2011 ini kita merayakan 13 tahun reformasi. Tigabelas tahun lalu massa meradang di jalan-jalan raya. Aksi massa terjadi di Jakarta dan kota-kota lain. Di Jakarta, mahasiswa Universitas Trisakti tewas saat terlibat aksi menuntut reformasi. Hasilnya, Soeharto diturunkan dari kursi presiden yang sudah ia duduki selama lebih
dari tiga puluh dua puluh tahun. Massa aksi mengalir dari segala penjuru meneriakkan kebebasan dan demokrasi.
Namun dalam kehidupan keagamaan,nampaknya kita tengah menuju jalan lain. Bukan jalan yang selaras dengan kebebasan, karena istilah kebebasan beragama itu sendiri sudah dipahami secara peyoratif. Selama sepuluh tahun terakhir, eskalasi kekerasan atas nama agama bahkan cenderung meningkat. Tidak sedikit di beberapa tempat, ratusan massa bersorak-sorai menutup gereja, menghakimi aliran keagamaan yang dianggap sesat. Jika di zaman Orde Baru, massa aksi berslogan agama (Islam) dicap subversib karena selalu diposisikan musuh negara. Saat ini massa (Islam) justru sering dibela negara.
Misalnya, karena desakan massa, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri 2008 tentang pembubaran Ahmadiyah. Keputusan ini diawali oleh teror massa terhadap Ahmadiyah. Puluhan massa mendatangi tempat ibadah Ahmadiyah. Mereka merusak masjid, perkantoran, membakar kitab suci (Alquran), hingga melukai orang-orang Ahmadiyah. Jika pada masa lalu, politik Orde Baru mengamankan massa dengan memberlakukan operasi kamtib (keamanan dan ketertiban). Suara massa diberangus,
ditertibkan agar selaras dengan kegiatan pemerintah. Kini, ketika seluruh operasi ketertiban ala Orde Baru dihilangkan, rakyat dibebaskan bersuara. Namun di tengah kebebasan seperti sekarang, melalui kasus Ahmadiyah ini kita melihat betapa kebebasan bersuara telah menghasilkan teror massa.
Dalam Deport edisi 10 ini, redaksi menelorkan isu tematik: Menyajikan liputan seputar Ahmadiyah. Seperti telah kita pahami bersama, selama 10 tahun terakhir, Ahmadiyah menjadi isu sentral yang mewakili hiruk pikuk kehidupan keagamaan di Indonesia. Potret ini menyajikan dilema kekerasan (agama) yang tak kunjung padam. Misalnya seperti terekam di liputan utama, tergambar bagaimana kesadaran massa telah merasuk ke pemerintah/birokrasi, dan ulama. Beramai-ramai mereka menghakimi Jamaah Ahmadiyah. Fakta ini memaparkan betapa Ahmadiyah bukan saja diteror oleh massa, tapi diteror secara massal. Karena, baik pemerintah, elite politik, tokoh agama, memiliki suara sama: Mendukung pembubaran Ahmadiyah. Kasus Ahmadiyah ini menunjukkan bagaimana kebebasan seperti sekarang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang memiliki suara sama. Kelompok minoritas, apalagi dari kalangan yang dianggap sesat bisa jadi menerima kebebasan saat ini seperti berada di ruang yang dipenuhi suara teror dan ancaman. Dalam rubrik Testimoni misalnya diceritakan bagaimana Kelurga Umar mengalami hal itu.
Padahal kebebasan berdemokrasi tidak serupa dengan berada di ruang kosong. Berdemokrasi ibarat kita berada di satu ruang bersama dengan orang yang berbeda-beda. Di ruang ini kita dituntut untuk saling menjaga satu sama lain demi menjamin kebersamaan tanpa menghilangkan kebebasan. Dan seperti dituturkan dalam rubrik Representasi, suarasuara yang diseragamkan dapat memicu fasisme, bukan kebebasan demokrasi seperti yang kita citakan saat ini.