Kawan-kawan, kemarin, Selasa, 3 April, peristiwa tragis menimpa Taufik Soleh, kawan kita di Jember. Ia adalah wartawan sekaligus peneliti Desantara Institute for Cultural Studies yang tinggal di Jember yang giat mengamati pergulatan kebudayaan di Jawa Timur, khususnya Jember dan sekitarnya.
Hasil pengamatan lapangan Taufik Soleh yang menyorot Dewan Kesenian Jember (dan Dewan-dewan Kesenian lain) dan diterbitkan Harian Surya Surabaya pada Minggu, 1 April 2007, berjudul “Kala Seniman Berebut SK Penguasa”, “Dewan Kesenian di Mata Para Seniman”, wawancara berjudul “Jika Terus Konflik, DKJ Akan Rapuh”, ditambah dengan esei Bisri Effendy berjudul “Dewa(n) (Ke)seni(an)”, memperoleh respon tak mengenakkan.
Taufik Soleh yang salah seorang anggota lembaga RIAK Jember ini menerima teror dan intimidasi dari seorang “preman’. Dengan tanpa basa basi dan dialog, pria yang nampaknya tidak menerima isi liputan lapangan tersebut memukul dan menempeleng Taufik Soleh, sambil terus mengintimidasinya. Kejadian ini berlangsung pada hari Selasa, 3 April, jam 09.00 WIB di Jl. Karimata Gg. Mandauli Jember.
Peristiwa ini jelas sangat memprihatinkan. Bahkan amat menyedihkan bagi kebebasan informasi dan kejujuran yang amat kita perjuangkan dalam alam demokrasi sekarang ini. Peristiwa ini sekaligus menjadi tantangan bagi kita semua yang terlibat aktif dalam kerja-kerja kebudayaan semacam ini.
Karena itu, kami mohon dukungan kawan-kawan jaringan di manapun berada agar aktifitas dan perjuangan Taufik Soleh dan kawan-kawan di Jember tak berhenti hanya karena teror yang tak bermartabat ini.
Salam,
Berikut ini uraian kronologinya:
KRONOLOGI PERISTIWA
Oleh Taufik Soleh
Pagi itu, Selasa, 2 April, sekitar jam 09.00 WIB di Jl. Karimata Gg. Mandauli. Saya hendak membeli rokok. Tiba-tiba saya dipanggil seseorang yang saya kenal dengan nama Popong. Karena memang sebelumnya saya sudah mengenalnya, dan sering diskusi soal kesenian dan juga pernah sama-sama kuliah di Unmuh Jember. Akhirnya saya pun berhenti menyambut panggilannya. “Ada apa bos?”.
Sedetik kemudian, tanpa saya duga. Dia melayangkan pukulan (tempelengan di tengah dahi), sambil menunjukkan tulisan saya dengan kawan saya (Paring) di Harian Surya, Miinggu, 1 April 2007. “Ini tulisanmu? Kamu kok nulis seperti ini?,” kata Popong penuh intimidasi.
Saat itu saya tidak bereaksi apa-apa. Dan saya coba menjelaskan duduk persoalannya. Namun, hal itu tidak bisa membuatnya berhenti melakukan tempelengan di dahi dan pelipis kanan kiri saya beberapa kali. Saya pun tidak membalas perlakuan itu karena saya anggap hal itu tidak mungkin saya lakukan. Di samping karena secara fisik saya jauh lebih kecil, juga karena saya anggap itu tidak akan bisa menjelaskan persoalan yang sebenarnya. Lagi pula nampaknya pria ini sudah tidak bisa diajak untuk berpikir jernih.
Lantas saya katakana/tanyakan padanya, “Sebentar Bang, di bagian mana tulisan saya dan Paring itu yang salah?”. Saya mencoba mengklarifikasi. Dia pun menjawab, “Udah, pokoknya saya tidak mau diskusi soal ini. Pokoknya kamu berhenti lakukan hal-hal yang seperti ini. Kalau nggak, awas kamu tak pateni (bunuh)!”.
Popong pun terus mengintimidasi saya. “Dan lagi, sebelum kamu dipukuli orang se Jember, mending kamu tak amuk di sini. Kamu tahu apa soal kesenian Jember ini. Saat tahun 1996 saya sudah ngurus kesenian.” .
Dengan nada kasar, ia bertanya. “Saat itu kamu di mana? Kamu masih bayi….!,” bentaknya, sambil lagi-lagi dia menempeleng saya. Saya pun bilang, “Sebentar bang, jangan emosi gini dong. Saya kan sebelumnya sudah konfirmasi ke sampean, responlah tulisan ini dengan tulisan bukan dengan cara seperti ini”.
Upaya klarifikasi saya ini ternyata tidak berhasil. Bahkan justru sebaliknya, pria ini menjawab dengan nada keras dan mengancam. “Kalau soal itu saya nggak bisa, kalau megang parang dan perang sama kamu, kayak orang dayak itu, saya bisa,” ujarnya.
Lagi-lagi dia menempeleng saya. “Berapa juta data yang kamu miliki?” ujarnya sambil mengeluarkan map biru dan memperlihatkannya kepada saya. “Ini data semua. Mau kamu saya tempeleng pakai ini lagi?,” bentaknya.
Saya pun diam sejenak. Lalu saya bilang, “Ok, nanti kita selesaikan. Dan ini bukan hanya tanggung jawab saya, tapi juga Desantara. Akhirnya dia bilang, “Silahkan, atau kamu pakai jalur hukum sekalian”. “Tapi kamu juga harus mati…!,” ujarnya mengancam.
Saya pun berlalu dari tempat itu. Desantara