Diskusi yang diselenggarakan di Pesantren ini awalnya memicu sedikit keresahan dari komunitas kepercayaan lokal. Peserta dari sapto dharmo misalnya, ketika sedari awal mengetahui bahwa acara tersebut diadakan di pesantren, maka pagi hari sebelum berangkat ke tempat acara sibuk ke tetangga sebelah sekedar untuk memakai peci. ?Saya kan diundang di pesantren, jadi ya pake peci. Biar sopan, meskipun saya sendiri kan tidak pernah pake peci.? Menarik, bahwa ungkapan dari sedulur sapto dharmo tadi mengisyaratkan adanya ketegangan hubungan antara santri dan komunitas lain yang memiliki keyakinan di luar agama mainstream.
Satu jam setelah pertemuan dilangsungkan, masing-masing peserta mulai cair dan merasa enjoy karena pesantren yang banyak diasumsikan ?tidak bersahabat? dengan komunitas kepercayaan tersebut sangatlah terbuka. Bahkan secara- terang-terangan peserta dari sapto dharmo pun mulai melepas peci yang ia kenakan. Dengan demikian, terdapat dua hal penting ketika sebuah kegiatan seperti ini dilakukan di pesantren; pertama, pesantren menjadi ruang rekonsiliasi kultural bagi berbagai unsur masyarakat yang beragam. Kedua, rekonsiliasi kultural itu kemudian melahirkan sikap mencairkan adanya politik pencitraan di antara kelompok masyarakat yang sedang berinteraksi.
Sementara substansi diskusi mengenai tema yang dibahas menghasilkan beberapa hal penting, yaitu usulan alternatif sebagai masukan terhadap RKUHP yang saat ini sedang digarap juga oleh pemerintah. Di antara usulan tersebut adalah:
- Perlunya kejelasan mengenai definisi dan kategori ?agama resmi? dan ?agama tidak resmi? yang ?dianut? di Indonesia.
- Keharusan mengakui kesetaraan seluruh agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia dan melindungi kebeasan melaksanakan berbagai kegiatan dan/atau ritual keagamaan masing-masing pemeluk agama/ kepercayaan.
- Kejelasan mengenai definisi dan kategori pemeluk agama. Hal ini berimplikasi pada siapa yang berhak untuk menentukan siapa yang dimaksud sebagai pemeluk agama tertentu.
- Kejelasan mengenai definisi dan ukuran menodai agama dan otoritas yang berhak memutuskan tindak penodaan terhadap agama.
- Munculnya perbedaan pendapat tentang perlu/tidaknya agama/kepercayaan/keyakinan diatur di dalam Undang-undang.
- Kejelasan mengenai definisi, kategori, ukuran sesat/benar menurut agama dan siapa yang berhak untuk menkategori sesat/benar berdasarkan agama dan keyakinan masyarakat.
- Batasan-batasan mengenai ketentuan ?meresahkan masyarakat atau mengganggu ketertiban umum?
- Perlunya penegakan hukum yang tegas
- Pemerintah harus menghargai model-model rekonsiliasi dan consensus alternative yang dibentuk dan dilakukan oleh masyarakat.
- Pemerintah perlu memberikan jaminan dan penghargaan terhadap keragaman penafsiran.
Inventarisir persoalan di atas menjadi penting dan seyogyanya pemerintah mengerti bahwa aspirasi masyarakat, khususnya mereka yang selama dipinggirkan oleh Negara memerlukan perhatian yang sangat serius. Simak saja ungkapan Sukilan, warga sedulur sikep yang mengatakan (setelah diterjemahkan) ?Menurut saya, sebelum Rancangan KUHP inimasuk ke wilayah agama, seharusnya dimengerti dulu bahwa di Indonesia ini bukan hanya lima atau enam agama yang formal dan resmi itu, masih banyak lagi kepercayaan-kepercayaan lain yang ada bahkan sebelum Indonesia ini ada. Untuk itulah, siapapun yang terlibat di dalam perumusan RKUHP ini memang seharusnya mengerti hal itu. Kalau tidak, bagaimana dengan nasib orang-orang seperti saya yang jelas-jelas tidak masuk ke dalam kategori agama yang resmi itu. Tentu saja kalau begini, saya tidak terima. Saya hadir di tempat ini juga ingin mengeluh kepada sedulur-sedulur semua, terutama yang muslim-muslim ini. Bagaimana ya, saya ini kan jelas-jelas bukan muslim, kok KTP saya ini dicantumi beragama Islam. Meskipun di antara keluarga saya ada yang muslim, tapi mereka mengerti kalau saya ini bukan muslim. Saya berharap agar sedulur yang ada di sini semua ikut mengkritik ketentuan itu, sehingga kedudukan saya bisa setara dengan sedulur yang lain.? Desantara