“Dg Naba, Dg Naba,” begitu teriak para penonton yang menyemut di sekitar panggung pertunjukan memanggil-manggil namanya. Pria dengan rambut memutih dan gigi yang mulai ompong itu memang tengah menjadi idola. Apalagi banyolan-banyolan yang menggelitik dan dialognya yang cekatan itu mampu menambah suasana semarak dan makin hidup. Meski kondisi fisiknya sering menjadi bahan olok-olokan rekan sepanggungnya, tapi justru itulah yang menjadi kelebihannya.
Sayyidina Ali Dg Naba, 80 tahun, yang kerap dipanggil Dg Naba kini memang menjadi maskot Gandrang Bulo di Makassar. Di kampungnya, Paropo namanya, ia bergabung dalam grup dengan sebutan Remaja Paropo. Di grup inilah ia memamerkan bakat dan keahliannya mulai dari menabuh gendang, melantunkan lirik-lirik lagu Makassar hingga kemampuannya melontar humor segar yang kadang menohok sasarannya. Suaranya pun tak kalah dengan pemain lain yang lebih muda ketimbang dirinya.
“Saya tidak punya kerjaan selain sebagai seniman Gandrang Bulo ini, Nak. Disinilah saya menggantungkan hidup,” ujar pria yang menjalani profesinya sebagai seniman sejak tahun 60-an ini kepada Desantara. Sepanjang perjalanan karirnya, beberapa grup Gandrang Bulo pernah ia singgahi sebelum nasib membawanya berlabuh di grup Remaja Paropo, tempat dirinya kini beraktifitas.
Pilihan menjadi seorang seniman seperti yang dialami Dg Naba ini memang tak sepenuh terdengar mengenakkan. Perjalanan hidupnya penuh liku. Masa-masa sulit, tutur pria yang selalu rajin bersembahyang ke masjid ini, pernah ia alami ketika kelompok Kahar Muzakkar dan pasukannya beraksi.
“Saat itu sulit kita mengadakan pertunjukan, sebab kalau ketahuan Gurilla (anggota DI/TII) peralatan kesenian kita bisa dihancurkan , malah-malah nyawa kita jadi taruhannya,” tutur lelaki tua yang hingga kini hidup dalam keadaan yang serba pas-pasan ini. Ketika itu, sebagai seniman muda, Dg Naba mengaku jiwanya tertekan dan ingin memberontak dari himpitan, eja tompi na doing. Namun, bukan lewat kekerasan jalan yang ditempuhnya, melainkan lewat sentilan-sentilan humornya di atas panggung pertunjukan. Humor yang sarat dengan kritisisme yang dialamatkan kepada kelompok-kelompok yang berkeinginan menghapus kesenian tradisi di era 60-an.
Bagi Dg Naba, pengalaman hidup pribadi adalah bahan humor yang paling berharga saat beraksi di atas panggung. Misalnya tentang janji-janji pemerintah yang mau memberikan perlengkapan kesenian dan membantu kehidupan para seniman yang ternyata hanya tinggal janji belaka. Juga pengalaman sehari-hari seperti biaya pengobatan yang mahal, lapangan pekerjaan yang menyempit, prilaku tentara, dan peristiwa lain yang terekam baik dalam memorinya. Lewat aksi-aksi teatrikal dan humor-humornya yang segar di atas panggung, Dg Naba mampu merekam ulang peristiwa itu dengan berbagai plesetan dan satir.
Seperti malam itu, di atas panggung pertunjukan ketika Dg Naba tampil dengan busana ala tentara. Tiba-tiba seorang temannya melontarkan pertanyaan:
“Dg Naba kita uji, orang Malaysia bilang apa kalau tentara sudah pensiun?”
Dg Naba yang sedang berjalan gagah terpaksa menunda langkahnya, dan berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab: “Tidak tahu”.
”Laskar tak berguna,” kata kawannya sambil mendekat.
Sepontan Dg Naba terhenyak. “Orang ini menghina saya,” pikirnya. “Masak saya disebut laskar tidak berguna. Padahal di negeri ini pensiunan tentara banyak yang menduduki jabatan-jabatan penting”.
Namun, tak lama kemudian, riuh ketawa penonton seperti menyadarkannya. Sejurus kemudian ia pun larut dalam tawa terpingkal-pingkal. Mungkin benar, tentara kita seperti laskar tak berguna lantaran tak mampu mempertahankan Pulau Sipadan dan Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia. Ah, ada-ada saja! Desantara