(refleksi akhir tahun dari Sekolah Pelatihan riset dan Menulis Etnografi Multikulturalisme Makassar, Lapar-Desantara, 15 Desember-3 Januari 2011)
Akhir-akhir ini Makassar diliputi berita duka dan nestapa. Mahasiswa bentrok dengan aparat, pembangunan yang tidak partisipatif dan berbagai fenomena lain yang memberi catatan buruk bagi perjalanan kota ini. Mahasiswa disorot berbagai media lantaran cara mereka mendemonstrasikan aspiranya dianggap berlebihan. Bentrok kerap terjadi, baik dengan para aparat maupun dengan sesama mahasiswa. Belum lagi aksi tawuran di dalam kampus. Semua ini hampir menjadi ritual.
Kondisi ini patut disesali, karena mahasiswa kerap dituntut dan diidealkan sebagai kelompok terpelajar. Sayangnya, penyesalan ini tidak berlanjut pada telisik lebih kritis kenapa dan bagaimana peristiwa seperti bentrok dan tawuran mahasiswa bisa terjadi di kota Makassar. Alfian, salah satu peserta sekolah pelatihan ini menengarai bentrok mahasiswa tidak berdiri sendiri dengan peristiwa lain baik berupa peristiwa sosial maupun politik di lingkup daerah (Makassar), dan nasional. Hubungan ini relasional, dan harus ditelusuri lebih cermat bagaimana relasi-relasi ini terbangun.
Padahal jika kita cermat, peristiwa sosial politik lain yang tak kalah anarkis kerap terjadi, dan itu berada diluar kehidupan mahasiswa/kampus. Misalnya model pembangunan kota di Makassar yang tidak partisipatif, tanpa kajian mendalam, dan kerap melanggar aturan tata ruang dan wilayah. Tidak bisa dielakkan memang, perubahan melalui proyek pembangunan saat ini mesti terjadi. Makassar adalah ibukota propinsi terbesar di Indonesia bagian timur. Makassar juga menjadi kota transit, baik sebagai transit jalur perdagangan menuju dan keluar Indonesia Timur, maupun transit bagi wisatawan yang hendak berlibur dan menikmati eksotisme Indonesia Timur. Bandara Hasanuddin telah dikembangkan sebagai bandara internasional, dan saat ini merupakan bandara terbesar kedua setelah Soekarno Hatta. Pengembangan kota juga terjadi cukup drastis. Dibandingkan dengan sepuluh atau duapuluh tahun lalu, Makassar sudah berubah pesat. Panakkukang yang semula menjadi area pinggiran, sepi, berlumut, kini disulap menjadi pusat perniagaan dan belanja wisatawan. Mall, café, pusat-pusat hiburan dibangun di kanan kiri jalan. Mobil-mobil pribadi juga berkembang pesat, tanda bahwa tingkat konsumsi masyarakat kian berkembang. Lalu lintas macet di berbagai tempat adalah pemandangan biasa yang dijumpai di Makassar.
Sayangnya, justru di tengah gencarnya pembangunan ini, Makassar semakin kehilangan identitasnya. Makassar ke depan seperti terasa jauh dengan jejak masa lalunya. “Makassar mengalami amnesia, begitu kata Muhammad Nurkhoiron, seperti disampaikan dalam diskusi sekolah belajar menulis dan riset etnografi: Melihat Multikulturalisme Makassar. Bukti paling kuat bisa dilihat dari bagaimana pemerintah propinsi dan pemerintah daerah memperlakukan kawasan Benteng Somba Opu di Makassar. Benteng Soma Opu adalah warisan abad ke-15 Makassar yang dipenuhi heroisme dan kejayaan Bugis-Makassar di masa lalu. Sayangnya, pembangunan kawasan ini sama sekali tidak mengindahkan kekayaan budaya dan warisan yang dimiliki Benteng Somba Opu. Pemerintah tidak memiliki pengetahuan untuk mengembangkan kawasan ini sebagai kawasan yang memiliki nilai dan citra hisotris masa lalu yang sangat tinggi. Jadinya adalah, Benteng Somba Opu, cuma mau dijadikan sebagai kawasan hiburan seperti waterboom.
Suardi, salah satu peserta pelatihan di sekolah yang diselenggaran Lapar-Desantara ini menemukan beberapa fakta di lapangan. Ia menengarai kekuatan modal mendominasi terselenggaranya pembangunan waterboom di atas Benteng Somba Opu. Di pihak lain, pemerintah propinsi/daerah tidak memiliki kajian serius bagaimana dan dengan cara apa pembangunan dan pengembangan Benteng Somba Opu harus dilakukan. Tidak berbeda dengan transaksi untuk memuluskan pembangunan yang dilakukan selama ini antara pemerintah dan pihak swasta. Kajian akademik yang independen dan mendalam dikesampingkan sebagai metode awal untuk melakukan studi kelayakan. Apalagi ditujukan sebagai pengembangan kawasan bernilai historis tinggi, kajian akademis independen yang mendalam seharusnya mutlak dilakukan.
Temuan lain peserta Sekolah Pelatihan Menulis dan Riset Etnografi multikulturalisme Makassar menarik disajikan disini. Para peserta memiliki perhatian beragam terkait isu perubahan kota Makassar. Dari masalah tawuran Mahasiswa, revitalisasi Somba Opu, komodifikasi jilbab, sampai kisah orang orang kecil seperti buruh-nelayan, dan seniman Ganrang Bullo. Rupanya, jika ditarik secara garis besar, seluruh perhatian peserta memiliki benang merah yang terkait satu sama lain.
Seperti yang dilansir diproposal panitia, sekolah ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan kritis dalam mencermati fenomena keragaman di masyarakat. Terkait dengan fenomena Makassar, para peserta diasah untuk meneliti dan mendeskripsikan perubahan-perubahan di kota Makassar dan implikasinya bagi kelompok-kelompok marjinal, minoritas, dan kelompok-kelompok yang sampai saat ini belum terakomodasi dalam proses perubahan itu. Salah satu benang merah diantara kajian yang dilakukan peserta pelatihan ini adalah, gagasan bahwa Makassar saat ini tergerus oleh arus besar yang justru meniadakan watak keragaman yang menjadi ciri paling menonjol dalam proses historisnya.
Seperti kita ketahui, Makassar memiliki jejak historis yang membuktikan kota ini sebagai wadah orang-orang yang memiliki latar belakang multikultural. Faktanya, Makassar adalah melting pot, ruang bergaul dan berjejaring lintas etnis dan agama. Dr. Bambang Sulistyo MS, memaparkan bahwa masing-masing etnis di Makassar menyimpan tradisi dan budaya spesifik, akan tetapi mereka satu sama lain bisa saling berinteraksi dan menghargai. Selain Bugis-Makassar, etnis Mandar, Toraja, Jawa telah lama menjadi bagian dari warga kota Makassar. Bahkan menurut temuan Idris, di Bontoala ditemukan situs makam orang keturunan Turki yang sudah ada sejak abad ke-13. Bontoala sendiri merupakan kawasan yang sudah dihuni oleh etnis yang beragam; Bugis-Makassar, Cina, Arab, Turki, India, Jawa, dan lain-lain. Jika angka tahun di dalam situs ini benar, bisa dipastikan bahwa keragaman penduduk di Makassar jauh sebelum kolonial Belanda menguasai kawasan nusantara, termasuk di Makassar. Anthony Reid menggambarkan Makassar sebagai kota Bandar teramai dan maju yang menghubungkan kota-kota lain penghasil rempah-rempah di nusantara. Itulah sebabnya, di masa itu, kota ini dicetak sebagai lokasi yang terbuka bagi semua kelompok.
Namun, jika dicermati saat ini, aspek yang beragam yang mewarnai corak multikulturalisme Makassar semakin pudar. Seperti disampaikan oleh Dias Pradadimara, akhir-akhir ini Makassar mengalami etnisisasi. Makassar lebih identik dengan etnis Bugis Makassar. Kelompok ini semakin menonjolkan ciri khasnya, sembari pada saat yang sama, etnis-etnis lain terpinggirkan. Orang-orang Cina gampang distigma dan disiram dengan isu konflik melalui provokasi kebencian etnis. Padahal, sejarah pecinan (China Town) di Makassar merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah pembentukan kota Makassar di masa lalu. Namun demi peningkatan pembangunan, beberapa gedung bersejarah di sekitar pecinan terhapus karena dipugar dan diganti dengan bangunan baru.
Seperti dicermati oleh Muhammad Iqbal Arsyad, Gedung gedung yang memiliki nilai historis dipugar satu persatu. Ironisnya, pemugaran ini seperti memperlihatkan “pembersihan keragaman (cultural diversity genocide), karena aspek keaslian yang menyimpan nilai historis dihilangkan sama sekali. Gedung-gedung, rumah penduduk di kota lama misalnya sudah tidak lagi seperti dulu. Corak kota lama justru semakin pudar, tinggal puing-puing bangunan yang satu persatu diruntuhkan untuk dijadikan lokasi baru bercorak tunggal: modern, minimalis. Tidak peduli apakah akan digunakan untuk gedung pemerintah, swasta, Mall/pusat belanja, semua corak menjadi seragam. Masyarakat, khususnya kaum muda semakin tidak tahu lagi kemana harus belajar mengenai sejarah kotanya. Padahal proses sejarah kota terkait dengan bagaimana penduduk dan warga kota membentuk ikatan satu sama lain, membayangkan perikehidupan bersama, sebagai satu kesatuan terintegrasi. Ben Anderson membayangkannya sebagai, imagined community.
Penyeragaman seperti ini ternyata tidak saja terjadi di dalam perkembangan arsitektural kota. Identitas pakaian yang kini kerap dikomodifikasi melalui fashion juga tengah menuju arus penunggalan. Ini misalnya diteliti oleh Marni. Ia menelusuri sejarah jilbab yang saat ini menjadi sebentuk pakaian baku perempuan muslim di Makassar. Dilihat dari sejarahnya, jilbab ternyata baru berkembang sekitar awal 1990an. Menurut sumber-sumber yang ditemui di lapangan, Marni menuturkan massifikasi jilbab terjadi ketika Mbak Tutut mengenakan kerudung jilbab. Waktu itu dikenal sebagai, “kerudung Mbak Tutut”.
Pada masa itu, kita tahu bahwa penguatan identitas (primordial) berlangsung di tengah persaingan politik. Masuknya ICMI dan kader-kader muslim ke birokrasi dan pentas politik nasional mewarnai pola perubahan konsumsi dalam beragama. Salah satunya terjadi di kalangan perempuan muslim. Jika di Makassar perempuan muslim biasa mengenakan pakaian tanpa penutup kepala, berangsur-angsur kain penutup kepala ini menjadi trend berpakaian di kalangan mereka. Kondisi ini tidak berbeda dengan daerah, atau kota lain di Indonesia. Pakaian yang dilegitimasi melalui doktrin agama ini menjadi sebentuk komoditas baru yang dijualbelikan di pasaran. Ironisnya, kelompok produsen dari komoditas ini sebagian masih dikuasai oleh kelompok lain, akses publik/perempuan muslim secara umum ke dalam pengelolaan dan distribusi komoditi masih terbatas.
Maka tidak peduli Bugis, Makassar, Mandar, Jawa, mereka mengidentifikasi identitas kemuslimannya melalui simbol jilbab. Padahal, sebelum jibab mengalami massifikasi seperti sekarang, perempuan di Makassar biasa mengenakan pakaian berdasarkan pada ciri etnisnya. Kerudung seperti dikenakan di Jawa saja memiliki istilah dan cara penggunaan yang berbeda di masing-masing etnis di Makassar. Kini semua penutup kepala identik dengan jilbab. Bentuk jilbab memang bermacam-macam, namun cirinya hampir serupa; menutup seluruh kepala secara rapat, kecuali wajah. Jilbab seperti ini ternyata tidak memiliki akar sejarah di Indonesia. Bahkan jika ditelusuri, sejarah-sejarah Islam di masa lalu tidak menunjukkan bukti penyeragaman pakaian perempuan. Jika kita saksikan foto-foto perempuan muslim di masa lalu sekitar tahun 1970-80an, wajah wajah perempuan Islam di Indonesia masih memperlihatkan rambut sesuai gaya yang ngetrend di era itu. Memang selama periode rezim Orde Baru, perempuan sudah dijadikan sasaran pendisiplinan dan regulasi. Misalnya kebaya Jawa mulai dikenal sebagai identitas nasional ketika Ibu Tien Soeharto turut memobilisasi kebaya sebagai baju resmi. Tidak terkecuali di kalangan perempuan Makassar, kebaya mesti digunakan di acara-acara resmi, lebih-lebih terkait acara dinas pemerintah. Namun, berbeda dengan jilbab, dalam penggunaan kebaya, kerudung yang dikenakan diatas kepala, masih memperlihatkan kemolekan rambut wanita. Sebaliknya, jilbab sama sekali tidak mengakomodasi penampilan rambut.
Naiknya identitas Islam ke pentas politik nasional, menarik jilbab sebagai bentuk pakaian yang mencirikan perempuan muslim. Dan ketika jilbab dirayakan seperti ini, pasar global ternyata mengendus daya tarik jilbab ini sebagai salah bentuk komoditi yang menggiurkan. Menurut Ruth Indiyah Rahayu, fenomena ini merupakan dampak tak terelakkan dari era mutakhir kapitalisme global. Globalisasi kapital, khususnya yang digerakkan melalui mesin-mesin produksi memerlukan sasaran konsumen. Dan saat ini, sasaran konsumen paling besar berada di negara-negara berkembang, khususnya yang terpusat di kota-kota besar. Ironisnya, ekspansi modal yang ekstensif memerlukan penyediaan lokasi ruang untuk menghidupkan mesin penggandaan (surplus values). Jika di Jakarta tersedia lokasi distribusi dan pusat belanja jilbab di Tenabang, Pasar Mangga dua, di Makassar juga tersedia beberapa pusat grosir; pasar sentral, pasar bitung dan outlet-outlet jilbab di beberapa sudut jalan raya sekitar kota Makassar.
Memang penggunaan jilbab berbeda dengan penyeragaman kebaya di masa Orde Baru. Penyeragaman kebaya dilakukan melalui represi negara. Sementara jilbab justru lahir ketika rakyat Indonesia terlepas Otoritarianisme Orde Baru. Jilbabisasi bersamaan dengan dibukanya koridor liberalisasi, mana kebebasan berserikat dan berkumpul diiringi dengan kebebasan ekonomi dalam pengertian pasar bebas. Kekuatan berbagai kapital dimudahkan dalam membangun pusat-pusat produksi. Sayangnya, persaingan dan kebebasan pasar seperti ini tidak diatur melalui peraturan-peraturan yang partisipatif, bahkan ekspansi kapital di beberapa tempat kerap tidak mengindahkan peraturan yang ada. Kemudahan ini bersimbiosis mutualisme dengan peran elite politik lokal/daerah yang berusaha memapankan kekuasannya.
Jadi tidak mengherankan jika penguasa politik lokal kerap bertransaksi dengan pemodal dalam rangka menentukan pengembangan dan pembangunan kota. Penggunaan ruang kota untuk melokalisasi modal/kapital ini menjadi ciri paling menonjol dalam perubahan kota-kota di Indonesia. Pemerintah pun senang sekali mengukur tingkat kemajuan kota berdasarkan pendapatan daerah plus nilai pertumbuhan ekonomi yang terus menanjak. Akibat dari indikator pertumbuhan ini, kota-kota dikembangkan sebagai lokasi bagi pusat-pusat produksi, baik produksi di bidang komoditi maupun di bidang jasa. Nyaris karakter dasar kota-kota di Indonesia bersifat seragam, menjadi pusat-pusat produksi dan perniagaan.
Dihantui oleh usaha untuk memperbesar pendapatan daerah dan peningkatan pertumbuhan ekonomi ini, kota-kota disusun demi mendapatkan laba/pendapatan. Nyaris suara warga yang beragam dikesampingkan. Peradaban kota berhenti, karena kota sebagai ruang bertemu, berinteraksi, berjejaring dan belajar satu sama lain dikendalikan oleh ekspansi modal. Ironisnya, ekspansi modal ini dikendalikan oleh kelompok minoritas yang perlahan-lahan menciptakan tirani modal yang berdiri diatas pembangunan kota.
Idrus menggambarkan para jagoan, yang di Makassar dikenal sebaga Tolo’. Para Tolo’ inilah yang terus berdiri silih berganti, mengikuti perkembangan kota, beregenerasi mengikuti logika modal dan cara-cara bagaimana modal ekonomi ini berekspansi. Disinilah mereka menjadi tameng dan mengamankan kolonisasi modal. Nasib para Tolo’ bersebalikan dengan Ganrang Bullo, sejenis kesenian tradisi Makassar yang hidupnya tak pernah mapan. Sebagaimana ditemukan Hamzah melalui riset lapangan, Ganrang Bullo adalah gendang khas Makassar, bila ditabuh ia mengeluarkan suara mitis yang menyerupai deru gelombang air laut saat pasang dan suaranya seperti menari-nari bersama angin. Tak mengherankan, beberapa Bissu (rohaniawan kerajaan Bugis-Makassar), kerap mengalami ekstase begitu mendegar alunan Ganrang Bullo. Pendeknya, saat ini, deru suara Ganrang Bullo perlahan-lahan digeser oleh deru modal yang terus mengalun bertalu-talu.
Senasib dengan Makassar yang terkikis sejara masa lalunya, Ganrang Bullo pun hidup enggan matipun tak mau. Meskipun demikian, kita perlu membaca kembali temuan peserta pelatihan ini. Selain Ganrang Bullo, isu kelompok marjinal lain seperti buruh-pedagang kaki lima, perempuan miskin kota, adalah masalah-masalah yang merefleksikan kegigihan orang-orang marjinal dalam mengarungi arus perubahan. Tentu saja, meskipun keberadaan mereka kurang dihitung, tak ayal mereka turut memberi corak dan warna perubahan kota, khususnya di Makassar. Bercermin dari kisah-kisah seperti inilah kita perlu sadar betapa dilematisnya mempertahankan nilai keragaman di Makassar. Karena, persoalan keragaman, tak semata persoalan tradisi/agama, tetapi juga nasib hidup dan perjuangan merebut posisi ekonomi politik dalam pentas ruang perkotaan….