Posisi agama di Indonesia sangat terhormat. Ini ditegaskan dalam UUD 1945 (amandemen) 28E. Pasal 1, menjelaskan: Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Namun, faktanya, tidak semua agama yang lahir dan berkembang di Indonesia diakui dan didudukkan secara sejajar. Hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu yang diakui pemerintah. Selain itu, hak atas kebebasan meyakini kepercayaan/agamanya tersandung oleh UU No.1/PNPS 1965. Pasal 1: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Para pendukung UU No.1/PNPS menganggap pikiran, tindakan yang kemudian itu diceritakan ke orang lain sebagai tindakan kriminal, Padahal, tindakan seperti ini bisa jadi suatu ekspresi seseorang meyakini kepercayaan/agamanya. Lahirnya agama itu sendiri, dan ekspresi keagamaan apapun secara sosial-antropologis, dan psikologi sosial adalah ekspresi paling dalam yang lahir sebagai respon atas perubahan kehidupan duniawi saat ini. Betapa tidak adil, keyakinan yang tumbuh dari seseorang dan lalu ia klaim sebagai ajaran agama lalu dituduh sebagai penodaan agama. Kita memang perlu mengutuk keras atas pikiran, sikap dan keyakinan apapun yang disebarkan dengan teror, intimidasi dan kekerasan. Tapi, menjadi kutukan bagi bangsa ini, jika ekspresi keagamaan apapun yang didasarkan dari pilihan dan keyakinan individu dituduh sebagai tindakan kriminal.