syaefulloh, saat didadampingi oleh KABAG (Kepala Bagian) Hukum Kota Cimahi, Amurullah.
Alasan pemerintah tak mau membangunkan gereja di tempat lain karena terbentur masalah perizinan, sebagaimana yang diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Meteri Dalam Negeri No. 8 tahun 2006, yang mensyaratkan adanya izin dari minimal 60 orang warga sekitar. Selain alasan tersebut, Pemerintah Daerah setempat menganggap bahwa bangunan gereja Anglikan hanyalah rumah tinggal keluarga Saragih yang dipergunakan sebagai tempat ibadah.
Di hari Kamis, 26 Juni 2008, sekitar 200 orang aparat Satuan Polisi Pamong Praja dan anggota Kepolisian Resort Cimahi serta escavator mengepung gedung gereja Anglikan yang berada di kawasan Jl. Kebon Jeruk RW. 07, Cibeureum. Proses negosiasi yang dilakukan Sidabalok, pengacara gereja Anglikan, dengan Sutarman Pimpinan Pamong Praja tidak membuahkan hasil.
Akhirnya, escavator lah yang berbicara. Escavator itu mulai bergerak menghancurkan bangunan gereja dimulai dari bagian belakang dan terus bergerak ke depan, hingga akhirnya tak bersisa. Yang terlihat tinggal puing-puing reruntuhan. Bersamaan dengan hancurnya bangunan gereja Anglikan tersebut, hilang pula hak beribadah 250 jiwa.
Bukan saja bangunan gereja yang dirobohkan, delapan jiwa: penghuni Pastori, Pendeta Raman Saragih beserta keluarga, diseret keluar dan dihempas begitu saja hingga tersungkur di tanah. Tidak cukup sampai di situ, tendangan sepatu Satpol PP mendarat di pelipis kanan Pendeta Saragih. Darah pun keluar menetes, membasahi bajunya. Luka dua jahitan itulah yang kemudian menjadi bukti dari pelaporan yang kini tengah diproses di Polda Jabar.
Berjuang untuk haknya, Pendeta Saragih beserta keluarganya bertekad untuk tetap tinggal di atas tanah milik mereka, sekalipun dengan segala keterbatasan. Di bawah tenda, mereka bertahan dan beraktivitas sebisa mungkin. Tak ayal, hal itu akhirnya mengundang banyak simpatisan berdatangan untuk memberi bantuan. Namun, kebaikan mereka akhirnya urung karena dihalang-halangi. Seperti larangan pihak yang tidak mau disebutkan namanya kepada seorang warga dan salah satu pabrik yang hendak membantu memberikan aliran listrik.
Meski segalanya tidak mendukung, namun ibadah tetap dilaksanakan. Justru, dengan kejadian tersebut, jemaat yang semula pasif kini menjadi aktif. Tanggal 27 Juli 2008, jemaat gereja Anglikan kembali melaksanakan ibadah di atas puing-puing reruntuhan.[DEPORT]